Mohon tunggu...
Vivi Jennifa
Vivi Jennifa Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Menulis dari Hati

30 Juli 2016   04:13 Diperbarui: 30 Juli 2016   04:20 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jangan menulis tentang nikmatnya cita rasa kopi, jika kau bahkan tak suka meminumnya. Jangan menulis tentang bahagianya diguyur hujan, jika kau bahkan benci dibasahi olehnya. Bahkan kau tak perlu menulis tentang politik dan pemerintah, jika kau lebih suka nonton Kartun daripada nonton berita, dan membaca koran.

Dari yang saya perhatikan, beberapa orang yang menulis di blog, channel atau di wadah lainnya, memiliki mindset bahwa, “I have to give a good reading in front of public.” Sehingga yang berusaha mereka tuliskan adalah hal-hal bagus yang diinginkan khalayak. Bukan berasal dari keinginan pribadi untuk menanggapi sesuatu yang menggelitik diri. Malah jatoh-jatohnya, tulisan yang mereka buat bukan menghasilkan tulisan yang bagus, tapi tulisan yg dibagus-baguskan.

Seasli-aslinya orang menulis adalah orang yang menuangkan segala pemikiran yang ada di kepalanya ke dalam media tulisan. Itu berarti, menulis betul-betul berasal dari pengetahuan di kepala kita saja. Seperti kita tidak dapat mengupas dengan baik kulit buah kelapa jika kita tak betul paham cara melakukannya. Lalu kenapa masih ada pikiran untuk menuliskan sesuatu di luar permasalahan yang kita tahu?

Tulisan seseorang bisa ditentukan dari berapa umur yang ia punya, problem apa yang ia hadapi, dan sesuatu apa yang ingin ia capai. Semua menggambarkan proses kedewasaan sang penulis. Kalau dari pandangan saya, proses menulis adalah proses mengamati suatu masalah; observasi suatu kondisi; dan atau memainkan sebuah imajinasi. Kemudian pemikiran-pemikiran itu ditarik keluar dari kepala, dikumpulkan di satu wadah yang sama, diberi kaca pembesar, dan akhirnya dituliskan berdasarkan perspektif kita sendiri.

Lalu ketika tulisan itu disampaikan ke khalayak, kadang-kadang di antara pembaca, baru akan mengetahui bahwa ternyata banyak hal yang mereka lewati, selama ini ia acuh untuk mengerti, dan akhirnya mereka sadar untuk melihat masalah lebih dalam lagi. Hingga ia akan mendapatkan momen, “Wiiih, iya juga yah”, “Ohh, begitu toh ternyata”, “Naaah, bener kan yg aku rasain.” 

Seorang Novelis ternama mengatakan, “Mulailah dengan menuliskan hal-hal yg kau ketahui. Tulislah tentang pengalaman dan perasaanmu sendiri.” Karena begini, teman-teman: ketika kita menulis tentang sesuatu yang tidak betul-betul berasal dari hati, maka orang-orang yang akan membacanya juga takkan merasakan hati dari tulisan itu. Sebab menulis dengan ikhlas itu sangat perlu.

Saya lebih suka menyebut proses ini dengan, “Menulis adalah berbagi rasa lewat abjad, dan menyentuh hati lewat kata.”

Ibaratnya, ketika kita melantunkan sebuah nasyid dengan datar-datar saja, tanpa penghayatan, dan tanpa perasaan, ya sudah, orang-orang yang mendengarnya juga tidak dapat tersentuh hatinya. Ya, bagaimana orang mau menghayati dengan perasaan, kita yang melantunkannya juga tidak pakai perasaan.

Maka menulis dengan hati yang ikhlas itu penting. Kenapa? Karena jika semua anggota tubuh kita berbohong, hanya satu yang akan tetap jujur. Iya, benar; HATI. Bukankah hati sebaiknya disuarakan untuk kita mengerti apa yang kita gelisahkan? Hehehe, kalau kau sudah berhubungan dengan hati, kau takkan bisa memaksanya menuliskan sesuatu di luar dari keresahannya.

Lagian, dampak paling besar dari proses kita menulis akan berimbas kepada siapa? Bukan orang lain, tapi kita sendiri. “Belajar menulis adalah belajar menangkap momen kehidupan dengan penghayatan paling total yg paling mungkin dilakukan oleh manusia.” Kata sang kreator dari sebuah novel. Dengan menulis, kita jadi punya mesin waktu pribadi, dan punya buku komedi sendiri. Tidak percaya?

Contoh: saat ini saya sudah kuliah, ketika saya ingin bernostalgia ke masa-masa sekolah, saya tinggal membaca tulisan saya beberapa tahun lalu. Kemudian saya akan melihat waktu itu seperti terulang kembali —Melihat dulu betapa sedihnya saat dilarang merantau ke suatu kota untuk menuntut ilmu, betapa malangnya saat hampir diusir dari rumah karena bercadar, betapa galaunya saat terombang-ambing di awJangan menulis tentang nikmatnya cita rasa kopi, jika kau bahkan tak suka meminumnya. Jangan menulis tentang bahagianya diguyur hujan, jika kau bahkan benci dibasahi olehnya. Bahkan kau tak perlu menulis tentang politik dan pemerintah, jika kau lebih suka nonton Kartun daripada nonton berita, dan membaca koran.

Dari yang saya perhatikan, beberapa orang yang menulis di blog, channel atau di wadah lainnya, memiliki mindset bahwa, “I have to give a good reading in front of public.” Sehingga yang berusaha mereka tuliskan adalah hal-hal bagus yang diinginkan khalayak. Bukan berasal dari keinginan pribadi untuk menanggapi sesuatu yang menggelitik diri. Malah jatoh-jatohnya, tulisan yang mereka buat bukan menghasilkan tulisan yang bagus, tapi tulisan yg dibagus-baguskan.

Seasli-aslinya orang menulis adalah orang yang menuangkan segala pemikiran yang ada di kepalanya ke dalam media tulisan. Itu berarti, menulis betul-betul berasal dari pengetahuan di kepala kita saja. Seperti kita tidak dapat mengupas dengan baik kulit buah kelapa jika kita tak betul paham cara melakukannya. Lalu kenapa masih ada pikiran untuk menuliskan sesuatu di luar permasalahan yang kita tahu?

Tulisan seseorang bisa ditentukan dari berapa umur yang ia punya, problem apa yang ia hadapi, dan sesuatu apa yang ingin ia capai. Semua menggambarkan proses kedewasaan sang penulis. Kalau dari pandangan saya, proses menulis adalah proses mengamati suatu masalah; observasi suatu kondisi; dan atau memainkan sebuah imajinasi. Kemudian pemikiran-pemikiran itu ditarik keluar dari kepala, dikumpulkan di satu wadah yang sama, diberi kaca pembesar, dan akhirnya dituliskan berdasarkan perspektif kita sendiri.

Lalu ketika tulisan itu disampaikan ke khalayak, kadang-kadang di antara pembaca, baru akan mengetahui bahwa ternyata banyak hal yang mereka lewati, selama ini ia acuh untuk mengerti, dan akhirnya mereka sadar untuk melihat masalah lebih dalam lagi. Hingga ia akan mendapatkan momen, “Wiiih, iya juga yah”, “Ohh, begitu toh ternyata”, “Naaah, bener kan yg aku rasain.” 

Seorang Novelis ternama mengatakan, “Mulailah dengan menuliskan hal-hal yg kau ketahui. Tulislah tentang pengalaman dan perasaanmu sendiri.” Karena begini, teman-teman: ketika kita menulis tentang sesuatu yang tidak betul-betul berasal dari hati, maka orang-orang yang akan membacanya juga takkan merasakan hati dari tulisan itu. Sebab menulis dengan ikhlas itu sangat perlu.

Saya lebih suka menyebut proses ini dengan, “Menulis adalah berbagi rasa lewat abjad, dan menyentuh hati lewat kata.” 

Ibaratnya, ketika kita melantunkan sebuah nasyid dengan datar-datar saja, tanpa penghayatan, dan tanpa perasaan, ya sudah, orang-orang yang mendengarnya juga tidak dapat tersentuh hatinya. Ya, bagaimana orang mau menghayati dengan perasaan, kita yang melantunkannya juga tidak pakai perasaan.

Maka menulis dengan hati yang ikhlas itu penting. Kenapa? Karena jika semua anggota tubuh kita berbohong, hanya satu yang akan tetap jujur. Iya, benar; HATI. Bukankah hati sebaiknya disuarakan untuk kita mengerti apa yang kita gelisahkan? Hehehe, kalau kau sudah berhubungan dengan hati, kau takkan bisa memaksanya menuliskan sesuatu di luar dari keresahannya.

Lagian, dampak paling besar dari proses kita menulis akan berimbas kepada siapa? Bukan orang lain, tapi kita sendiri. “Belajar menulis adalah belajar menangkap momen kehidupan dengan penghayatan paling total yg paling mungkin dilakukan oleh manusia.” Kata sang kreator dari sebuah novel. Dengan menulis, kita jadi punya mesin waktu pribadi, dan punya buku komedi sendiri. Tidak percaya?

Contoh: saat ini saya sudah kuliah, ketika saya ingin bernostalgia ke masa-masa sekolah, saya tinggal membaca tulisan saya beberapa tahun lalu. Kemudian saya akan melihat waktu itu seperti terulang kembali —Melihat dulu betapa sedihnya saat dilarang merantau ke suatu kota untuk menuntut ilmu, betapa malangnya saat hampir diusir dari rumah karena bercadar, betapa galaunya saat terombang-ambing di awal masa pubertas. 

Kau takkan percaya betapa tertawanya saya ketika membaca itu kembali. Padahal waktu itu rasanya sediiiih sekali ketika saya menuliskannya. Tapi saat ini kok menggelikan ginjal paru-paru yah. Dan ternyata dulu saya pernah melewati situasi begini, ya. Saya pernah berpikiran begitu, ya. Wooo, cara berpikir saya yang dulu dan yang sekarang ada perbedaan, ya. Cara saya menyikapi masalah juga berbeda, ya. Dan tentu, saya sudah berubah sejauh ini, ya.

Kalau kata Om saya, Om Juno, “Yang fana itu waktu. Kita abadi." Nah, kalau kata saya, “Yang fana itu manusia. Tulisannya abadi." 

Saya pernah mentweet ini, “Cara menghidupkan masa muda di hari tua nanti, yaitu membaca tulisan kita saat ini. Maka jika kau tak menulis, masa mudamu akan mati.”

Nah kebetulan satu pemikiraan dengan seorang penulis, Bang Alit Susanto, “Kenapa aku menulis buku? Agar kelak saat tak lagi bernyawa ragaku, semua ceritaku bisa dibaca oleh anak cucu.”

 Ada pertanyaan. Bagaimana kalau kita baru ingin memulai menulis? Bagaimana menuliskannya? Sepertinya juga sudah terlambat? Jangan khawatir masalah umur, bukankah orang belajar juga tak mengenal usia? Menulis pun begitu.

 Oh iya, memang banyak orang yang bertanya tentang bagaimana menuangkan ide-ide yg ada di kepala ke dalam sebuah tulisan. Jawabannya sederhana, “Mulai menulis saja.” Tak peduli seberapa kacau susunan bahasamu, seberapa rancu diksimu, yang terpenting mulailah dulu. Bukankah untuk telaten, orang harus mulai latihan.

 Ada lagi pertanyaan. Apakah manfaat menulis hanya untuk di masa depan? Orang yang baru memulai berarti belum bisa mendapatkan manfaatnya saat ini, karena belum ada tulisan di masa lalu? Justru saat ini manfaatnya sedang melimpah-limpahnya. Salah satunya, kita akan memahami bahwa untuk mengabadikan isi kepala, maka menulislah.

 Nah, ketika kita memiliki sebuah keresahan misalnya. Kemudian keresahan itu dituliskan. Sebenarnya kita sudah mengeluarkan satu wujud lain dari diri kita. Sehingga kita bagaikan telah berhadapan langsung dengan refleksi kita sendiri. Maka inilah kesempatan kita tuk membedahnya.

 Lihatlah dengan teliti, bagian mana dari wujud itu yang meresahkanmu, apa yang perlu kau ubah, kau ganti, kau tambahi, atau kau kau kurangi. Daannnn bwoooommmmm!!! Kau berhasil mengoperasi satu wujud dari refleksi dirimu sendiri untuk menjadi lebih baik. Sebab sejatinya, menulis adalah cerminan diri sekaligus proses membaca diri.

Ada lagi manfaat menulis untuk saat ini? Masih banyak, teman-teman! Di antaranya: menulis adalah obat instan untuk patah hati. Baik itu menulis dengan pulpen di lembaran kertas, atau menulis dengan paku di muka mantan. Nah kan? Dampaknya sangat bermanfaat untuk saat ini, dan tentunya untuk masa yang akan datang juga.

Langsung saja deh kesimpulan. Maka, buat apa kita menghabiskan waktu untuk memikirkan tulisan apa yang ingin orang lain lihat? Toh dampak positifnya lebih pada kita sendiri juga. Sebab sekali lagi, menulis adalah wadah yang sangat baik untuk kita bisa intropeksi, mendewasakan diri, dan berkenalan lebih jauh lagi dengan diri sendiri. Untuk kita lebih peka dengan keadaan sekitar, terlebih dengan perasaan orang lain, dan tentunya dengan perasaan kita sendiri.

Kata kakek saya, Mbah Pramoedya, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” Jadi, jika menulis adalah cara mudah mengabadikan diri dan cara asyik untuk membuat jejak rekam pribadi, kenapa kita tidak memulai? Kalau bukan kita sendiri, siapa lagi? Kalau bukan saat ini, kapan lagi? Salam hangatku untuk teman-temanmu yang masih ragu untuk mulai menulis :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun