a. Kewajiban Partisipasi: Islam mendorong umatnya untuk aktif dalam urusan politik dan pemerintahan, agar dapat memberikan kontribusi positif dalam membangun masyarakat yang adil dan berkualitas.
b. Pemilihan Pemimpin yang Berkualitas: Islam mengajarkan pentingnya memilih pemimpin yang berintegritas, kompeten, dan memiliki visi yang sejalan dengan nilai-nilai agama.
Menjaga Keseimbangan Antara Islam dan Kewarganegaraan:
a. Loyalitas Terhadap Negara: Islam mendorong umatnya untuk menjadi warga negara yang baik, menjunjung tinggi hukum negara, serta berkontribusi dalam pembangunan dan kesejahteraan bersama.
b. Memahami Prinsip-prinsip Demokrasi: Islam dapat berkompatibel dengan prinsip-prinsip demokrasi seperti kebebasan berpendapat, kebebasan berorganisasi, dan hak asasi manusia, asalkan tidak melanggar nilai-nilai agama.
Menghindari Ekstremisme dan Fanatisme:
a. Mencegah Pemecah-Belah Masyarakat: Kampanye politik dalam perspektif Islam harus menghindari retorika yang memecah belah masyarakat berdasarkan agama, etnis, atau golongan.
b. Menjaga Kedamaian dan Toleransi: Islam mendorong perdamaian, toleransi, dan dialog dalam mengatasi perbedaan politik, agar tercipta keharmonisan dalam masyarakat.
Kampanye politik dalam perspektif Islam mengedepankan etika, moralitas, dan prinsip-prinsip agama yang berperan dalam membimbing dan mengatur cara kampanye dilakukan. Dengan menggabungkan prinsip-prinsip agama dan kewarganegaraan yang saling melengkapi, kampanye politik dalam perspektif Islam dapat menjadi sarana untuk membangun masyarakat yang adil, berkualitas, dan damai.
Penggunaan simbol agama rentan terjadi di mana saja dan kapan saja. Persoalan ini seolah menjadi benang kusut yang sulit untuk diurai. Persoalan ini melibatkan banyak pihak, peserta pemilu yang berambisi untuk menang dengan segala cara, tokoh-tokoh agama dan masyarakat yang “suka” terseret dalam arus politik untuk memenangkan kontestan politik tertentu. Agama menjadi komoditas politik yang diperdagangkan untuk kepentingan kekuasaan. Akibatnya, konflik dan peseturuan rentan terjadi, utamanya antar peserta pemilu. Pemrintah melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Pasal 280 Tentang Larangan Dalam Kampanye huruf; (c) menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau Peserta Pemilu yang lain; (d) menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat. Simbol-simbol agama, tokoh agama, dan kegiatan keagamaan tidak jarang dijadikan alat untuk memuluskan hasrat politik seseorang atau kelompok tertentu. (Mathematics, 2016)
pencalonan dan kampanye untuk meraih jabatan politik tertentu dapat dibenarkan menurut hukum Islam bagi seseorang yang dalam dirinya terdapat dua hal. Pertama memiliki kapasitas, kapabilitas, dan akseptabilitas yang memadai untuk mengemban jabatan yang ia mencalonkan dan mengkampanyekan dirinya untuk menggapainya. Kedua, motivasi utamanya tentu semata-mata untuk mencari keridhaan Allah dan demi merealisasikan kemaslahatan publik, bukan untuk menggapai kepentingan pribadi dan atau bukan sarana untuk melakukan hal-hal yang bersifat destruktif bagi kepentingan publik.(Ashsubli, 2017)