Mohon tunggu...
Viviaslin
Viviaslin Mohon Tunggu... Mahasiswa - silent reader

Why being racist, sexist, homophobic, misogynist when you could just being quite and writing. Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Isu Global Kontemporer: Invasi Rusia ke Ukraina Ditinjau dari Teori HI

8 Maret 2022   01:00 Diperbarui: 8 Maret 2022   09:33 1613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perang dunia 1. Semua negara-negara sudah saling ancam mengancam berdasarkan aliansi.

Konflik antara Rusia dan Ukraina yang sedang terjadi saat ini tidak hanya akan mempengaruhi stabilitas kedua negara, namun juga stabilitas global di berbagai sektor, seperti ekonomi, sosial, politik, bahkan keamanan global. Permasalahan ini berkaitan dengan isu global kontemporer yaitu bagian dari isu pertahanan dan keamanan global. Konflik ini mencuat karena Ukraina ingin bergabung dengan NATO (North Atlantic Traety Organization), yang dimana hal tersebut membuat Rusia lumayan khawatir karena menganggap bahwa jika Ukraina bergabung dengan NATO, itu artinya Rusia akan dikepung dari segala arah oleh musuh bebuyutannya, yaitu negara-negara barat. Ukraina-Rusia tidak akan memicu perang dunia ketiga. Apa yang terjadi di Ukraina hanyalah gertak-gertakan Rusia dan Rusia sendiri tidak menginginkan perang.

Kenapa tidak memicu perang dunia ketiga?

Pertama, kemungkinan perang dunia ketiga itu terjadi apabila sebagian besar negara di dunia atau setidaknya beberapa negara-negara kuat (Amerika, Rusia, China, Inggris, Perancis) memutuskan untuk perang satu sama lain. Selama belum ada perang satu sama lain antar kekuatan-kekuatan besar, kemungkinan terjadinya perang dunia ketiga terbilang sedikit dan hampir tidak mungkin terjadi hanya karena Rusia memutuskan untuk menginvasi Ukraina. Apalagi Amerika dan Inggris sudah mengatakan bahwa mereka tidak akan mengirim pasukan ke Ukraina untuk melawan Rusia, melainkan mereka hanya akan membantu Ukraina dengan mengirimkan senjata-senjata saja.

Selain itu, di saat sedang panas-panasnya karena Rusia memobilisasi tentaranya ke perbatasan Ukraina, negara-negara NATO tidak bereaksi dengan mengirim tentara lebih banyak lagi ke Ukraina. Walaupun ada asistensi militer dengan pengiriman personel militer ke Ukraina, tetapi jumlahnya tidak bisa dibilang untuk perang total.

Kedua, dan bagaimana dengan NATO? Apakah mereka akan membantu Ukraina bila berperang dengan Rusia? 

ff7b7cea-47be-4a34-ad23-c2ff3e9ea65d-622698b93179493c250a4fa3.jpeg
ff7b7cea-47be-4a34-ad23-c2ff3e9ea65d-622698b93179493c250a4fa3.jpeg
Tentu saja NATO tidak mau membela Ukraina. Poin penting disini adalah Ukraina bukan anggota NATO. Selain itu, NATO juga tidak mau beresiko ekskalasi perang meluas dengan Rusia. Bagaimanapun Rusia adalah negara dengan kekuatan militer terkuat ke dua dan mempunyai senjata nuklir. Apa yang dilakukan oleh Barat maksimal adalah sanksi ekonomi dan mendestabilisasi Rusia secara perlahan hingga menjadi negara yang lemah. Ukraina pun tidak bodoh mau berperang dengan negara yang jauh lebih kuat. Rusia paham benar cara menjaga keamanan dan ketahanan negaranya. Itulah kenapa mereka mau tidak mau harus mengambil alih perbatasan Ukraina dengan Rusia. Lalu negara-negara NATO pun tidak terlihat langsung nafsu perang. Contohnya Perancis, Perancis berinisiatif untuk memediasi konflik ini untuk menurunkan ketegangan. 


Dan sebagaimana kita lihat, ketegangan pun menurun. Rusia menarik sebagian pasukannya menjauh dari perbatasan. Begitu pula Jerman. Jerman hanya menyumbang helm dan peralatan kesehatan untuk Ukraina. Bisnis Jerman terlalu besar dengan Rusia untuk dibatalkan demi mendukung Ukraina, apalagi ada rencana pembangunan pipa gas Rusia-Jerman lewat Laut Utara. Jerman tentu akan menimbang hal tersebut sebelum memutuskan untuk mendukung Ukraina.

Ketiga, Rusia adalah salah satu dari negara yang memiliki nuclear-weapon dengan hulu ledak nuklir terbanyak, dan perang nuklir bisa menjadi opsi terakhir jika Rusia dan Putin sudah merasa sangat tertekan. Dari sini kita bisa melihat bahwa Barat dan NATO sangat berhati-hati untuk tidak akan memulai mendeklarasikan perang terlebih dahulu, kecuali mereka diserang dahulu. Kepemilikan senjata nuklir ini justru yang akan membuat perang dunia ketiga tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Hal ini dikarenakan senjata nuklir jadi daya tawar yang menarik jika ada suatu negara ingin berperang dengan  nuclear-weapon states.

MENINJAU KONFLIK RUSIA-UKRAINA DALAM TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL

Konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina ini menjadi bukti bahwa paradigma realisme ini masih bisa berjalan di dunia saat ini. Di dalam paradigma realisme dikenal salah satu aliran yakni defensive structural realism atau realisme defensif yang beranggapan bahwa negara berfokus untuk menjaga keamanan nasionalnya sehingga negara sebagai security maximizers. (Defensive Realism) 

Menurut defensive realism negara besar cenderung berusaha untuk mengimbangi kekuatan negara lawannya dan negara lemah biasanya cenderung membuat aliansi. Inilah yang dilakukan oleh Ukraina. Ukraina berusaha untuk meningkatkan perimbangan kekuatannya dengan berkeinginan masuk ke dalam NATO. Sedangkan apa yang dilakukan Rusia merupakan salah satu bentuk pertahanannya karena apabila Ukraina bergabung dengan NATO maka Rusia akan dikepung oleh musuh bebuyutannya dan tentu saja hal itu dikhawatirkan akan menganggu stabilitas keamanan Rusia dan bisa menjadi ancaman bagi keamanan rakyatnya. Ini disebabkan karena Ukraina bisa saja menjadi akses dan jalan masuk NATO untuk menyerang Rusia karena geografinya yang memungkinkan.

Apa yang diberitakan oleh Barat terkadang hanyalah media propaganda. Putin tidak berniat mengambil Ukraina. Dia menginvasi ukraina dengan alasan keamanan rakyat. Di posisi Rusia, apabila misalnya Ukraina bergabung dengan NATO, maka keamanan negaranya berada dalam bahaya. Rusia hanya ingin Ukraina tak bergabung dengan NATO, dan meminta NATO untuk menolak Ukraina. Putin beralasan militernya hanya ingin melindungi warga sipil di kawasan Donbas yang menuntut lepas dari Ukraina. Putin menuding tentara Ukraina justru yang pertama melakukan pelanggaran HAM dan genosida terhadap etnis minoritas di Donbas. Apa yang terjadi di wilayah Ukraina timur di area Donbas adalah gerakan separatisme etnis Rusia yang ingin memisahkan diri dari Ukraina. Yang terjadi adalah di sisi pandangan Ukraina mereka sedang melawan separatisme, sedangkan dari sisi pandangan Rusia mereka melindungi etnis Rusia dan mempertahankan pengaruh Rusia di Ukraina.

Salah satu konsep yang diajukan oleh perspektif Liberalisme adalah 'Democratic Peace Theory" yang mengatakan bahwa negara yang menganut demokrasi tidak akan terlibat dalam konflik bersenjata atau berperang dengan negara demokratis lain sehingga kondisi damai akan tercipta antar negara demokratis. Namun nampaknya konflik Rusia-Ukraina ini menjadi justifikasi atau menjadi kritik atas relevansi teori ini dalam praktik hubungan internasional karena kedua negara ini merupakan negara demokrasi dan seperti yang diketahui bahwa Rusia merupakan salah satu negara demokrasi federal pasca kehancuran komunisme Soviet.

EFEKTIVITAS SANKSI EKONOMI BARAT TERHADAP RUSIA

c5d6bce0-8ce4-4199-a69a-5973bd58413b-62269827bb44867d342a9f52.jpeg
c5d6bce0-8ce4-4199-a69a-5973bd58413b-62269827bb44867d342a9f52.jpeg
Tindakan Rusia terhadap Ukraina telah menyebabkan Negara-negara Barat dan Uni Eropa bereaksi dengan menyatakan kecaman salah satu bya dengan cara menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Rusia -- contohnya Amerika Serikat (AS) yang membekukan aset beberapa bank utama Rusia dan memotong impor barang teknologi dari Rusia, serta mendesak kedua negara untuk menempuh jalur mediasi.

