Mohon tunggu...
Vivi yunaningsih
Vivi yunaningsih Mohon Tunggu... Wiraswasta - Biarkan air mengalir sekehendaknya

Menulislah maka akan kau temukan ketenangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bakul Gula Aren

14 Desember 2020   14:48 Diperbarui: 14 Desember 2020   14:55 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Matahari Bulan Desember redup. Sudah waktunya menikmati tetesan hujan, basah dan lembab. Saatnya kita syukuri nikmat Tuhan berupa limpahan air yang akan memenuhi rongga-rongga tanah dan sungai.

Uhh..sudah akhir tahun lagi, menghitung hari melangkah ke tahun berikutnya. Begitu seterusnya. Dua puluh empat jam berulang, tujuh hari berulang, bulan berulang, lalu apa hidup kita berulang? Tentu tidak. Tapi hidup kita berubah, lebih baik dari hari kemarin atau lebih buruk.

Mari kita ingat hari kemarin, sudahkah kita bermanfaat bagi orang lain?

Manusia adalah mahluk sosial. Manusia tak bisa hidup sendiri, selalu membutuhkan orang lain. Tidak mementingkan ego, berusaha berkontribusi untuk orang lain. Caranya? banyak dong. Dengan memberi, berbagi dan menyantuni. Setiap kebaikan yang dilakukan untuk orang lain sesungguhnya adalah untuk diri sendiri. Prinsip memberi adalah menerima. Cobalah untuk jujur, ketika kita berbagi dengan orang lain, hati akan menjadi lapang, sekecil apapun bentuk kebaikan itu.

Jika kita punya harta, berilah harta. Jika punya ilmu, berbagilah ilmu. Jika punya tenaga, bantu orang lain dengan tenaga yang kita punya. Atau jika kita hanya bisa memberi senyum, biarkan senyum itu terlihat cantik di wajah kita. Tulus. Senyum juga ibadah kok. Senyum itu menenangkan, mencerahkan perasaan, membuat kita lebih nyaman. Coba untuk jujur sekali lagi, ketika emosi melanda, pikiran ruwet, mungkin sulit untuk tersenyum tapi paksakan tersenyum karena dengan senyum itu akan memperbaiki mood. 

Teringat dengan kejadian yang saya alami sebelum pandemi di sebuah pasar di pusat kota Jogjakarta yang romantis. Pasar gede Beringharjo yang selalu ramai pengunjung, sesak dengan semua hiruk pikuknya. Tak jauh beda dengan pasar pada umumnya tapi entahlah pasar ini terasa beda, ngangeni.  Berjalan menyusuri deretan koridor pasar dengan banyak kios yang menawarkan batik dalam segala macam bentuknya, kerajinan tangan unik yang bikin kita tertarik  atau kemudian harus bergeser cepat ketika gerobak tumpukan barang lewat, lainnya melihat ibu-ibu buruh gendong yang perkasa. Ah..hidup penuh perjuangan.

Menuju sisi kiri pasar dengan jejeran kios pernak-pernik, survey tanda terima kasih untuk acara pernikahan adik tersayang. Membeli beberapa model yang dianggap menarik untuk nantinya di klik.

Seorang perempuan paruh baya dengan bakul dagangan di punggungnya melintas. Tumpukan gula aren dalam bakul ditambah beberapa kantong kacang rebus ditangannya membuat simbah berjalan terbungkuk. Berat! itu yang terpikir.

Aku berbalik. Kukejar si Mbah yang sudah berjalan beberapa meter di depan, memintanya berhenti di sisi kios yang tidak begitu ramai. Kubeli dagangannya. Dua bungkus gula aren seberat dua kilo, memindahkan ke tas belanja dan membayar. Kuberikan uang lebih dari yang seharusnya dibayar. Wajahnya terlihat berbinar ketika aku menyerahkan uang itu.

"Dipun pundhut kemawon wangsulan nipun Mbah," kataku (kembaliannya ambil saja, mbah)

"Duh gusti, matur nuwun. Mugi-mugi rejekinipun lancar." (Ya Allah. Terima kasih. semoga rejekinya lancar)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun