Mohon tunggu...
Viviaslin
Viviaslin Mohon Tunggu... Mahasiswa - silent reader

Why being racist, sexist, homophobic, misogynist when you could just being quite and writing. Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengapa Perlu Kesetaraan Gender?

3 Maret 2022   18:00 Diperbarui: 3 Maret 2022   18:02 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

BAYANG-BAYANG PEREMPUAN DALAM PARLEMEN
(mengapa harus ada persentase yang dijadikan eksistensi perempuan?)

Representasi perempuan di ranah politik sudah didorong melalui berbagai macam kebijakan yaitu, disahkannya Pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008 yang memberikan kuota minimal 30 persen bagi perempuan di parlemen dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, dalam hal pendirian dan pembentukan partai politik, menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan. Meski representasi perempuan di ranah politik sudah didorong melalui macam kebijakan tersebut, namun hasilnya masih jauh dari memuaskan. Berdasarkan data dari  Inter-Parliamentary Union (IPU) tahun 2017, proporsi perempuan dalam parlemen di Indonesia masih jauh di bawah rata-rata dunia. Rata-rata dunia sebesar 23,6 persen wanita yang menduduki kursi di parlemen. Sedangkan Indonesia sebanyak 19,80 persen.
Kurangnya representasi perempuan dalam bidang politik antara lain disebabkan oleh kondisi budaya Indonesia yang masih kental nuansa patriarki yang tidak diimbangi kemudahan akses dalam bentuk tindakan afirmatif bagi perempuan, mengapa memberikan kuota untuk keterwakilan perempuan? (udah dikasih hati malah minta jantung ya perempuan ini) Bukankah kita sama-sama makan nasi dan hidup menghirup udara, mengapa memberikan persentase untuk melihat kehadiran perempuan. Masih ada berbagai instrumen politik dan hukum ( yang tidak secara eksplisit) menunjukkan diskriminasi terhadap perempuan namun tidak pula memberikan pembelaan dan kemudahan bagi perempuan dalam berbagai bidang, termasuk politik. Ini masih satu faktor saja, lalu apa faktor lainnya
Faktor pertama berhubungan dengan konteks budaya di Indonesia yang masih sangat kental asas patriarkalnya. Persepsi yang sering dipegang adalah bahwa arena politik adalah untuk laki-laki, dan bahwa tidaklah pantas bagi perempuan untuk menjadi anggota parlemen.
Faktor kedua berhubungan dengan proses seleksi dalam partai politik. Seleksi terhadap para kandidat biasanya dilakukan oleh sekelompok kecil pejabat atau pimpinan partai, yang hampir selalu laki-laki. Di Indonesia kesadaran mengenai kesetaraan gender dan keadilan masih rendah,pemimpin laki-laki dari partai-partai politik
mempunyai pengaruh yang tidak proporsional terhadap politik partai ini menyebabkan perempuan tidak memperoleh banyak dukungan dari partai-partai politik karena
struktur kepemimpinannya didominasi oleh kaum laki-laki.
Ketiga, berhubungan dengan media yang berperan penting dalam membangun opini publik mengenai pentingnya representasi perempuan dalam parlemen. Media harus lebih gencar memaparkan hal ini ke masyarakat.
Memperjuangkan kesetaraan gender bukan berarti menuntut perempuan untuk menjadi sama dengan lelaki, tetapi mendukung perempuan dan lelaki agar mendapat kesempatan untuk ada dalam posisi yang sejajar.Ini abad ke-21. Perempuan dan lelaki bisa sama-sama jadi pemimpin, bisa berbagi pendapat dan beban, bisa berada dalam spektrum femininitas-maskulinitas, harus pula bisa saling melindungi. Pekerjaan rumah kita masih banyak sekali untuk lebih memberdayakan (bukan memperdaya) perempuan dan lelaki, serta mewujudkan kesetaraan gender.

PEREMPUAN JUGA PERLU DIEDUKASI
Anggapan bahwa perempuan hanya boleh mengerjakan hal-hal yang bersifat lembut sebagai suatu privilege juga harus segera dihentikan dari pikiran perempuan itu sendiri. Dalam kehidupan sekarang yang sedemikian kompleks, baik laki-laki maupun perempuan dituntut bergerak dinamis dan multitasking. Meskipun pada dasarnya manusia hidup dalam bingkai sifat saling tolong menolong, namun bukankah menjadi berdikari lebih baik?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun