Menguak pagi, membungkam embun
di lelehan udara gegap gempita cahaya
mulai meruncing sinar
Kita singkap aksara baru
masih tersisa makna yang tersampul di buku usang
di lintas waktu kita jelajahi lembar demi lembar
wajah Kafka tak lagi duduk di pusaranya
mungkin tanah telah mengukir bayangannya
dan berkelana menyempurnakan apa yang mengusik pikiran kita
di bingkai langit, tempat sabda-sabda suci semesta rimba
Hitam dan putih, garis ini
bersatu di sehelai kertas
tinggalkan jejak yang beranjak menuju peradaban baru
seharusnya sajakku berlari, tinggalkan mimpi Kafka
karena kasat mata ini tak lagi rimbun
membaca melodrama yang ada di pikiran Kafka
dan kutuangkan morfem, meski bukan babak rindu
yang bisa menyatukan masaku dengannya
Entah, apakah ini sepenggal dusta
menyelinap di tubuh sajakku
hingga bayangan Kafka hanya menjadi tarian
di serpihan cahaya yang mengalungi pusarannya
atau sebuah mimpi yang harus kusempurnakan
meski melayang samar di raut mega
seperti doa-doa yang menyertai zaman
Malang, Februari 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H