Ancaman sanksi ekonomi dan embargo untuk mendorong Rusia menghentikan agresinya tidak banyak berpengaruh karena Rusia merupakan suatu wilayah yang kuat sehingga mereka masih bisa bertahan menghadapi embargo tersebut. Buktinya adalah ketika Rusia mendapatkan sanksi embargo karena invasinya terhadap Krimea tahun 2014. Rusia justru menciptakan kebijakan De-Dollarization, yaitu upaya untuk mengurangi penggunaan dan ketergantungan terhadap dollar. Ini menunjukkan bahwa ekonomi Rusia memang telah terbukti ketahanannya.

Selain itu, upaya Uni Eropa dalam mengurangi pengaruh Rusia di kawasannya malah akan merugikan negara-negara Uni Eropa. Ini disebabkan karena pasokan Energi dan Minyak Eropa bergantung pada Rusia yaitu memiliki tingkat ketergantungan tinggi yang memasok sekitar 40% kebutuhan gas Uni Eropa. Upaya Uni Eropa dengan memberikan sanksi ekonomi dan usaha menekan tingkat ketergantungan ekonomi pada Rusia bisa dibilang tidak dapat menekan agresivitas Rusia karena sanksi ekonomi juga merugikan negara pemberi sanksi.

BUKAN PERANG DUNIA KETIGA, INVASI RUSIA KE UKRAINA MENJADI ‘PUKULAN KERAS’ BAGI GLOBAL SUPPLY CHAIN

Skenario terburuk jika konflik Rusia-Ukraina ini berkepanjangan, maka akan berdampak terhadap rantai pasok global. Ukraina disebut sebagai keranjang roti Eropa karena negara utama pengimpor gandum. Harga gandum telah meningkat karena para pedagang khawatir mengenai kemungkinan gangguan pengiriman. Dengan adanya invasi ini akan mengakibatkan rantai pasokan makanan menjadi terganggu. Gangguan pada pasokan tersebut dapat mempengaruhi ketahanan pangan di wilayah tersebut. Apabila pecah konflik terbuka antara kedua negara ini maka dunia akan menghadapi risiko baru yaitu lonjakan harga energi. Hal ini dikarenakan kedua negara tersebut memiliki komoditas ekspor yang penting bagi dunia. Rusia merupakan negara produsen minyak dan pemasok utama energi ke Eropa. Krisis ini mendorong harga minyak dunia menembus US$ 100 per barel. 

Lalu bagaimana dampaknya terhadap Indonesia?
Dampak perang Rusia-Ukraina bagi Indonesia dapat dirasakan, terutama terkait dengan pasokan gandum. Meski bukan makanan pokok, konsumsi gandum di dalam negeri terbilang tinggi. Gandum digunakan sebagai bahan utama pembuatan mie instan, roti, gorengan, dan berbagai makanan ringan yang menggunakan tepung terigu. Ukraina juga memiliki hubungan perdagangan yang erat dengan Indonesia, meskipun negara ini adalah mitra dagang non-tradisional. Indonesia adalah salah satu importir utama gandum di dunia. Posisinya bahkan melampaui Turki dan Mesir, dua negara yang memang menjadikan gandum sebagai makanan pokok. Dikutip dari data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), Ukraina menempati urutan pertama asal gandum yang diimpor Indonesia. Volumenya juga meningkat dari tahun ke tahun. Misalnya, selama 2020, impor gandum Indonesia dari Ukraina mencapai 2,96 juta ton. Impor gandum dari Ukraina jauh melebihi keseluruhan impor kedelai Indonesia dari berbagai negara termasuk terutama AS. Selain itu, dampak perang Rusia-Ukraina bagi Indonesia juga akan meningkatkan inflasi dan biaya logistik yang akan jauh lebih mahal. Kebutuhan dasar juga akan meningkat dan daya beli masyarakat akan lebih rendah. Di sisi perdagangan, Indonesia berpotensi mengalami gangguan pasokan, terutama untuk minyak dan gas, akibat embargo global terhadap Rusia yang dapat mempengaruhi stabilitas pasokan dan harga minyak global.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun