Entah siapa yang pertama kali memberikan pernyataan bahwa chloroquine mampu menjadi obat penyakit yang sedang marak di Indonesia, bahkan dunia. Covid-19, siapa yang tidak kenal dengan satu penyakit berbahaya ini? Kebanyakan orang mengenalnya dengan sebutan corona wuhan. Karena memang virusnya berasal dari kota Wuhan, China.
Di tengah kalutnya masyarakat, tenaga medis, pemerintah, dan lain-lainnya menghadapi wabah covid-19, serasa ada titik terang yang kemudian menghampiri masyarakat. "Obat corona akhirnya ditemukan!". Semua orang nampak riang dan haru menyambut berita tersebut. Tak tanggung-tanggung, setelah pernyataan tersebut dilontarkan, pemerintah sigap memesan dan mendatangkan obat tersebut ke tanah air.
Begitu pula respon masyarakat yang sangat cekatan. Mereka langsung mendatangi apotek, dan memesan obat tersebut dalam jumlah besar sebagai "stok". Persediaan obat pun seketika menipis, Sang Kepala Negara dengan tanggap memesan sekian juta butir obat tersebut untuk persembahannya pada masyarakat. Khususnya para pasien yang terdiagnosis atau berpeluang terpapar virus Corona.
Obat Chloroquine bagi Odapus
Ketika pemberitaan ramai mengenai pemesanan obat Avigan dan Chloroquin, dari mulai beranda media sosial, berita terkini Google, dan kanal-kanal lainnya.
Ada nama obat yang bagiku itu sangat tidak asing. Chloroquin atau klorokuin. Biasanya aku menyebut obat CQ, ada juga kembarannya bernama HCQ (Hydrochloroquin).
Beberapa tahun lalu, tepatnya semasa SMA akhir (sekitar 2014-2015), sering sekali aku konsumsi obat tersebut. Basically, CQ adalah obat anti-malaria. Sering digunakan oleh orang-orang yang terkena malaria. Di Afrika sana, masyarakatnya sudah tidak asing karena tingginya kasus malaria tersebut. Tapi bukan karena itu.
Ya, aku mengonsumsi CQ bukan karena malaria. Melainkan karena aku adalah odapus (penderita SLE (Systemic Lupus Erythematosus) atau Lupus). Itu loh penyakit yang diidap Selena Gomez; artis luar yang cukup membahana bagi para fans-nya.
Lupus merupakan penyakit autoimun (imun yang abnormal karena terlalu aktif). Karena penyakit inilah, seringkali imun salah sasaran dan menyerang organ sehat dalam tubuh.
Tak heran, banyak sekali gejala dan masalah yang terjadi ketika si lupus sedang mengamuk. Hadirnya CQ sangat membantu sekali bagi para Odapus. Karena ia bisa menekan beberapa gejala menganggau seperti rash (ruam), sakit otot atau sendi, hingga mencegah komplikasi lebih kompleks.
Pada dasarnya, Chloroquine termasuk obat yang terbilang sangat "keras". Bagaimana tidak, demi mendapatkan obat ini, aku harus punya resep atau salinannya dari dokter pemerhati lupusku. Pengonsumsiannya pun dilakukan secara bertahap dan dalam jangka waktu panjang. Setiap minggu jika tidak malas, aku harus selalu berkonsultasi.
Bukan hanya pada DPL saja, namun juga merambah pada dokter mata dan jantung. Minimal 3 bulan sekali, aku harus kontrol pada mereka. Pasalnya, obatnya bisa sangat berakibat buruk pada mata bagi orang-orang tertentu karena efek sampingnya.
Beruntungnya, hanya sebentar saja aku berkunjung ke dokter spesialis mata. Meskipun sesekali harus cek, karena mataku sudah minus. Maklum lah, aku senang sekali menatap layar ponsel dan komputer sejak kecil.
Sayangnya, dokter jantung menjadi sangat akrab denganku. Setiap 2 minggu, aku harus bertatapmuka dengannya. Aku harus meminum obat baru, Concor yang sangat khas dengan persoalan jantung.
Mengapa demikian? Entah karena obat ini atau bukan, tapi dokter menyebutkan ada peran yang diambil oleh obat dalam kasus masalah jantungku.
Selain itu, badanku juga menjadi sangat lemas yang berkepanjangan. Otot-otot terasa sulit untuk menopang beban tubuh. Bahkan, beberapa teman ada yang mengalami kejang dan hilang koordinasi. Cukup mengerikan bukan? Meskipun, respon setiap tubuh pasti berbeda sehingga efek sampingnya pun akan berbeda pula.
Chloroquine untuk Covid-19?
Sedikit awalan tentang CQ bagi seorang Odapus. Sudah cukup lama aku tidak lagi mengonsumsi obat CQ ini. Kurang lebih, sekitaran 1 tahun karena Alhamdulillaah masa remisiku telah tiba. Tapi rupanya, ingatan dan bayangan masa lalu antara aku dan chloroquine datang kembali. Itu karena ke-up-to-date-anku pada pemberitaan virus corona yang menyebalkan.
Bagaimana tidak, selama 22 tahun aku di Indonesia, baru kali ini mendengar dan menyaksikan kegaduhan satu negara bahkan seluruh dunia karena penyakit.
Nampak jadi momok yang sangat menakutkan bagi masyarakat yang baru pertama merasakan kena wabah. Segala aktivitas dibatasi, kegiatan belajar mengajar di sekolah ditiadakan, orang-orang kantoran tidak diperbolehkan masuk kantor, para tenaga medis menggunakan pakaian khusus untuk menangani pasien, dan lain sebagainya.
Bahkan, aku ikut merasakan dampak dari virus menyebalkan ini. Sedikit curhat, beberapa hari sebelum wabah ini parah di Indonesia, tepatnya, sebelum aktivitas dibatasi.
Aku sudah mempersiapkan diri untuk menjadi pemateri (speaker) di sebuah workshop yang diadakan oleh aktivis kampus negeri ternama di Bandung. H-1 acara, paginya, sang panitia sudah intens berkomunikasi via chating. Bahkan, sekaligus meminta file materi untuk disimpan ke komputer mereka.
Tapi, hal tersebut tiba-tiba saja berubah ketika corona berulah dan membuat petinggi-petinggi membuat surat edaran pelarangan acara yang melibatkan massa. Ok, malam harinya aku dihubungi bahwa workshop tersebut dengan sangat terpaksa harus dibatalkan. Nyesek? Pasti! Apalagi (mungkin) para peserta yang sudah membayar mahal dan panitia yang sudah menyiapkan segala persiapan acara di esok hari.
Ya, it's ok! Belum saatnya aku menjadi pemateri saat itu. Lagipula, kesehatan semua orang itu adalah penting. Mana, saat itu pun aku dalam kondisi batuk-pilek. Tapi, aku yakin itu bukan karena Corona karena dari riwayat dan gejalanya, tidak menjurus ke sana.
Sampai sekarang ini, ramai sekali diberitakan bahwa CQ adalah obat covid-19. Satu, dua, tiga negara dicap sudah membuktikan bahwa beberapa pasiennya berhasil sembuh dari penyakit ini. Indonesia pun ikut latah. Dengan senangnya, pemerintah mendatangkan obat tersebut sebagai penangkal si penyakit menyeramkan ini.
Aku tak mengerti dengan maksud pemerintah yang langsung mendatangkan atau memesan obat tersebut dalam jumlah besar tanpa uji coba sendiri. Masyarakatnya pun ikut latah.
Berbondong-bondonglah mereka ke Apotek dan membeli si CQ ini. Ada yang satu strip, hingg berbox-box. Panic buying? Tentu. Bukan hanya pada bahan pangan dan alat kesehatan (masker dan hand sanitizer) saja masyarakat latah memborong, obat yang baru "dianggap" saja mereka langsung menyerbunya.
Lantas, apa sebenarnya Chloroquine ini benar-benar efektif untuk menangani kasus Covid-19 yang tengah marak ini?
Chloroquine; Obat VS Penenang SosialÂ
Dari segi fungsi obat, jelas belum ditemukan uji klinis yang benar-benar efektif menyebutkan bahwa obat ini cocok untuk mengobati virus. Di samping, penyakit yang disebabkan karena virus, tentu harus diobati dengan anti virus itu sendiri. Meskipun demikian, beberapa negara ada yang menyatakan bahwa obat ini bisa digunakan untuk obat wabah saat ini. Hal itu dikemukakan oleh seorang peneliti China dan sudah dipublikasikan oleh Bio Science Trend.
Mengenai CQ, obat ini memang mengandung antivirus dan antiinflamasi. Sehingga CQ bisa mengatasi infeksi virus dalam tubuh, meningkatkan citra paru, melakukan perawatan gejala pneumonia, hingga mempercepat status virus menjadi negatif. Di lain kasus, obat CQ ini pun bisa menakan respon imunitas tubuh sehingga mampu mengatasi beberapa gejala yang ditimbulkan pada penyakit autoimun.
Lantas, bagaimana dengan keefektifan obat CQ pada penderita covid-19? Pada dasarnya, obat ini memang bisa menjadi antivirus karena kandungan di dalamnya seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Namun di sisi lain, obat ini bisa menakan respon imun yang terlalu aktif sehingga dikhawatirkan membuat imunitas jadi tidak aktif. Apalagi pada kasus korona, imun penderita menjadi sangat lemah. Justru diperlukan obat yang memang bisa membantu meningkatkan sistem imunitas itu sendiri dibandingkan mengobati gejalanya yang muncul.
Bisa kita ketahui bersama, antibodi atau imun yang ada dalam tubuh sudah dirancang sedemikian rupa dari fungsi dan kekuatannya. Bahkan, antibodi ini bisa menjadi obat tersendiri bagi setiap penyakit yang muncul dalam tubuh. Salah satunya adalah dengan meningkatkan kekuatan dan fungsi imun dalam menjaga semua anggota tubuh dari antigen asing.
Apalagi  virus  tergolong mikroorganisme yang sangat kuat. Bahkan ketika seseorang yang sudah terinfeksi dinyakatakan sembuh, bukan berarti virus itu sudah hilang sepenuhnya. Dan bukan berarti orang tersebut akan kebal terhadap serangan virus itu lagi.
Banyak sekali kasus yang terjadi di luar sana, seperti kasus covid-19 itu sendiri. Beberapa pasien dinyatakan sembuh, namun selang beberapa waktu, ada penderita yang dijangkiti kembali. Hal itu dikarenakan imunitasnya yang lemah dan orang tersebut tidak mampu menjaga tubuhnya.
Tingkat survive setiap pasien pun berbeda. Ada yang terkena virus tapi tidak mengalami gejala sama sekali. Tubuhnya masih terlihat kuat dan sehat bahkan bisa beraktivitas seperti biasanya. Itu bisa jadi karena tingkat kekuatan antibodinya yang tinggi sehingga virus hanya menjangkiti, tidak merusak. Ini yang perlu jadi perhatian.
Obat chloroquine pada dasarnya merupakan obat keras dan tidak bisa sembarangan orang meminumnya. Setiap kondisi orang pun pasti berbeda. Setiap resepnya pun harus berbeda jika menggunakan obat ini. Bahkan, obat ini pun bisa memicu interaksi fatal jika disatukan dengan kondisi tertentu dan obat tertentu. Saat itu terjadi, bukan tidak mungkin beberapa pasien yang "tidak cocok" malah mengalami komplikasi atau masalah lainnya yang lebih buruk.
Melihat kasus yang terjadi sekarang, pemerintah dengan gigih akan memberikan obat tersebut pada setiap pasien yang positif terpapar virus corona. Lengkap dengan anjuran dosis. Bahkan kabarnya, banyak orang yang sudah rutin meminumnya untuk pencegahan. Apakah itu efektif?
Bagi saya pribadi, tentunya tidak. Dan akan sangat kurang etis ketika masyarakat memaksakan diri untuk meminumnya tanpa tahu bagaimana pengaruh dan efeknya.
Terutama orang-orang yang latah dan panic buying. Di mana setelah mereka mendapat kabar bahwa obat ini bisa mengatasi covid-19, mereka langsung tergesa-gesa untuk mendapatkannya.
Begitu pun pemerintah, bisa dilihat di pemberitaan yang beredar. Seperti pada pemberitaan CNBC Indonesia dengan judul "Cegah Korona, Jokowi Pesan 2 Juta Avigan dan 3 Juta Chloroquine", "Jokowi Sebut Chloroquine Ampuh Lawan Korona...." di suara.com, atau di beberapa kanal berita populer lainnya dengan tema dan judul senada. Apa pemerintah termasuk panic buying juga? Saya rasa, YA!
Setelah ada pernyataan yang mengatakan bahwa CQ bisa jadi obat Covid-19, tentu pemerintah senang bukan kepalang. Sebab ada obat untuk wabah yang sangat membuat resah dan pusing pemerintah.
Tapi apa itu adalah keputusan matang? Saya rasa, TIDAK. Belum ada uji klinis pasti yang menerangkan bahwa obat ini benar-benar efektif.
Atau, hanya sekadar penenang sosial yang memberikan pembuktian pada masyarakat bahwa pemerintah mampu memberikan yang terbaik untuk mengatasi wabah ini? Bukankah adalah berita bahagia jika obat wabah ditemukan? Dengan begitu, masyarakat bisa lebih tenang bukan? Terlebih bagi para pasien yang hampir kehilangan harapannya.
Jokowi Klarifikasi
Riuh masalah klorokuin semakin meninggi. Jokowi sudah tanggung memesan obat dan mendatangkannya ke tanah air. Masyarakat yang panik dan tidak ingin kehabisan obat, langsung memborong. Tak pelak, banyak juga yang langsung mengonsumsinya. Tak hanya di Indonesia, di luar negeri pun begitu adanya.
Tapi apa daya, setelah diteliti dan dikaji lebih jauh, Jokowi mengklarifikasi bahwa chloroquine bukanlah obat efektif untuk Covid-19. Beberapa berita baru-baru ini kembali dilayangkan yang berisi klarifikasi mengenai obat covid-19 "katanya". Â Bahkan CNBC pun kembali membuat pemberitaan dengan judul "Catat! Avigan & Chloroquine bukan Obat Pencegah Virus Corona", dan berita-berita lainnya. Bahkan, saya sendiri sempat baca berita bahwa ada beberapa orang yang mengalami "keracunan" karena latah mengonsumsi CQ untuk cegah dan sembuhkan korona.
Bagaimana bisa terjadi seperti ini? Bagi saya pribadi, ini dirasa sangat kalut dan keruh. Satu sisi, saya sangat mengapresiasi pemerintah yang dengan sigapnya mencari obat untuk melawan wabah virus korona.
Di sisi lain, saya menyangkan terhadap publikasinya yang dilakukan tanpa memeriksa dan menguji lebih lanjut bagaimana keefektifannya. Dengan begitu, masyarakat yang tidak mau "kritis", malah langsung membeli karena sudah sesuai dengan pernyataan petinggi negara.
Pada akhirnya, kita memang sangat perlu anti virus yang bisa mengobati Covid-19 ini. Tapi kita pun sangat perlu sekali mengetahui dan memastikan bahwa obat tersebut benar-benar efektif untuk melawannya.
Bukankah tidak lucu jika kita mengonsumsi obat untuk covid-19, tapi setelahnya malah muncul masalah baru? Lebih baik melewati proses yang agak panjang tapi efektif, dibanding mencari jalan tikus tapi ternyata tidak menguntungkan bahkan merugikan. But, lebih baik lagi jika kita bisa mendapatkan jalan keluar yang efektif tanpa proses yang panjang. Semoga cepat pulih, DUNIAKU...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H