Mohon tunggu...
Viviaslin
Viviaslin Mohon Tunggu... Mahasiswa - silent reader

Why being racist, sexist, homophobic, misogynist when you could just being quite and writing. Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengapa Perlu Kesetaraan Gender?

3 Maret 2022   18:00 Diperbarui: 3 Maret 2022   18:02 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Berbicara Gender berarti berbicara tentang persamaan & perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan. Karena itu, gender berbicara dalam lingkup tataran kehidupan sosial budaya masyarakat. Mengapa harus ada kesetaraan gender?
Setara (equal) agar bisa hidup selaras, seimbang dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian laki-laki dan perempuan dapat saling isi-mengisi, saling berbagai tugas dan dalam segala aktivitas dan dimensi kehidupan.
Dasar menggugat feminisme adalah pemahaman keliru tentang kodrat --- banyak yang bilang bahwa feminisme membuat perempuan lupa akan kodratnya. Lho, kodrat itu apa? Sifat asli atau bawaan, yang tidak bisa diubah karena memang tercipta demikian. Betul, perempuan dan lelaki punya kodratnya masing-masing, yang tidak bisa dipertukarkan. Misal, hanya perempuan yang bisa terlahir dengan organ tubuh vagina dan rahim, serta cuma perempuan yang bisa hamil, melahirkan, dan menyusui. Hanya laki-laki yang bisa terlahir dengan penis dan zakar, serta memiliki sperma yang bisa membuahi sel telur.
Soalan bekerja, mengurus anak, memimpin, dan dipimpin, semua hal tersebut bukanlah kodrat karena dapat dilakukan oleh perempuan dan laki-laki. Tidak terbatas oleh sifat biologis atau fisik.

PERAN PEREMPUAN DALAM RANAH PUBLIK

Di Indonesia sendiri, hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan dan bekerja di ranah publik menjadi salah satu tolok ukur dari penerapan akan kesetaraan gender. Namun hal ini masih menghadapi rintangan yakni masih mengakar kuatnya pemikiran patriarki di masyarakat Indonesia.
Dalam artikel yang pernah saya baca (https://www.kompas.id/baca/utama/2019/12/27/tantangan-mewujudkan-kesetaraan-jender-semakin-berat/) diejawantahkan belum maksimalnya peran perempuan dalam sektor publik karena stigma di kalangan masyarakat masih menganggap bahwa urusan domestik adalah urusan perempuan karena itu adalah kodrat perempuan. (menurut pemahaman masyarakat bahwa kodrat perempuan adalah mengurus segala urusan domestik).
Masyarakat Indonesia terutama awam belum memahami perbedaan antara dimensi gender dan kodrat. Konsepsi laki-laki dan perempuan berdasarkan konstruksi masyarakat berdasarkan "peran" laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Dimana praktik yang kita jumpai peran perempuan kebanyakan pada urusan domestik sedangkan laki-laki pada urusan publik. Perempuan mengurus rumah, merawat anak, mengurus keperluan dan melayani suami. Sedangkan laki-laki perannya adalah bekerja di luar rumah dan terlibat dalam peran kemasyarakatan.
Terkadang masih sering terjadi kesalah pahaman jika tuntutan para feminis akan kesetaraan dipahami sebagai persamaan, padahal kesetaraan berbeda dengan persamaan. Kesetaraan yang dimaksud adalah diberikannya akses yang sama bagi perempuan untuk dapat mengaktualisasikan dirinya dalam berbagai bidang dimana perempuan memiliki kapasitas dan kapabilitas yang sama atau bahkan lebih dari laki-laki. Ini yang perlu menjadi perhatian masyarakat dalam hal kesetaraan gender. Memang topik gender ini masih asing bagi masyarakat awam, tetapi praktik bias gender begitu erat dengan kehidupan keseharian masyarakat dimana perempuan masih diperlakukan sebagai warga kelas 2, urusannya hanya domestik (rumah, kasur dan dapur) tanpa memandang jika perempuan juga memiliki potensi. Meskipun perempuan mendapatkan akses pendidikan tetapi peran perempuan terkadang masih dibatasi oleh stigma tersebut. Praktik bias gender tersebut membatasi ruang gerak perempuan sehingga adanya ketimpangan dimensi gender di ranah publik.

"ini pekerjaan laki-laki dan ini pekerjaan perempuan". begitulah kira-kira, sayangnya di Indonesia khususnya kaum pedesaan masih banyak orang mengatakan, "untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi toh nanti dia ngurus rumah tangga"

Pertanyaannya apakah kesetaraan gender di Indonesia bisa terwujud? Maka jawabannya bisa. Dengan syarat bahwasanya masyarakat harus memahami perbedaan antara kodrat dan gender. Mungkin kesetaraan yang dimaksud lebih ke hak-hak wanita, ingin melepaskan stigma konservatif kalau lelaki harus lebih dominan. Misalnya, dalam pekerjaan, wanita bisa menjadi atasan selama dia lebih mampu. Sedangkan masalah kodrat kesetaraan fisik wanita dan pria memang sedikit banyak berbeda, hal biologis yang sudah bersifat kodrat, dalam anatominya sendiri, struktur tubuh lelaki lebih kuat dari wanita, itulah mengapa wanita didahulukan, karena secara fisik lelaki lebih bisa survive dalam situasi sulit dibanding wanita. Jadi selama ini kesetaraan yang diperjuangkan lebih ke hak-hak dalam ranah sosial. Disini wanita dan pria saling menyesuaikan aja, yang mana kesetaraan, yang mana memang perbedaan gender yang sudah semestinya.

"udah gausah berbicara kesetaraan gender lagi, zaman sekarang perempuan udah pada hebat melampaui laki-laki. mbaknya kurang update informasi makanya teriak-teriak kesetaraan gender sendiri di saat perempuan di luar sana udah pada melesat keluar angkasa" HMM IYA

Memanglah kondisi perempuan masa kini secara umum memang sudah jauh lebih baik ketimbang dari dahulu. Perempuan bisa membaca, sekolah, bekerja, dan berkarya. Betul, sejumlah perempuan bisa menggapai prestasi melampaui laki-laki. Namun, masih ada kesenjangan dan ketimpangan gender yang bisa jadi pengecualian, masih ada kekerasan terhadap perempuan, adanya ketimpangan gender dalam ranah tertentu.
Masih ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mendiskriminasi perempuan dan menciptakan stereotip gender. Sebagai contoh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 22 PUU-XV/2017 menjelaskan mengenai pidana aktivitas seksual konsensual antara pasangan yang belum menikah.
Dalam tingkatan daerah, ada masyarakat patriarkal seperti di Aceh, hukuman publik atas hubungan seks konsensual juga menambah derajat keparahan hukuman tersebut bagi perempuan karena mengakarnya stereotip gender yang mengatur seksualitas perempuan melalui stigma "rasa malu" dan "merusak reputasi".
Kriminalisasi terhadap aktivitas seksual konsensual ini  melanggar hukum dan standar HAM internasional. Secara khusus, Komite HAM PBB telah memutuskan bahwa hukum yang mengkriminalisasi aktivitas seksual konsensual telah melanggar hak privasi dan harus dicabut.
Peraturan perundang-undangan yang mengkriminalisasi hubungan seks konsensual di luar pernikaan menjadi
hambatan yang serius bagi wanita dan anak perempuan untuk melaporkan pemerkosaan atau kekerasan seksual yang dialaminya. Perempuan dan anak-anak perempuan yang mengalami kekerasan seksual akan merasa enggan untuk melaporkan tindak kekerasan tersebut, tidak hanya karena stigma sosial dan perilaku diskriminasi yang akan menyalahkan perempuan atas kekerasan yang mereka derita, namun juga karena rasa takut jika laporan mereka tidak dipercaya atau mereka tidak mampu memberikan bukti yang cukup, mereka justru dapat dituduh telah melakukan khalwat, ikhtilath, atau zina.

Belum lagi, kekerasan terhadap perempuan masih banyak terjadi di Indonesia. Survei BPS pada 9.000 responden menemukan 1 dari 3 perempuan pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual. Dalam pernikahan, kasus kekerasan diakui terjadi oleh 2 dari 11 perempuan yang menjadi responden. Bentuk kekerasan yang terjadi mulai dari tamparan, pukulan, dorongan, jambakan, tendangan, hingga benar-benar dihajar. Penundaan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual  menunjukkan pembentukan undang-undang belum mempertimbangkan kondisi kerentanan perempuan.
Padahal, kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia masih tinggi, dan terus terjadi. Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional 2016 (BPS, 2018), 1 dari 3 perempuan berusia 15-64 tahun (sekitar 28 juta) pernah mengalami kekerasan.
Komnas Perempuan, dalam Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan 2019, menyebutkan kasus pengaduan kekerasan terhadap perempuan meningkat 14 persen, yaitu dari 348.466 kasus pada 2017 menjadi 406.178 kasus pada 2018. Namun peningkatan ini bisa juga karena semakin banyak korban atau masyarakat yang berani melaporkan kasus kekerasan terhadap perempuan. Tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan merupakan cermin dari budaya ketidaksetaraan dan diskriminasi terhadap perempuan.

Kesenjangan ini kemungkinan besar dipicu oleh aspek kultural nan patriarkhal, yang juga tercermin pada kebijakan publik dan korporat.
Partisipasi perempuan di bidang ekonomi Indonesia juga rendah. Ini dibuktikan dengan Data Profil Perempuan Indonesia 2018 menjelaskan bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan baru 50,89 persen, ini sangat timpang dengan TPAK laki-laki yang sekitar 82,51 persen. Adapun lembaga Amnesti Internasional pada 2016 melaporkan bahwa adanya diskriminasi tenaga kerja perempuan dan pelanggaran hak-hak pekerja di perkebunan di Indonesia yang memasok kelapa sawit untuk Wilmar. Perkebunan tersebut mempekerjakan perempuan sebagai pekerja lepas, padahal mereka telah lama bekerja untuk perusahaan. Sedangkan laki-laki lebih mungkin diperkerjakan dengan kontrak permanen. (Amnesty International, The Great Palm Oil Scandal: Labour Abuses Behind Big Brand Names [Skandal Besar Minyak Sawit: Pelanggaran Hak Buruh di 67 Belakang Nama-Nama Merk Besar] (Indeks: ASA 21/5184/2016).

Bukankah wanita sudah sering diistimewakan?
Kalau soal berbagi beban, saya rasa ini masalah kemanusiaan, bukan mengistimewakan salah satu gender. Kalau Anda punya fisik yang kuat dan melihat orang lain yang badannya lebih lemah, apa salahnya membantu?

Lalu bagaimana pemerintah Indonesia melihat isu ketimpangan gender ini?
Sedikit angin segar telah berhembus dalam isu ketimpangan gender di Indonesia dalam level pemerintahan dengan dikeluarkannya kebijakan yang mengatur mengenai porsi perempuan dalam kursi perpolitikan. Lantas hal tersebut masih belum cukup kuat untuk membuktikan bahwa Indonesia telah berpihak pada isu ketimpangan gender (belum mampu lebih tepatnya). Mengapa?
Ini disebabkan dalam prakteknya ternyata proporsi perempuan di parlemen Indonesia masih di bawah rata-rata jika dibandingkan dengan negara lain di dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun