Hai! Perkenalkan saya Vitania Fauzyah dengan NIM 202010160311642, Program Studi Manajemen, Universitas Muhammadiyah Malang. Terbitnya artikel ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi Islam yang dibimbing langsung oleh Drs. Adi Prasetyo, M.Si, Ak, CA.
Kegiatan ekonomi merupakan proses untuk memenuhi kebutuhan manusia, hal ini sangat akrab bahkan melekat dengan setiap individu setiap manusia karena setiap kegiatan yang dilakukan akan bersinggungan dengan kegiatan ekonomi. Seperti yang kita tahu, bahwa kegiatan ekonomi dibagi menjadi tiga, yaitu produksi, distibusi, dan konsumsi.
Sebelum melangkah lebih jauh, pernah gak sih kita berpikir bagaimana cikal bakal berdirinya pemikiran Ekonomi Islam? Yuk simak, kita akan mengupas tuntas bagaimana awal mula berdirinya Pemikiran Ekonomi Islam.
Sejarah berdirinya pemikiran ekonomi Islam pasti tak jauh dan tak bisa lepas dengan Al-Quran dan Sunah. Fungsi Al-Quran dan Sunah sendiri berisikan banyak sekali ajaran salah satunya adalah mengenai penjelasan praktik yang mengandung sejumlah ajaran dan prinsip-prinsip ekonomi yang relevan dengan segala kondisi. Kemudian, semakin berkembangkan zaman, penggunaan argumentasi tertentu dan penerapan prinsip-prinsip dasar semakin marak sehingga Islam berperan sebagai bentuk sarana untuk memecahkan masalah yang muncul dalam kondisi yang berubah secara historis dan ekonomi.
PERIODE FORMASI/PEMBENTUKAN
Tahap ini berakhir semasa era Kulafa' al-Rasyidin (11-100 A./632-718 M). Pada periode ini, pemikiran ekonomi Islam tidak dipengaruhi oleh unsur-unsur luar. Hal ini dibuktikan dengan bahwa tidak adanya bukti kegiatan penerjemahan bahkan tidak ada sarana komunikasi yang dapat berkembang untuk memperoleh interaksi dengan ide-ide asing.Â
Padahal, saat itu orang Arab banyak memiliki koneksi/relasi komersial dengan negara-negara tetangga namun tidak mengarah pada pembentukan kontak budaya dan intelektual.Â
Ajaran Al-Quran tentang masalah ekonomi terhitung sedikit namun spesifik, ajaran-ajaran ini menekankan pada penggunaan pikiran dan penerapan penalaran sehingga menyebabkan munculnya sanad para ulama yang berisi aturan untuk memecahkan masalah baru dan menciptakan logika hukum yang berlaku untuk berbagai pola social. Ketika tidak ditemukan ketentuan apapun dari sumber hukum ini, mereka akan menerapkan analogi dan aturan ijtihad lainnya dalam menetapkan perintah syariah untuk situasi baru.
PERIODE PENERJEMAHAN
Berlanjut ke fase kedua yaitu periode penerjemahan ide-ide asing terkhusus karya-karya Yunani yang diterjemahkan ke bahasa Arab yang kemudian diproses oleh para cindekiawan Muslim yang akirnya diperoleh eksplorasi karya intelektual dan praktis yang berasal dari negara lain. untuk fase kedua ini terjadi di abad ke-2 -5 H/8-11 M). Kegiatan penerjemahan sudah dimulai pada abad pertama hijriah, meskipun membutuhkan dua abad lebih untuk memberikan pegaruh di antara para sarjana Muslim.Â
Penerjemahan ini dimulai secara besar-besaran yang bisa dilacak pada masa Khalifah Abbasiyah al-Ma'mun yang khusus mendirikan "Baitul Hikmah" (rumah kebijaksanaan) untuk tujuan ini. Penggabungan ilmu-ilmu klasik ke dalam Bahasa Arab memberikan perkembangan pemikiran baru yang penting dari karya-karya India, Persia dan Yunani dan menyelamatkan mereka dari kemunduran.Â
Hal ini juga membuktikan titik pertemuan Timur dan Barat dan saluran yang sangat efektif untuk pertukaran ide-ide atau pemikiran. Pada abad-abad mendatang hal ini memfasilitasi bahkan mentransfer ilmu-ilmu yang bersumber dari India dan Persia ke Eropa. Kasus agka Arab India adalah contoh hidup dari adanya pertukaran intelektual ini. Wilayah kajian pasa akhir abad ke 3 H/9 M merupakan manajemen pemerintahan dan ekonomi.
PERIODE TRANSMISI/PENERJEMHAN ULANG
Kemudian berlanjut ke fase ketiga, ketika periode penerjemahan kembali ke transmisi, ide-ide Greco-Arab atau Yunani-Arab mencapai Eropa melalui karya-karya terjemahan dan kontak lainnya yang terjadi sekiar abad ke-6- 9 H/12-15 M. Dengan berlalunya waktu, 19 volume penerjemahan ulang makin meningkat jauh. Oleh karena itu, periode sebelum renaisans Barat disebut sebagai "masa penerjemahan" (Myers, 1964:78). Dalam terjemahan dua arah -ke Bahasa Arab dan dari Bahasa Arab- itu berupa karya asli intelektual, filosofis dan praktis yang penting diberi preferensi. Dengan demikian, karya-karya muhadditsun atau tradisionalis hampir tidak tersentuh. Sepanjang kajian ekonomi membentuk bagian dari wacana etika dan filsafat, sehingga gagasan ekonomi para sarjana Muslim juga diterjemahkan dan ditransmisikan bersama dengan karya-karya filsafat dan terjemahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H