Menurut defensive realism negara besar cenderung berusaha untuk mengimbangi kekuatan negara lawannya dan negara lemah biasanya cenderung membuat aliansi. Inilah yang dilakukan oleh Ukraina. Ukraina berusaha untuk meningkatkan perimbangan kekuatannya dengan berkeinginan masuk ke dalam NATO. Sedangkan apa yang dilakukan Rusia merupakan salah satu bentuk pertahanannya karena apabila Ukraina bergabung dengan NATO maka Rusia akan dikepung oleh musuh bebuyutannya dan tentu saja hal itu dikhawatirkan akan menganggu stabilitas keamanan Rusia dan bisa menjadi ancaman bagi keamanan rakyatnya. Ini disebabkan karena Ukraina bisa saja menjadi akses dan jalan masuk NATO untuk menyerang Rusia karena geografinya yang memungkinkan.
Apa yang diberitakan oleh Barat terkadang hanyalah media propaganda. Putin tidak berniat mengambil Ukraina. Dia menginvasi ukraina dengan alasan keamanan rakyat. Di posisi Rusia, apabila misalnya Ukraina bergabung dengan NATO, maka keamanan negaranya berada dalam bahaya. Rusia hanya ingin Ukraina tak bergabung dengan NATO, dan meminta NATO untuk menolak Ukraina. Putin beralasan militernya hanya ingin melindungi warga sipil di kawasan Donbas yang menuntut lepas dari Ukraina. Putin menuding tentara Ukraina justru yang pertama melakukan pelanggaran HAM dan genosida terhadap etnis minoritas di Donbas. Apa yang terjadi di wilayah Ukraina timur di area Donbas adalah gerakan separatisme etnis Rusia yang ingin memisahkan diri dari Ukraina. Yang terjadi adalah di sisi pandangan Ukraina mereka sedang melawan separatisme, sedangkan dari sisi pandangan Rusia mereka melindungi etnis Rusia dan mempertahankan pengaruh Rusia di Ukraina.
Salah satu konsep yang diajukan oleh perspektif Liberalisme adalah 'Democratic Peace Theory" yang mengatakan bahwa negara yang menganut demokrasi tidak akan terlibat dalam konflik bersenjata atau berperang dengan negara demokratis lain sehingga kondisi damai akan tercipta antar negara demokratis. Namun nampaknya konflik Rusia-Ukraina ini menjadi justifikasi atau menjadi kritik atas relevansi teori ini dalam praktik hubungan internasional karena kedua negara ini merupakan negara demokrasi dan seperti yang diketahui bahwa Rusia merupakan salah satu negara demokrasi federal pasca kehancuran komunisme Soviet.
EFEKTIVITAS SANKSI EKONOMI BARAT TERHADAP RUSIA
Ancaman sanksi ekonomi dan embargo untuk mendorong Rusia menghentikan agresinya tidak banyak berpengaruh karena Rusia merupakan suatu wilayah yang kuat sehingga mereka masih bisa bertahan menghadapi embargo tersebut. Buktinya adalah ketika Rusia mendapatkan sanksi embargo karena invasinya terhadap Krimea tahun 2014. Rusia justru menciptakan kebijakan De-Dollarization, yaitu upaya untuk mengurangi penggunaan dan ketergantungan terhadap dollar. Ini menunjukkan bahwa ekonomi Rusia memang telah terbukti ketahanannya.
Selain itu, upaya Uni Eropa dalam mengurangi pengaruh Rusia di kawasannya malah akan merugikan negara-negara Uni Eropa. Ini disebabkan karena pasokan Energi dan Minyak Eropa bergantung pada Rusia yaitu memiliki tingkat ketergantungan tinggi yang memasok sekitar 40% kebutuhan gas Uni Eropa. Upaya Uni Eropa dengan memberikan sanksi ekonomi dan usaha menekan tingkat ketergantungan ekonomi pada Rusia bisa dibilang tidak dapat menekan agresivitas Rusia karena sanksi ekonomi juga merugikan negara pemberi sanksi.
BUKAN PERANG DUNIA KETIGA, INVASI RUSIA KE UKRAINA MENJADI ‘PUKULAN KERAS’ BAGI GLOBAL SUPPLY CHAIN
Skenario terburuk jika konflik Rusia-Ukraina ini berkepanjangan, maka akan berdampak terhadap rantai pasok global. Ukraina disebut sebagai keranjang roti Eropa karena negara utama pengimpor gandum. Harga gandum telah meningkat karena para pedagang khawatir mengenai kemungkinan gangguan pengiriman. Dengan adanya invasi ini akan mengakibatkan rantai pasokan makanan menjadi terganggu. Gangguan pada pasokan tersebut dapat mempengaruhi ketahanan pangan di wilayah tersebut. Apabila pecah konflik terbuka antara kedua negara ini maka dunia akan menghadapi risiko baru yaitu lonjakan harga energi. Hal ini dikarenakan kedua negara tersebut memiliki komoditas ekspor yang penting bagi dunia. Rusia merupakan negara produsen minyak dan pemasok utama energi ke Eropa. Krisis ini mendorong harga minyak dunia menembus US$ 100 per barel.Â
Lalu bagaimana dampaknya terhadap Indonesia?
Dampak perang Rusia-Ukraina bagi Indonesia dapat dirasakan, terutama terkait dengan pasokan gandum. Meski bukan makanan pokok, konsumsi gandum di dalam negeri terbilang tinggi. Gandum digunakan sebagai bahan utama pembuatan mie instan, roti, gorengan, dan berbagai makanan ringan yang menggunakan tepung terigu. Ukraina juga memiliki hubungan perdagangan yang erat dengan Indonesia, meskipun negara ini adalah mitra dagang non-tradisional. Indonesia adalah salah satu importir utama gandum di dunia. Posisinya bahkan melampaui Turki dan Mesir, dua negara yang memang menjadikan gandum sebagai makanan pokok. Dikutip dari data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), Ukraina menempati urutan pertama asal gandum yang diimpor Indonesia. Volumenya juga meningkat dari tahun ke tahun. Misalnya, selama 2020, impor gandum Indonesia dari Ukraina mencapai 2,96 juta ton. Impor gandum dari Ukraina jauh melebihi keseluruhan impor kedelai Indonesia dari berbagai negara termasuk terutama AS. Selain itu, dampak perang Rusia-Ukraina bagi Indonesia juga akan meningkatkan inflasi dan biaya logistik yang akan jauh lebih mahal. Kebutuhan dasar juga akan meningkat dan daya beli masyarakat akan lebih rendah. Di sisi perdagangan, Indonesia berpotensi mengalami gangguan pasokan, terutama untuk minyak dan gas, akibat embargo global terhadap Rusia yang dapat mempengaruhi stabilitas pasokan dan harga minyak global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H