4. Penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP)
5. Penghinaan terhadap pejabat negara (Pasal 316 KUHP)
6. Pengaduan fitnah kepada penguasa (Pasal 317 KUHP)
7. Menimbulkan Persangkaan palsu (Pasal 318 KUHP)
8. Pencemaran terhadap orang yang sudah mati (Pasal 320 KUHP)
Selain dalam Bab XVI, tindak pidana penghinaan juga diatur dalam Bab V, yaituPasal 156 (penghinaan golongan) dan Bab VIII, yaitu Pasal 207 (penghinaan terhadap penguasa umum) dan ada juga yang diatur dalam Bab II yaitu Pasal 134, Pasal 136bis,dan Pasal 137 (penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden).26 Penggunaanproposisi dalam UU ITE dan Amandemen UU ITE memiliki cakupan yang paradoksal. Istilah 'penghinaan' di dalam KUHP digunakan secara tersebar, yaitu menjadi judul Bab XVI dan disinggung dalam Pasal 156, Pasal 207, Pasal 134, Pasal 136bis, dan Pasal 137, sedangkan 'pencemaran nama baik' khusus disebutkan pada pasal-pasal tertentu saja karena memang ada penghinaan yang sifatnya bukanpencemaran nama baik seperti yang diatur dalam Pasal 315 KUHP yangdikualifikasikan sebagai Penghinaan Ringan.
Subyek hukum yang dilindungi Contoh kasus Florence dan Jogjakarta, Florence dalam hal ini didakwa, dituntut dan diputus menggunakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang mengatur mengenai pencemaran nama baik melalui teknologi informasi komunikasi. Namun pada hakikatnya sebenarnya apa yang ditransmisikan oleh Florence dalam status mediasosialnya merupakan penghinaan terhadap salah satu golongan rakyat Indonesia.Dengan demikian, yang dilindungi reputasinya dalam pasal ini, merujuk Pasal 156KUHP -- karena proposisi menghina, tidak hanya orang perorangan dan/atau orangyang sudah mati, tetapi juga golongan rakyat Indonesia.Mengingat bahwa perujukan ketentuan mengenai penghinaan dan/ataupencemaran nama baik yang tidak membatasi di pasal tertentu itu, membuatpejabat/penguasa/badan umum juga termasuk mendapatkan perlindungan. Jikamengaitkan dengan Pasal 310 KUHP, pernah ada yurisprudensi tahun 1891, yang menyatakan bahwa ketentuan tersebut hanyalah mengancam hukuman bagi penghinaan terhadap orang-orang tertentu, bukan terhadap dewan-dewan umum. 34 Namun Pasal 207 dan Pasal 316 KUHP juga menggunakan proposisi penghinaan, yang dampaknya adalah Pasal 27 ayat (3) UU ITE dapat merujuk kepadanya.Dalam hal yang menjadi korban adalah golongan tertentu, dalam UU ITE terbagimenjadi dua norma, yang pertama di Pasal 27 ayat (3) dan yang kedua adalah Pasal 28ayat (2). Pasal 27 ayat (3) mengatur tentang penghinaannya sedangkan Pasal 28 ayat(2) mengatur tentang menunjukkan permusuhan dan rasa kebencian. Pasal 156 KUHP menjadi asal-usul dan lex generalis dari Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UUITE.
Penutup
Penyebaran berita hoax berupa ujaran kebencian (hate speech)merupakan perbuatan yang dilarang oleh Undang-undang baik Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 dan Perubahannya yakni Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016. Keduanya sama-sama melarang masalah penyebaran berita hoax terutama hate speech dan memberikan sanksi tegas bagi para pelakunya. Hal ini sudah terbukti dari beberapa kasus hate speech yang ada. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 24 Tahun 2017 juga melarang penyebaran berita hoax berupa ujaran kebencian (hate speech) bahkan mengharamkannya. Masyarakat Muslim sebaiknya menggunakan pedoman yang ada di dalam Fatwa tersebut agar terhindar dari suatu hal yang diharamkan.
undangundang nomor 19 tahun 2016 tentang informasi traksaksi elektronik untuk membuat masyarakat Indonesia aman dari segala bentuk tindak pidana cyber crime, namun dewasa ini undang-undang ite digunakan sebagai alat untuk menjatuhkan lawannya, dengan menggunakan pasal-pasal yang dianggap karet apa bila terkena pasal tersebut maka akan sulit untuk terlepas darinya, kemudian dalam kebebasan berpendapat di Indonesia dijamin oleh undang-undang dasar 1945, dengan adanya undang-undang ite kebebasan tersebut dibatasi oleh undang-undang ite, ini merupakan suatu kemunduran demokrasi dalam sejarah Indonesia sehingga tidak sesuai dengan tujuan nasional pembentukan undang-undang ite dari segi sosio-politik Indonesia yang mana tujuan negara merupakan kehendak rakyat tidak kehendak penguasa,disini kebijakan hukum pidana harus lah selaras dengan tujuan politik negara Indonesia.
Daftar pustakaÂ