Pada dasarnya, Chloroquine termasuk obat yang terbilang sangat "keras". Bagaimana tidak, demi mendapatkan obat ini, aku harus punya resep atau salinannya dari dokter pemerhati lupusku. Pengonsumsiannya pun dilakukan secara bertahap dan dalam jangka waktu panjang. Setiap minggu jika tidak malas, aku harus selalu berkonsultasi.
Bukan hanya pada DPL saja, namun juga merambah pada dokter mata dan jantung. Minimal 3 bulan sekali, aku harus kontrol pada mereka. Pasalnya, obatnya bisa sangat berakibat buruk pada mata bagi orang-orang tertentu karena efek sampingnya.
Beruntungnya, hanya sebentar saja aku berkunjung ke dokter spesialis mata. Meskipun sesekali harus cek, karena mataku sudah minus. Maklum lah, aku senang sekali menatap layar ponsel dan komputer sejak kecil.
Sayangnya, dokter jantung menjadi sangat akrab denganku. Setiap 2 minggu, aku harus bertatapmuka dengannya. Aku harus meminum obat baru, Concor yang sangat khas dengan persoalan jantung.
Mengapa demikian? Entah karena obat ini atau bukan, tapi dokter menyebutkan ada peran yang diambil oleh obat dalam kasus masalah jantungku.
Selain itu, badanku juga menjadi sangat lemas yang berkepanjangan. Otot-otot terasa sulit untuk menopang beban tubuh. Bahkan, beberapa teman ada yang mengalami kejang dan hilang koordinasi. Cukup mengerikan bukan? Meskipun, respon setiap tubuh pasti berbeda sehingga efek sampingnya pun akan berbeda pula.
Chloroquine untuk Covid-19?
Sedikit awalan tentang CQ bagi seorang Odapus. Sudah cukup lama aku tidak lagi mengonsumsi obat CQ ini. Kurang lebih, sekitaran 1 tahun karena Alhamdulillaah masa remisiku telah tiba. Tapi rupanya, ingatan dan bayangan masa lalu antara aku dan chloroquine datang kembali. Itu karena ke-up-to-date-anku pada pemberitaan virus corona yang menyebalkan.
Bagaimana tidak, selama 22 tahun aku di Indonesia, baru kali ini mendengar dan menyaksikan kegaduhan satu negara bahkan seluruh dunia karena penyakit.
Nampak jadi momok yang sangat menakutkan bagi masyarakat yang baru pertama merasakan kena wabah. Segala aktivitas dibatasi, kegiatan belajar mengajar di sekolah ditiadakan, orang-orang kantoran tidak diperbolehkan masuk kantor, para tenaga medis menggunakan pakaian khusus untuk menangani pasien, dan lain sebagainya.
Bahkan, aku ikut merasakan dampak dari virus menyebalkan ini. Sedikit curhat, beberapa hari sebelum wabah ini parah di Indonesia, tepatnya, sebelum aktivitas dibatasi.