SEDIKIT CERITA PEMILU 2019 dari TAMENG DI BELAKANGNYA.
Ini hanya sebagian kecil saja dari orang-orang yang sudah meluangkan waktunya untuk pemilu 17 April 2019 lalu.
Sedikit cerita, kami harus prepare segalanya jauh-jauh hari. Petang sebelum hari H, mempersiapkan tempat di sela-sela kesibukan masing-masing. Habis shubuh, kami kembali ke TPS untuk persiapan. Bapak LINMAS sampai tidak tidur menjaga kotak suara agar tidak ada kecurangan dan tetap dalam keadaan baik-baik saja.
Setelah waktu ketentuan untuk mulai pengecekan suara, tepat pukul 7 pagi, kami mulai action, menulisi surat suara, mendata masyarakat, dan pemungutan suara dilakukan.
Sampai tengah hari, pukul 12.30, pemungutan suara usai. Kami beristirahat sejenak sebelum kembali bertempur.
Sekitar pukul 2, pembukaan surat suara dan penghitungan mulai dilangsungkan. Satu per satu surat kami buka, kami lihat dengan seksama. Sampai 11 malam, surat suara baru selesai kami hitung. Berlanjut kepada penyalinan berita acara dan penulisan C1 yang tidak hanya satu.Â
Berpuluh-puluh mungkin. Belum lagi dikalikan dengan pilihan yang terbagi 5 kategori. Ditambah lagi sebagai panitia, kita harus tanda tangan setiap lampiran. Sangat banyak! Dini hari, semua data harus segera disampaikan pada pihak pengelola atau PPS di kantor desa.
Kami bereskan semuanya, namun ada kendala karena amplop untuk data yang kami terima, kurang dari semestinya. Sampai berpikir dan koordinasi sana-sini, akhirnya semuanya beres. Pukul 2.30 an, kami berangkat ke kantor desa. Subhanallah, penuh dan kami kebagian nomor antrian 28. Pada saat itu baru nomor 12, kami menunggu sesaat, pihak KPU melihat sekilas hasil kami.
Setelah shubuh menjelang pagi, kami rasa antrian kami masih lama. Pukul 05.30, kami pun pulang karena mata sangat tak kuasa menahan kantuk. Kami tinggal kotak suara yang seharian full kami jaga. Sayangnya, sesampai di rumah pun, tidak jua bisa tidur pulas.Â
Apa yang terbayang? Kotak suara yang ada di kantor desa. Takut salah hitung, takut ada masalah, dan kekhawatiran lainnya yang membuat rasa kantuk pun hanya cukup dirasakan dan ditahan.
Perkiraan kami pukul 2 siang data TPS kami bisa dicek. Bergegaslah kembali kami ke kantor desa. Sayang sekali, masih belum saatnya kami melakukan pengecekan. Kami masih harus menunggu di tengah lelah dan kantuk. Baru setelah pukul 5 sore, data kami baru dicek. Alhamdulillaah, bersyukur pada Allah bahwa hasil data kami tidak ada yang salah.Â
Dan di TPS kami, paslon yang memang untuk Pilpres adalah nomor urut 2 dengan selisih suara sekitar 1: 2. Atau jumlah suara paslon 01 merupakan setengahnya dari jumlah suara paslon 02. Hingga maghrib menyapa, kami baru bisa kembali ke rumah. Beristirahat dengan tenang, dan berdoa semoga hasilnya adalah benar dan tidak ada cacat.
Sebagai salah satu dari sebagian banyaknya panitia pemilu, terlebih yang melakukannya dengan jujur dan damai. Tentu, ingin sekali hasil keseluruhan adalah benar-benar sesuai. Kami sudah berusaha untuk setepat mungkin dalam menghitung.Â
Kami sudah berusaha sesempurna mungkin menjadikan pemilu berlangsung damai. Mengorbankan waktu, tenaga, dan keseharian kami untuk masa depan bangsa.Â
Ada bapak-bapak yang meninggalkan istri, anak dan pekerjaannya. Ada ibu-ibu yang meninggalkan rumah, suami, anak, hingga kewajibannya sebagai seorang istri dan ibu. Ada juga pemuda-pemudi bangsa yang rela waktu main dan belajarnya diluangkan demi pemilu.
Jika kami berusaha sebaik mungkin menjadikan  pemilu damai, tanpa kecurangan, kenapa "orang di atas" malah menghancurkan hasil kami??
Ada yang bilang, "jadi panitia enak kan digaji". Ya, memang, kami diberi honor atas hal ini. Tapi sejujurnya, itu tidaklah seberapa dibanding pengorbanan kami. Bahkan, menurut beberapa berita yang beredar, ada panitia yang sampai berkorban nyawa demi keberlangsungan pemilu.Â
Sebetulnya, saya pribadi jika menuruti ego, tidak ingin  menjadi panitia. Lebih baik tidur di rumah, bersantai, dan mengerjakan tugas atau melakukan hobi menulis dan jalan-jalan. Tapi, ada rasa tanggung jawab dan dorongan untuk andil di pemilu ini. Toh, demi bangsa dan negara juga.
Namun yang disayangkan adalah ketika ada pemberitaan dan realitas yang ternyata menciderai pengorbanan kami. Hasil hitungan kami dimanipulasi dan tidak sesuai dengan kenyataan yang sudah di lapangan kami hitung.Â
Jika memang penghitungan dilakukan lagi oleh oknum-oknum, mengapa harus ada panitia pemilu? Jika angka yang kami tulis tidak berarti dan tidak jadi hasil, kenapa kami harus berkorban tenaga dan segalanya untuk mencari hasil tersebut??
But, apapun itu, ini hanyalah sekadar cerita singkat dari curahan setitik debu di bumi. Pesannya, hargailah orang-orang yang sudah berjasa dan berusaha mendamaikan pemilu, berusaha menghindari kecurangan dan menjaga semuanya dengan aman.
Adakah cerita sama dari teman-teman semua?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H