Mohon tunggu...
Vivi Cahyanti
Vivi Cahyanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang yang tertarik dengan konten mengenai sejarah, ekonomi, dan lingkungan. Memiliki hobi traveling dan terkadang mempunyai jiwa yang lelah untuk bersosialisasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Peristiwa Cemetuk: Konflik PKI dan NU di Banyuwangi

10 Juni 2024   20:23 Diperbarui: 12 Juni 2024   09:19 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lubang Buaya di Cemetuk Kabupaten Banyuwangi https://pwnujatim.or.id/di-banyuwangi-ada-monumen-lubang-buaya/

 

kelompok 8: Aji Sukma Sanjaya, Fahri Ardiansyah, Vivi Nur Cahyanti Agustyas,Muhammad Naufal Anizar

Situasi politik Indonesia sejak peristiwa 30S/PKI merupakan transisi kekuasaan Presiden Indonesia dari Soekarno kepada Soeharto. Peristiwa ini menjadi tanda masa awal orde baru, dengan Presiden Soeharto. Sejak tahun 1965 juga terjadi pembersihan besar -- besaran unsur PKI di Indonesia. Salah satu wilayah yang mengalami pergolakan adalah Banyuwangi. Banyuwangi pada tahun 1965 tergabung dalam Karesidenan Besuki. Wilayahnya di sebelah timur berbatasan dengan Selat Bali, di utara Situbondo, di barat Jember dan Bondowoso, dan di selatan Samudra Hindia.  Pengaruh PKI di Banyuwangi begitu kuat, dengan basis massa yang tersebar merata hingga ke pelosok desa. Hampir di setiap wilayah, terdapat basis massa PKI yang dikenal dengan sebutan "lemah abang" (tanah merah). Di wilayah utara Banyuwangi, basis massa PKI terpusat di Bajulmati, Singotrunan (Klembon), Tamenggungan, Lateng, Kampung Melayu, dan Mandar. Di wilayah selatan, basis massa PKI terkonsentrasi di Cemethuk, Mantekan, dan Karangasem.

Pada Pemilu 1955, PKI keluar sebagai pemenang di Desa Cluring. Dukuh Cemethuk menjadi basis suara terkuat PKI, dengan perolehan 1500 suara dari total 2500 suara di desa tersebut. PNI berada di urutan kedua dengan 500 suara, diikuti NU dan Masyumi di urutan ketiga dan keempat. Kemenangan ini menunjukkan kekuatan besar PKI di Desa Cluring, dengan konsentrasi massa di Dukuh Cemethuk, Karangrejo, Trembelang, dan beberapa dukuh lainnya.

Di bawah kepemimpinan Yatno dan wakilnya Mursyid, PKI Cemethuk tahun 1965 memiliki struktur kepengurusan yang solid dengan anggota seperti Paino, Supardi, Sukri, Suroto, Karnadi, Kaselan, Domo, Saidi, dan Kasman. Kemampuan politik mumpuni mereka memungkinkan kader-kader PKI Cemethuk menduduki jabatan penting di pemerintahan. PKI Cemethuk aktif dalam berbagai kegiatan. Mereka mengadakan pelatihan dan pembinaan partai hingga tingkat kabupaten, serta membantu organisasi sayap seperti BTI dan Pemuda Rakyat dalam mensukseskan agenda dan program kerja.

Pada minggu kedua bulan Oktober 1965, berbagai bentuk serangan seperti penangkapan, penculikan, penganiayaan, pembunuhan, pembakaran, dan perusakan terhadap rumah dan fasilitas umum yang diduga milik anggota dan simpatisan PKI dimulai di desa Karangrejo, Glenmore. Serangan dan pembakaran berikutnya terjadi di kecamatan Genteng dan Srono pada tanggal 9 hingga 10 Oktober 1965, dan pada 11 Oktober kekacauan meluas ke kecamatan Cluring, yang diakhiri dengan serangan ke Karangasem dan Dukuh Cemethuk, yang merupakan basis massa PKI sekaligus tempat pengungsian warga korban serangan dari daerah lain

Pada tanggal 11 Oktober 1965, banyak anggota dan simpatisan PKI melarikan diri ke Cemethuk untuk meminta perlindungan. Cemethuk juga menjadi tempat penampungan korban pembakaran yang selamat, terutama dari Sagat dan wilayah sekitar Desa Cluring. Pada tanggal 13 Oktober 1965, PKI membagi Cemethuk menjadi tiga pos kekuatan, yakni Pos I, Pos II, dan Pos III. Pos I di Cemethuk sebelah timur dipimpin Matulus dan Sudomo, Pos II di tengah dipimpin Mangun Lehar dan Wasito, dan Pos III di Cemethuk sebelah barat dipimpin Mursit dan Kaderin Budheng. Pos I ditunjuk sebagai pos induk yang menjadi pusat koordinasi. Keputusan-keputusan yang dihasilkan dari Pos I selanjutnya disebarluaskan ke Pos II dan Pos III yang sebagian besar dihuni oleh orang-orang pendatang yang mengungsi ke Cemethuk.

Menyusul banyaknya berita mengenai aksi-aksi sepihak yang dilakukan massa non-komunis, di Banyuwangi diadakan dengar pendapat melalui rapat akbar pada 16 Oktober 1965. yang seolah menjadi dasar pembenaran untuk melakukan pembantaian massal terhadap anggota atau simpatisan PKI oleh massa NU, PNI, maupun kelompok lain yang anti-PKI. . Sebelum diberangkatkan, massa penyerang dari Muncar dikumpulkan terlebih dahulu dan mengecat tubuh mereka sebagai tanda pengenal. Akan tetapi, Kurangnya koordinasi serta kerahasiaan dalam perekrutan massa di luar kecamatan Muncar membuat berita penyerangan ini sampai ke pimpinan PKI di Cemethuk. Warga yang mendengar rencana penyerangan segera melakukan koordinasi dan memperkuat pos-pos penjagaan di beberapa pintu masuk Dukuh Cemethuk, seperti di pertigaan Cemethuk-Cluring dan jalan di perbatasan Cemethuk-Karangasem. TNI-AD melakukan serangkaian aksi penangkapan berdasarkan data yang diperoleh dari pejabat pemerintahan di tingkat desa, dan sebagian dari korban tidak diketahui keberadaannya. Pada tanggal 18 Oktober 1965, Militer menerima pesan radio dari Kolonel Soemadi, Danrem 083, yang mengumumkan bahwa seluruh PKI di wilayah Korem 083 dinyatakan dibubarkan. Rencana ini diketahui oleh warga Cemethuk, dan sekitar pukul 08.00 WIB, tersebar kabar bahwa akan ada penyerangan terhadap orang-orang PKI di Karangasem oleh warga dari Muncar sebanyak tiga truk. Orang-orang PKI kebingungan dan segera membagi pos-pos penjagaan yang biasanya dilakukan pada malam hari.

Jumlah keseluruhan korban dalam peristiwa tersebut adalah 207 orang dari pihak Pemuda Muncar yang terbagi menjadi empat bagian: di Dusun Cemethuk sebanyak 62 orang yang dikubur dalam 3 lubang, di antara Desa Karangasem dan Dukuh Cemethuk sebanyak 121 orang, di Desa Karangasem sebanyak 23 orang, dan di Desa Sraten terdapat satu mayat yang diperkirakan meninggal dalam perjalanan kembali ke Muncar. Berita tentang kegagalan serangan Anshor di Cemethuk dan Karangasem segera sampai ke Komandan Korem 083, Kolonel Soemadi, melalui laporan dari koordinator penyerang, Mursid. Tentara juga melakukan pembunuhan terhadap anggota dan simpatisan PKI karena jumlah yang ditangkap terus bertambah. Khusus di sungai, mayat-mayat yang sudah dibakar kemudian dibuang ke tengah aliran sungai. Anggota dan simpatisan PKI di Cemethuk berhasil ditumpas oleh Angkatan Darat Yon 515 dan Kepolisian Cluring pada Jumat, 20 Oktober 1965, pukul 04.00 WIB. Kemudian Pada 21 Oktober 1965, Pemuda Demokrat Ranting Cemethuk menerima perintah tertulis dari Anak Cabang Cluring yang menginstruksikan PNI dan Pemuda Demokrat untuk segera membentuk Badan Komando Keamanan Sementara yang dipimpin oleh Santoso Hadi dan Soemardi Djamal. Badan ini bertugas untuk menumpas sisa-sisa gerombolan PKI yang masih ada di Dukuh Cemethuk.

Dampak Peristiwa Cemethuk

Dusun Cemethuk masih terus terkena dampak yang meruncing dari peristiwa tragis yang menghantamnya pada tanggal 18 Oktober 1965, di mana getaran tragedi masih terasa dalam tiap hela nafas masyarakatnya. Dampak yang terjadi dalam masyarakat yaitu masyarakat Cemethuk berusaha melupakan tragedi yang menimpa rumah mereka dan kehidupan mereka berangsur-angsur kembali normal. Selain teror yang berasal dari kebijakan anti-komunis pemerintahan Orde Baru, pembahasan mengenai tragedi ini juga tidak disukai. Adanya stigma yang melekat pada dusun Cemethuk oleh pihak luar yang berusaha merendahkannya, masyarakat Cemethuk mempunyai kecenderungan untuk mengisolasi diri dari dunia luar. Karena permusuhan masyarakat Islam terhadap peristiwa 18 Oktober 1965, masyarakat Cemethuk selalu dipersepsikan secara tidak langsung oleh masyarakat di luar dusun Cemethuk. Mereka biasa disebut sebagai "anak-anak PKI", "orang Abangan", dan "Bromocorah".

Dampak lainya yang dialami setelah peristiwa Cemethuk 1965 yaitu adanya wajib lapor seminggu sekali di kecamatan, bagi pendukung PKI dan keturunan anggota PKI yang masih tinggal di Dusun Cemethuk juga harus membayar biaya bulanan berupa batu pondasi, 1000 batu bata, atau bahkan satu truk penuh pasir. Pengalaman Dinoyo yang mendapat "screening" dari pihak kecamatan dan diharuskan menyiapkan seribu batu bata di halaman rumah. Pada 21 Oktober 1965, PNI Ranting Cemethuk, dan Pemuda Demokrat Ranting Cemethuk mendapat perintah tertulis dari Anak Cabang Cluring yang memberikan perintah, bahwa PNI dan Pemuda Marhaen segera membentuk Badan Komando Keamanan Sementara yang diketuai Santoso Hadi dan Soemardi Djamal; Badan ini bertugas menumpas habis sisa sisa gerombolan PKI yang ada di Dusun Cemethuk; pelaksanaan penumpasan ini tidka boleh main hakim sendiri,melainkan harus bertindak dibelakang komando ABRI

           

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun