Mohon tunggu...
Vivi Widya Susanti
Vivi Widya Susanti Mohon Tunggu... Guru - Khairunnas anfa'uhum linnas

Baru Belajar Nulis - Belajar Baru Nulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Senyuman Ane

31 Maret 2020   23:32 Diperbarui: 31 Maret 2020   23:57 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namanya Ane.

Dari kejauhan ia nampak seperti seorang gadis desa pada umumnya. Santun. Pemalu. Polos. Dengan memakai kerudung panjang berwarna hitam. Setiap bertemu denganku ia selalu menyapa sambil membungkukkan badannya. Adab khas anak jawa yang masih kental terjaga. Aku selalu mengapresiasi kebaikan-kebaikan kecil itu dengan membuat catatan kecil tentangnya. Bagiku adab selalu diatas ilmu.

Setiap ada guru yang menemuiku untuk berkonsultasi tentang kemampuan akademik Ane yang dibawah rata-rata, aku selalu berusaha meyakinkan mereka bahwa Ane hanya butuh bimbingan dan kesabaran lebih dari pada murid lainnya. Hal itu terjadi terus menerus dalam satu tahun terakhir.

Suatu pagi saat aku hendak menuju Masjid sekolah, kulihat beberapa anak sedang berkerumun. Rupanya anak kelas sebelas. Reni, Winta, Zahra dan Mila. Seperti biasa, gerombolan anak-anak ini selalu bersama kemana-mana. Tak heran jika menjelang sholat dhuhur mereka masih asik berkerumun disamping pohon mangga.

"Assalamualaikum Bu Anggi..", sapa Winta dan ketiga temannya bersamaan yang rupanya telah melihatku sedari tadi. Akupun membalas salam mereka sambil merapikan beberapa kerudung mereka yang tersibak angin seperti biasanya.

Sekilas terlihat rambut panjang milik Mila membuat mataku membesar.

"Lho Mila rambut kamu kenapa?", tanyaku tak sabar karena melihat rambut gadis yang kukenal paling pendiam dikelasnya itu berwarna 'ombre'. Ungu dan merah.

"Waa Mila.. konangan guru BK yee rambute disemir.. hihii..", seloroh Zahra sambil cekikikan meledek Mila diikuti teman-temannya yang lain. Sementara wajah Mila memerah. Antara malu dan takut.

"Anu bu.. ngapunten.. ini kemarin.. anuu..", Mila yang kesulitan menjawab langsung disahut oleh Reni.

"Halaaaa.. wis too ngakuaee.. kuwi sisane malam mingguan wingi tohh karo Nene nak karokean.." 

Aku terdiam.

"Sebentar.. sebentar.. karokean? Sama Nene?", tanyaku penasaran.

"Inggih bu.. wis tho Mil.. ceritoae.. Bu Anggi ki penakan kok karo cah cah koyok kenee.. ora bakal diseneni..", Reni semakin membuat Mila salah tingkah.

Melihat itu aku berusaha menenangkan keadaan agar mereka lebih nyaman terbuka untuk bercerita. Keadaan semacam ini memerlukan pendekatan khusus supaya Mila tidak merasa terpojokkan dan aku juga lebih mudah menggali informasi.

"Sudah Mila.. tidak usah takut.. cerita saja sama ibu, kalau malu nanti keruangan ibu yaa setelah sholat dhuhur..". Aku berusaha sebisa mungkin menebar senyum dan mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan kabar tugas-tugas mereka selama dikelas. Meskipun kenyataannya aku mulai khawatir.

...

Pukul satu lebih lima menit, Mila yang ditemani Winta sudah duduk di sofa ruang tamu BK. Ada bias ketakutan yang luar biasa yang coba kutangkap dari raut wajah Mila. Sedangkan Winta sibuk bercermin membenahi kerudungnya.

"Ayo minum dulu.."

Kusuguhkan dua botol air mineral kepada dua gadis itu. Sepertinya memang Mila tidak berani sendirian bertemu denganku. Berbeda dengan Winta yang terlihat santai karena sudah sering main ke ruanganku untuk pelanggaran-pelanggaran kecil yang dilakukannya.

"Wis gek ndang cerito.. awakmu wingi karo sopo.. nyapo ae.. ndang..", Winta membuka percakapan itu sambil masih bercermin memastikan kerudungnya presisi.

"Iyaa Mila.. cerita aja.. Bu Anggi ngga marah lho.. kamu kan sudah beranjak dewasa, sudah bisa mengambil keputusan sendiri. Tahu mana yang baik dan buruk. Dan tahu konsekuensinya.. Gitukan yaa Mila..", jelasku lirih sambil tersenyum padanya.

Mila mulai terlihat gelisah.

"Nggih bu.. ngapunten.. wingi niku kulo diajak Nene ketemuan kaleh rencange.. terose pacare ngoten bu..", Mila mulai bicara.

"Lha kulo mboten semerap nek niku teng karoke.."

"Lalu disana ngapain nak?..", tanyaku memintanya melanjutkan bercerita.

"Nggih niku, ketemuan kale pacare.. terus dikengken ngerencangi pacare nyanyi..".

Pikiranku mulai tidak fokus karena sibuk memastikan kearah mana pembicaraan Mila ini berujung. Disamping itu, siapa Nene?

"Berapa orang Mila?", tanyaku menahan ke-kepo-anku.

"Emm, lare tigo sing jaler.. Setrine mung kulo kaleh Nene..". Mendengar ini otakku makin panas.

"Lalu disana ngapain aja nak?", lanjutku.

"Nggih nyanyi, terus Nene nggih joget joget ngaten.. hehe..", Mila tertawa kecil sambil menutupi mulutnya dengan tangan.

"Wah.. Mila ikutan joget?.."

"Mboten bu, kulo mung ngerencangi Rendi, kancane pacare Nene.."

"Oh begitu.. setelah itu ngapain lagi nak disana?"

"Sampun bu ngaten mawon.. terus jam sedoso kulo wangsul kalih Nene.. soale sampun ditelpun ibuk.."

Hatiku sedikit lega mendengar ending yang diceritakan Mila. Mila yang bermata sipit, hidung mancung dan berjanggut lancip sempat membuatku merinding membayangkan kemungkinan-kemungkinan terburuk terjadi padanya.

Disisi lain aku mengenal Mila sebagai anak perempuan yang lugu dan tulus. Tidak banyak bicara. Awas saja jika terjadi hal-hal buruk pada anak-anak didikku diluar sana. Akan kucari siapapun yang mengajaknya termasuk si Nene itu. Tapi aku belum mendengar cerita Mila tentang siapa Nene dan bagaimana ia bisa memiliki teman yang familiar dengan tempat karaoke.

"Oh ya Mila.. tadi kamu belum cerita, Nene itu siapa?", tanyaku tenang.

"Nene bu.. Nene.. adek kelas niku lho.. anak sepuluh IPS B!", suara Winta yang sedari tadi tak terdengar tiba-tiba melengking. Rupanya ia sedang sibuk mengamati tumpukan buku yang ada di meja kerjaku.

"Ne-ne.. anak sekolah sini?.. yang mana yaa..?", aku mulai cemas.

"Niku wau lho bu larene..", ucap Mila tiba-tiba sambil menunjuk seseorang yang katanya sempat melintas didepan ruanganku.

Aku bergegas beranjak dari tempat dudukku untuk melihat siapa yang baru saja melintas. Semoga masih terkejar agar aku bisa mengenali wajahnya.

Baru satu langkah aku keluar dari ruang BK, mataku tertuju pada satu-satunya anak yang ada di ujung selasar gedung sekolah. Tidak ada anak lain. Itu pasti dia.

Tak lama kakiku lemas.

Gadis itu tiba-tiba menoleh kearahku seperti sadar telah diamati seseorang. Dengan senyum khasnya ia menatapku sambil menundukkan kepala seolah menyapa. Pada kerudung bagian depannya tertulis nama, Ane Neswari.

Sidoarjo, 31 Maret 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun