"Ketika Seseorang Enggan Memiliki Anak"
--------------------
Lagi booming soal childfree, ya?
Ngomong-ngomong soal childfree, beberapa bulan lalu aku sempat sedikit bikin mini riset tentang anti-natalisme. Mungkin sekilas, bisa dikatakan sama, bisa juga tidak. Tergantung seseorang yang menganut paham tersebut memiliki dasar atau alasan apa untuk berpaham seperti itu.
Aku mau sedikit sharing dulu soal terminologinya. Jadi childfree itu suatu istilah yang merujuk pada paham atau pemikiran seseorang yang enggan memiliki anak. Bukan soal enggan atau takut melahirkan saja, namun bagi pria pun ada keengganan untuk mempunyai seorang anak. Alasannya beragam, bisa karena faktor sosial, kesehatan, ekonomi, psikis, dan sebagainya.
Kalau anti-natalisme, sebetulnya ini merupakan paham filsafat yang dimodernisasi dari paham nihilisme pada zaman dahulu. Pas awal ngelakuin riset dan observasi dulu, aku sedikit kaget, karena di balik minimnya pengetahuan orang akan paham anti-natalisme, rupanya banyak lho yang menganut paham ini.
Anti-natalisme adalah sebuah paham yang dianut oleh seseorang atau kelompok yang berpikir bahwa kelahiran punya konotasi negatif. Orang-orang yang menganut paham ini, akan enggan dan tidak mau memiliki anak.Â
Alasan dari kemunculan paham ini karena penganut pahamnya takut jika di kemudian hari, anak-anak mereka akan mengalami penderitaan. Latar belakang kemunculan paham pun sama, didasari berbagai faktor seperti kesehatan, sosial, ekonomi, psikis, hingga pengaruh budaya.
Saat observasi, sempat mengobrol sedikit dengan orang yang menganut paham anti-natalisme ini. Dari segi materi, aku rasa, dia sangat berkecukupan. Namun satu hal, dirinya tidak memiliki keharmonisan bersama keluarganya. Baik keharmonisan dengan ibu, ayah, hingga saudara kandung.Â
Dia sempat cerita,
"Dulu gue sempat berantem hebat sama nyokap, gue sampe ngomong. Mom, please. 'Jie" gak pernah minta dilahirin. Jadi tolong jangan maksa "Jie" ngelakuin apa yang "Jie" gak mau dan gak suka. "Jie" gak minta lahir ke dunia yang penuh dengan tanggung jawab plus segudang tugas kaya gini. Jadi stop, jangan nambah penderitaan di hidup "Jie" sekarang dengan maksa "Jie" jadi seperti yang Mama mau tanpa bisa ngasih tau, "Jie" hidup buat apa".
Aku kaget, sih. Denger cerita Jie, si informan yang cerita soal kenapa dia jadi penganut paham anti-natalisme (Jie nama panggilan aku buat dia). Latar belakang dan alasan paling besarnya dia menganut paham tsb adalah karena dia merasa menderita dilahirkan ke dunia.Â
Dengan kondisi keluarga yang tidak harmonis, dan segudang kewajiban serta kondisi "serba-salah" yang membuat penderitaan datang menghampirinya. Jadi, dia merasa melahirkan anak hanya akan memberi penderitaan pada anak tersebut.
Informan lain, panggil saja Sam. Sama seperti Jie, dia adalah seorang perempuan muda. Dia mengaku mengaku, bahwa dirinya seorang penganut paham antinatalis.Â
Sam bercerita, keadaan bumi yang dirasa sudah overpopulasi, membuat dirinya enggan untuk memiliki anak. Belum lagi kondisi bumi yang sekarang tidak sedang baik-baik saja, membuatnya semakin bertekad untuk tidak memiliki anak.Â
Sam merasa, hidupnya saat ini tidak adil. Dia merasa banyak penderitaan yang dialami selama hidup sampai dirinya tumbuh dewasa seperti sekarang.Â
Kewajiban yang banyak, penilaian orang lain, perilaku orang lain yang seenaknya, hingga hal-hal menyakitkan yang membuat Sam menilai bahwa membawa anak ke dunia itu adalah hal buruk.Â
Bagi Sam, membawa seorang manusia baru ke dunia ini adalah hal kejam. Dia tidak mau anaknya mendapatkan penderitaan yang sama jika dilahirkan ke dunia. Bahkan, dia sendiri bercerita, bahwa dirinya memilih untuk menjadi penyuka sesama jenis agar tidak bisa melahirkan anak.Â
Tak hanya Jie dan Sam. Informan lainnya sudah di ujung pemilihan dan pembulatan keputusan untuk menjadi seorang yang antinatalis. Dia adalah Rhu. Saat kami mengobrol, dia banyak bercerita.Â
Katanya, "Aku belum menentukan apakah aku menjadi seorang yang antinatalis atau tidak. Tapi, aku tidak menolak paham antinatalis. Bahkan, aku setuju dengan paham itu karena membawa anak pada penderitaan adalah hal kejam dan buruk."
"Selama ini, aku merasa menderita. Apalagi aku sakit, aku punya penyakit yang kebanyakan sulit diterima. Aku punya kelainan mental. Dan aku takut, jika nanti anakku memiliki kelainan yang sama."
Rhu menambahkan, "aku belum bisa menentukan pilihan karena lingkungan keluarga sangat menentang istilah childfree. Keluarga ku lebih mengutamakan banyak anak adalah banyak rezeki, banyak anak adalah berkah. Tapi aku tak bisa ikut mereka, karena di dalam hatiku terdalam, aku tidak mau punya anak. Bahkan jika bisa, aku pun tidak mau menikah."
Mungkin, di luar sana banyak penganut antinatalis atau childfree yang masing-masingnya punya alasan tertentu. Tidak bisa disamaratakan.
Aku banyak belajar dan banyak menemukan hal baru ketika mewawancarai dan mengobrol dengan Jie, Sam, Rhu (ketiga nama adalah nama samaran). Sekaligus, aku kaget.Â
Aku tergolong seseorang yang awam dengan istilah childfree atau antinatalisme. Namun, ada forum yang membuat aku tergiat untuk melakukan mini riset. Aku mulai tahu paham ini, awal tahun 2021. Ketika tidak sengaja menemukan forum di social media yang isinya mengkampanyekan childfree.Â
Karena tertarik dengan pembahasan, ketidaksesuaian paham tersebut dengan paham yang aku anut, aku pun memilih untuk menelitinya. Riset ini lebih kee ingin tahu, apa alasannya.Â
Beruntung, dengan bantuan teman, aku bisa menemukan beberapa informan yang aku butuhkan.
Aku pribadi, termasuk orang yang kontra dengan paham ini. Karena bagaimana pun, memiliki anak adalah kebahagiaan tersendiri bagi aku nantinya sebagai ibu dan orangtua. Anak sendiri adalah anugerah.Â
Meskipun, anak juga yang bisa menjadi cobaan bagi orangtuanya. Dalam pandangan agama (Islam), anak menjadi penyejuk dan penenang hati. Anak juga yang bisa membawa orang tuanya pada Surga kelak di samping anak sebagai penerus generasi bangsa maupun agama.
Di sisi lain, aku pun paham betul sama kondisi seseorang yang beranggapan bahwa lebih baik dirinya tidak punya anak. Dengan catatan, kita harus benar-benar tahu, apa alasannya, dan kenapa orang tersebut bisa punya paham tersebut.
Aku paham, seseorang dan setiap orang bebas untuk menentukan pilihan hidupnya.Â
Namun, dari semua informasi yang aku dapatkan, kebanyakan dari informanmu berubah jadi seorang yang antinatalis karena ada masalah dalam dirinya. Mereka belum bisa berdamai dengan diri mereka sendiri.Â
Mereka belum bisa menerima kehidupannya.Â
Mereka masih berkutat dengan penilaian bahwa kehidupan ini penuh dengan penderitaan. Dan ketika mereka melahirkan, anak mereka akan sama-sama menderita.Â
Secara pribadi, aku tidak menyalahkan orang-orang yang memiliki pandangan tersebut bahkan menganut pahamnya. Sampai sekarang, aku berteman baik dengan orang-orang yang ternyata berpandangan berbeda denganku.Â
Meskipun secara pribadi pun, aku tidak membenarkan pemahaman tersebut. Apalagi jika dikaitkan dengan pemahaman agama pribadi.Â
Tapi dari sisi universal, aku tidak bisa mengutuk mereka. Dan tidak akan. Bagaimana pun, setiap orang berhak atas hidup dan pilihannya. Apalagi dengan asal musabab mereka berpikiran seperti itu, aku merasa tidak berhak untuk memaksakan pendapat dan paham ku pada mereka atau pada siapapun.Â
---------------------
Next Part 2
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI