Lagi-lagi rakyat diberi kado pahit pergantian tahun dengan sejumlah tagihan, salah satunya naiknya tarif PPN menjadi 12%. Meskipun banyak kalangan menolak kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN), namun pada akhirnya suara rakyat tetap diabaikan.
Kebijakan Zalim Sistem Kapitalisme
Kebijakan memungut pajak atas rakyat dalam berbagai barang dan jasa merupakan kebijakan yang lahir dari sistem sekuler kapitalisme. Karenanya, penarikan pajak dengan segala konsekuensinya adalah satu keniscayaan dalam sistem kapitalisme.
Kapitalisme menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan negara dan pembangunan. Pajak diterapkan kepada siapa saja karena dianggap sebagai kewajiban rakyat yang mesti ditunaikan. Pungutan pajak dalam sistem ini juga dilakukan terus menerus, tanpa batas waktu.
Namun, kapitalisme sering kali tidak berlaku adil kepada rakyat. Hal ini terkait dengan peran negara dalam sistem Kapitalisme yang rusak dan merusak ini. Negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator sering berpihak kepada para pengusaha dan abai kepada rakyat. Pengusaha mendapatkan kebijakan ampunan pajak, sementara rakyat dan pengusaha kecil dibebani berbagai pajak yang mencekik yang makin memberatkan hidup rakyat. Tak jarang, para pengusaha kecil/ UMKM yang tidak sanggup bertahan karena tingginya pajak harus gulung tikar dan melakukan PHK.
Dalam sistem ekonomi kapitalisme, pajak memiliki dua fungsi, yakni:Â
1. Fungsi budgetair (sumber keuangan negara)
2. Fungsi regularend (pengatur)
Dalam sistem ekonomi kapitalis ini, fungsi-fungsi tersebut sangat penting. Sebab, penerimaan pajak adalah sesuatu yang niscaya bagi negara. Jadi, pajak akan terus menerus dibebankan kepada rakyat, tanpa mempedulikan apakah menyengsarakan rakyat atau tidak?
Jika mau melihat lebih dalam, negeri ini merupakan negeri yang sangat kaya. Sumber daya alamnya begitu melimpah, seharusnya dengan pemanfaatan yang baik sudah lebih dari cukup untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Namun, SDAE justru dikuasai oleh pihak swasta, bahkan asing.Â
Naiknya harga kebutuhan pokok, justru akan membuat daya beli dan kemampuan rakyat  membayar pajak menjadi rendah. Akibatnya, pemasukan negara bisa jadi semakin menurun. Akhirnya, negara akan menambah utang luar negeri dengan dalih menambah pemasukan negara. Padahal, dengan berutang kepada asing, negara menjadi tidak independen, akhirnya kebijakannya pun lebih condong pada asing dan pemilik modal, bukan kepada rakyat.
Sejahtera dalam Kepemimpinan Islam
Berbeda dengan sistem Kapitalisme, sistem Islam menetapkan negara sebagai raa'in yang mengurus rakyat, memenuhi kebutuhannya dan mensejahterakan, membuat kebijakan yang membuat rakyat hidup tenteram.
Negara yang menerapkan Islam kafah memiliki berbagai sumber pemasukan yang cukup untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat hingga individu per individu. Negara akan menjamin kesejahteraan masyarakat berupa kebutuhan pokok sandang, pangan, papan secara tidak langsung dan menjamin kebutuhan pokok publik berupa kesehatan, pendidikan dan keamanan secara langsung.
Pembiayaan pemenuhan kesejahteraan masyarakat ini diambilkan dari sumber pemasukan Baitul Mal yang didapatkan dari pendapatan tetap seperti zakat, fa'i, ghanimah, kharaj, jizyah, 'usyr dan sebagainya. Hanya saja zakat yang diletakan pada kas Baitul Mal tidak diberikan kecuali untuk delapan kelompok (ashnaf) yang disebutkan di dalam Al Qur'an.Â
Selain itu, sistem ekonomi Islam menetapkan aturan kepemilikan dan menjadikan sumber kekayaan alam sebagai milik umum, seperti SDAE, yang wajib dikelola negara dan hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat dengan berbagai meknisme yang diatur syarak.
Pajak dalam Islam
Sumber-sumber pendapatan yang ditetapkan oleh syarak untuk kas Baitul Mal sebenarnya sudah cukup untuk mengatur dan melayani umat. Karenanya, negara tidak perlu mewajibkan rakyatnya untuk membayar pajak. Pajak (dharibah) merupakan alternatif terakhir dipungut oleh negara ketika kondisi kas negara dalam keadaan kosong dan ada kewajiban negara yang harus ditunaikan untuk memenuhi kebutuhan rakyat.
Pajak (dharibah) hanya dipungut atas kaum Muslim sesuai tuntunan syarak untuk menutupi pengeluaran Baitul Mal. Pungutannya diambil dari orang-orang kaya dari kelebihan kebutuhan primer dan sekundernya dengan cara yang makruf.Â
Pajak (dharibah) tidak boleh dipungut atas orang non-muslim. Sebab, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang telah diwajibkan oleh syarak hanya diwajibkan atas kaum Muslim. Karenanya, pajak tidak boleh diambil dari nonmuslim.
Pajak (dharibah) dipungut semata-mata karena standar cukup atau tidaknya harta yang ada di Baitul Mal untuk memenuhi keperluan rakyat. Jumlah pajak yang diambil juga hanya sebatas untuk mencukupi kebutuhan negara, bukan diambil secara terus-menerus.
Pengaturan pajak berdasarkan hukum syarak tentu tidak akan menzalimi rakyat sebagaimana yang terjadi dalam sistem Kapitalisme. Sumber pendapatan negara yang menerapkan Islam secara kafah cukup untuk menjadikan rakyat menjadi sejahtera. Sejarah telah mencatat bukti di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz tidak ada orang yang berhak menerima zakat, sebab rakyatnya telah sejahtera. Sudah semestinya umat Islam bersatu untuk mewujudkan kepemimpinan Islam.
Wallahu a'lam bisshowabÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H