Politik dan agama seperti tidak terpisah belakangan ini, kesalehan dan kereligiusan politisi ataupun partai politik seperti menjadi keharusan, Agama kuat sebagai doktrin dan legitimasi, dan politik membutuhkan agama sebagai alat legitimasi untuk mencapai eksistensi, kekuasaan, dan menjaring suara serta simpati masa. Akhirnya spiritualitas dan simbol keagamaan menjadi produk politik dan domain khas atau khusus yang menjadi identitas politisi dan partai politik lalu kemudian dikenalkan kepada khalayak yang disebut sebagai political marketing.(Diinis Sipa, 2021)
Dalam era demokrasi modern, kampanye politik menjadi bagian penting dari proses pemilihan umum. Dalam perspektif Islam, kampanye politik memiliki nuansa khusus, di mana prinsip-prinsip agama Islam berperan dalam membimbing dan mengatur cara kampanye dilakukan. Artikel ini akan membahas tentang kampanye politik dalam perspektif Islam, menggabungkan prinsip-prinsip agama dan kewarganegaraan yang saling melengkapi.
Di dalam hukum Islam, persoalan politik dikenal dengan fiqh siyasah, memang belum ada pengertian kampanye secara baku. Namun, ada beberapa unsur[1]unsur perilaku di dalam Islam yang mengindikasikan apabila perbuatan tersebut merupakan suatu tindakan yang memiliki makna kampanye, yakni menawarkan diri untuk menjadi pemimpin dan ajakan untuk memilih dirinya sebagai pemimpin.
Sedangkan dalam hal ini kampanye ialah sebuah tindakan yang bersifat persuasi. Persuasi yang berarti menghimbau atau perilaku mengajak seseorang dengan cara memberikan alasan serta prospek yang baik untuk meyakinkannya. Di dalam sejarah Islam, istilah kampanye dalam fiqh siyasah memang belum familiar dan dikenal secara luas. Istilah tersebut telah ada sebelum masa kontemporer ini, di mana telah terbentuk negara-bangsa yang banyak bercorak demokrasi bagi negara yang mayoritas muslim khususnya di Timur Tengah dan Asia Tenggara. Pelaksanaan kampanye merupakan salah satu bagian atas terselenggaranya pemilihan umum. Di dalam fiqh siyasah, istilah pemilihan umum dikenal dengan Intikhabah al-‘ammah. Intikhabah merupakan jama’ muannassalim yang berasal dari kata intikhaba-yantakhibu yang artinya memilih.(Ashsubli, 2017)
untuk menjadi pemimpin, Telah dijelaskan dalam firman Allah tentang perkataan Yusuf as. dalam Q.S. Yusuf ayat 55, yakni: ٌ يم ِ ل َ يظٌ ع ِ ف َ ّّنِ ح ِ ِض إ ْ نِ ا ْْلَر ِ ائ َ ز َ ٰ خ لَى َ لْ ِِن ع َ ع ْ ا َل اج َ ق
Artinya: Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan" (Q.S. Yususf: 55).(Siyasah, n.d.)
Etika dan Moralitas Kampanye Politik dalam Islam:
a. Menjunjung Tinggi Keadilan: Prinsip keadilan Islam harus tercermin dalam kampanye politik, menghindari penipuan, fitnah, atau praktik yang tidak adil.
b. Kesantunan dan Etika Berkomunikasi: Kampanye politik harus dilakukan dengan cara yang sopan, menghindari fitnah, serangan pribadi, atau retorika yang memecah belah masyarakat.
c. Transparansi dan Integritas: Keterbukaan dan integritas harus menjadi prinsip utama dalam kampanye politik, termasuk dalam hal pendanaan dan laporan keuangan.
Peran Aktif Muslim dalam Politik:
a. Kewajiban Partisipasi: Islam mendorong umatnya untuk aktif dalam urusan politik dan pemerintahan, agar dapat memberikan kontribusi positif dalam membangun masyarakat yang adil dan berkualitas.
b. Pemilihan Pemimpin yang Berkualitas: Islam mengajarkan pentingnya memilih pemimpin yang berintegritas, kompeten, dan memiliki visi yang sejalan dengan nilai-nilai agama.
Menjaga Keseimbangan Antara Islam dan Kewarganegaraan:
a. Loyalitas Terhadap Negara: Islam mendorong umatnya untuk menjadi warga negara yang baik, menjunjung tinggi hukum negara, serta berkontribusi dalam pembangunan dan kesejahteraan bersama.
b. Memahami Prinsip-prinsip Demokrasi: Islam dapat berkompatibel dengan prinsip-prinsip demokrasi seperti kebebasan berpendapat, kebebasan berorganisasi, dan hak asasi manusia, asalkan tidak melanggar nilai-nilai agama.
Menghindari Ekstremisme dan Fanatisme:
a. Mencegah Pemecah-Belah Masyarakat: Kampanye politik dalam perspektif Islam harus menghindari retorika yang memecah belah masyarakat berdasarkan agama, etnis, atau golongan.
b. Menjaga Kedamaian dan Toleransi: Islam mendorong perdamaian, toleransi, dan dialog dalam mengatasi perbedaan politik, agar tercipta keharmonisan dalam masyarakat.
Kampanye politik dalam perspektif Islam mengedepankan etika, moralitas, dan prinsip-prinsip agama yang berperan dalam membimbing dan mengatur cara kampanye dilakukan. Dengan menggabungkan prinsip-prinsip agama dan kewarganegaraan yang saling melengkapi, kampanye politik dalam perspektif Islam dapat menjadi sarana untuk membangun masyarakat yang adil, berkualitas, dan damai.
Penggunaan simbol agama rentan terjadi di mana saja dan kapan saja. Persoalan ini seolah menjadi benang kusut yang sulit untuk diurai. Persoalan ini melibatkan banyak pihak, peserta pemilu yang berambisi untuk menang dengan segala cara, tokoh-tokoh agama dan masyarakat yang “suka” terseret dalam arus politik untuk memenangkan kontestan politik tertentu. Agama menjadi komoditas politik yang diperdagangkan untuk kepentingan kekuasaan. Akibatnya, konflik dan peseturuan rentan terjadi, utamanya antar peserta pemilu. Pemrintah melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Pasal 280 Tentang Larangan Dalam Kampanye huruf; (c) menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau Peserta Pemilu yang lain; (d) menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat. Simbol-simbol agama, tokoh agama, dan kegiatan keagamaan tidak jarang dijadikan alat untuk memuluskan hasrat politik seseorang atau kelompok tertentu. (Mathematics, 2016)
pencalonan dan kampanye untuk meraih jabatan politik tertentu dapat dibenarkan menurut hukum Islam bagi seseorang yang dalam dirinya terdapat dua hal. Pertama memiliki kapasitas, kapabilitas, dan akseptabilitas yang memadai untuk mengemban jabatan yang ia mencalonkan dan mengkampanyekan dirinya untuk menggapainya. Kedua, motivasi utamanya tentu semata-mata untuk mencari keridhaan Allah dan demi merealisasikan kemaslahatan publik, bukan untuk menggapai kepentingan pribadi dan atau bukan sarana untuk melakukan hal-hal yang bersifat destruktif bagi kepentingan publik.(Ashsubli, 2017)
DAFTAR PUSTAKA
Ashsubli, M. (2017). Perspektif Hukum Islam Terhadap Pencalonan Diri Dan Kampanye Untuk Jabatan Politik. JURIS (Jurnal Ilmiah Syariah), 15(1), 11. https://doi.org/10.31958/juris.v15i1.484
Diinis Sipa, A. M. (2021). Marketing Politik Kampanye Religius Pemilu di Indonesia. Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, 6(2), 150. https://doi.org/10.14421/jkii.v6i2.1196
Mathematics, A. (2016). 済無No Title No Title No Title. 1–23.
Siyasah, P. F. (n.d.). Muhammad Abu Zahroh, Ushul Al-Fiqh, (Mishr, Daral-Fikr al- „Arabi: 2005 ), hal. 6 M.Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta, Bulan Bintang: 2008), hal. 26. 36–65.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H