Mohon tunggu...
Nurvita Fidyanti
Nurvita Fidyanti Mohon Tunggu... Lainnya - 💜💜💜

Just ordinary girl

Selanjutnya

Tutup

Money

Imbas Covid-19 pada Perekonomian Dunia

17 April 2020   12:15 Diperbarui: 17 April 2020   13:56 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Covid-19 atau novel coronavirus telah menjadi perhatian dunia sejak akhir ahun 2019, Covid 19 merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh jenis coronavirus yang baru ditemukan.

Bahkan hingga hari ini , wabah Covid telah menginfeksi lebih dari 2 juta orang di seluruh dunia, yang tersebar di 215 negara di dunia, dengan kasus terbanyak saat ini ada di Amerika Serikat dimana 670 ribu orang terinfeksi.  Di Indonesia sendiri, sampai dengan hari ini, pemerintah menkonfirmasi  total kasus di Indonesia hingga  terhitung 5.516 kasus.

Hal ini pasti berdampak pula pada berbagai sektor kehidupan di dunia, eiringan adanya pelaksanaan lockdown di beberapa negara seperti sektor pariwisata, perekonomian, industri dan lainnya.

Di China, kasus pertama virus covid 19 terlacak pada tanggal  17 November 2019, dan merebak cepat hingga akhirnya pada 23 Januari 2020, pemerintah China memutuskan untuk melockdown.

Sejalannya dengan penerapan lockdown yang dilakukan negeri gingseng pun memberikan dampak, banyaknya bisnis dan pabrik-pabrik China terpaksa harus menghentikan atau menunda produksinya, juga memperpanjang libur karyawannya. China yang merupakan pusat perdagangan dunia, memberikan efek besar, salah satunya menurunnya harga minyak dunia, Dampak covid 19 juga tercermin dalam ekspor China yang anjlok dalam dua bulan pertama tahun ini, turun 17,2% pada produksi industri, penjualan ritel dan investasi negara itu mencatatkan perlambatan di dua bulan pertama 2020.

"Produksi industri untuk Januari dan Februari menyusut 13,5%, kontraksi pertama dalam sekitar 30 tahun," menurut data resmi yang dirilis Biro Statistik Nasional (NBS), Senin (16/3/2020).

Selain China, ada Negeri Paman Sam yang merasakan dampak covid 19 ini. Kasus petama di Amerika Serikat berhasil dideteksi pada 15 januari 2020 di Snohomish County, Washington. Pada rabu , 01 April 2020, jumlah kasus Covid 19 di AS melejit melewati angka 200 ribu kasus positif, hingga pada 12 April 2020, data dari John Hopkins University mencatat Amerika Serikat sebagai negara dengan kasus terinfeksi dan kematian virus Covid 19 tertinggi didunia yang dikonfirmasi.

Beberapa analis AS mulai memperkirakan angka pengangguran di Amerika bisa mencapai 15 persen pada bulan april. Jika itu terjadi, maka rekor sebelumnya, 10.8 persen di tahun 1982, terpecahkan. Imbasnya, Amerika akan menderita masa resesi terburuk dalam sejarah mereka.
"Sepertinya resesi yang dihadapi akan lebih buruk dan lebih panjang dibandingkan prediksi kami dua pekan lalu. Dan, (resesi) ini tidak hanya di Amerika, tetapi juga global," ujar analis dari Bank of America Global Research, Michelle Meyer, sebagaimana dikutip dari Yahoo Finance, Jumat, 3 April 2020.

Lanjutnya, Michelle Meyer memperhitungkan, resesi akan dialami paling tidak selama tiga kuartal. PDB (Produk Domestik Bruto) Amerika menurun 7% di kuartal pertama, 30% di kuartal kedua, 1% di kuartal ketiga, dan mengalami peningkatan di kuartal keempat.
Secara kumulatif, penurunan yang dicapai sebesar 10.4%. Angka tersebut nyaris lima kali lebih besar dibandingkan masa resesi paska Perang Dunia II.

Pengamat menyebut pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) bakal 'hancur-hancuran' karena pandemi virus corona, terutama pada kuartal I dan II 2020. Pengamat menilai ekonomi AS pada kuartal I negatif 9 persen, berlanjut hingga minus 34 persen pada kuartal II karena Covid 19
Ekonom Goldman Sachs, memproyeksi pertumbuhan ekonomi riil AS negatif 9 persen pada kuartal I dan berlanjut hingga 34 persen pada kuartal II.  Kondisi ini terjadi, karena banyaknya perusahaan yang menempuh jalur pemutusan hubungan kerja (PHK). Jumlah pengangguran di AS pun dipastikan meningkat.

Di  Asia sendiri, niali tukar hampir seluruh mata uang Asia mengalami pelemahan terhadap AS, Dikutip dari Bloomberg (02/04/2020), Yen Jepang misalnya, tercatat melemah 0,33% terhadap dolar AS, Dolar Hongkong juga tercatat melemah 0,01%, selain itu Dolar Singapura juga melemah sebesar 0,09%,

Kemudian Dolar Taiwan melemah 0,13%, dan Won Korea Selatan melemah 0,89%,

Ada pula yang melemah terhadap Dolar ASS, Yuan Tiongkok melemah 0,26%, Rupee India melemah 0,86%, Peso Filipina melemah 0.51%, dan Baht Thailand melemah 0.24%

Indonesia pun mengalami dampaknya, Bahkan rupiah hampir menyentuh titik terendah, Pantauan Ipotnews melalui RTI, kurs rupiah tepatnya pada Senin (23/03/2020) ditutup pada level Rp16.575 per dolar AS. Posisi merosot 650 poin atau 4,08% dibandingkan penutupan perdagangan Jumat sore (20/3) di level Rp15.925 per dolar AS. Hal ini merupakan akibat sentimen wabah Covid 19 yang semakin meluas.

Terganggunya aktivitas ekonomi tersebut membuat kinerja banyak perusahaan di dunia terganggu. Akibatnya banyak juga orang yang kini telah kehilangan pekerjaan.

Pemerintah memperkirakan angka pengangguran tahun ini akan kembali meningkat akibat penyebaran wabah virus corona yang tak kunjung usai. Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan mengatakan dalam skenario terberat yang dimiliki pemerintah saat ini tingkat pengangguran bisa naik 5,2 juta orang karena penyakit tersebut.

"Pengangguran yang selama 5 tahun turun, akan naik. Skenario berat ada kenaikan 2,9 juta orang dan bisa lebih berat 5,2 juta orang," katanya Selasa (14/4).

Sri Mulyani mengatakan peningkatan angka pengangguran tersebut akan berimplikasi pada kenaikan jumlah penduduk miskin. Agar masalah tersebut tak benar-benar terjadi, pemerintah katanya, akan menggeber pelaksanaan program kartu prakerja.

Bahkan menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), akan ada 25 juta PHK yang terjadi di seluruh dunia jika wabah tak juga tertangani. Kekacauan itu sendiri telah mulai terlihat jelas saat ini di Amerika Serikat (AS) hingga Austria, kata ekonom Deutsche Bank AG.

"Kami melihat tingkat pengangguran di AS dan Eropa naik hingga ke kalangan remaja," kata Peter Hooper, kepala penelitian ekonomi global di Deutsche Bank AG, sebagaimana dilaporkan Bloomberg.

Sementara itu, menurut para ekonom di JPMorgan Chase & Co., angka pengangguran di pasar negara maju akan melonjak 2,7 poin pada pertengahan tahun ini. Angka itu naik dari sekitar titik terendah dalam empat dekade yang tercatat di awal tahun ini.

Bahkan meski saat ekonomi mengalami pemulihan, mereka masih memprediksi akan ada peningkatan angka pengangguran 4,6% di AS dan 8,3% di zona euro pada akhir 2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun