Di sekitar awal 2000-an ketika saya masih duduk di bangku awal sekolah dasar, saya kerap melihat banyak kasus penangkapan . Tak berhenti sampai disitu, banyak pula artis yang tertangkap tangan sebagai pengguna. Awalnya saya tidak percaya. Pasalnya, beberapa dari mereka, setahu saya 'orang baik'. Apa iya bisa terjebak narkoba?
Ternyata semua berawal dari 'coba-coba' atau sekali coba, jadi kecanduan. Ah ternyata sebegitu 'nagih' nya narkoba. Padahal dia begitu jahat. Bayangkan, tak hanya psikologis yang dirusak tapi juga fisik! Seumur hidup pun mereka akan mendapat label dari masyarakat sebagai (mantan) pengguna.
Awalnya saya kira pengguna narkoba hanya ada jauh dari sekitar saya. Tapi lagi-lagi saya salah. Teringat sekitar beberapa tahun lalu lingkungan perumahan saya geger karena kabar seorang pemuda yang tinggalnya tak jauh dari rumah saya tertangkap tangan sedang mengkonsumsi obat haram itu dnn langsung dijebloskan ke oenjara. Berita itu benar adanya dan tahun ini ia akan menjalani tahun terakhir di lapas (lembaga pemasyarakatan). Saya pikir lapas adalah tempat terbaik untuk mereka. Tapi nyatanya?Â
Pemikiran saya berubah pasca saya mengikuti forum diskusi 'trendic topic' di kalangan media.
Kamis (27/09) saya mengikuti forum diskusi 'Penanggulannga Narkoba di Lapas' bersama Badan Narkotika Nasional (BNN), Direktorat Pemasyarakatan dan Krimonolog UI.
Mereka, para pengguna narkoba pun cenderung 'diacuhkan' oleh masyarakat karena dianggap ini pilihan dan kesalahan mereka, terlepas dari apakah mereka menggunakannya karena ajakan atau paksaan. Bisnis narkoba memangbbisnis menggiurkan. Bayangkan saja, harga dari luar negeri hanya Rp40.000-an per gram. Ketika terdistribusi ke Indonesia menjadi Rp1.000.000 lebih. Tak mengherankan bisnis ini yerus ada terutama dilakukan oleh kalangan menengah ke bawah sebagai  pengedarnya termasuk orang-orang di lapas.
Ya, bisnis ini nyatanya banyak sekali ditemukan di lapas, tempat yang sejarusnya bersih dari praktik narkoba. Hal ini diketahui bahwa sebagian besar barang yang ditemukan di lapas adalah narkoba!
Tahapan pengguna narkoba bermula dari coba-coba, rectornal (sudah mukai rutin) hingga akhirnya menjadi pecandu. Angka pecandu di Indonesia hingga detik ini sudah mencapai angka 800 hingga 900 ribu, 80ribu dj antaranya menggunakan jarum suntik. Sayangnya hukum di Indonesia cenderung langsung menjeblokskan pars pecandu ini ke lapas. Padahal pengguna punya hak untuk direhabilitasi terlebih dahulu, terlebih jika ia hanya pengguna bujan bandar atau pengedar.
Oleh karenanya BNN mengadakan sosialisasi ke tempat-tempat rawan praktik narkoba untuk menyamakan persepsi penanganan pengguna narkoba. Pun BNN mengadakan Tes Asesmen Terpadu. Diharapkan TAT dioptimalkan.
BNN juga memiliki program P4GN yakni Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Pengedaran Gelap  Narkoba.
Pencegahan, dimulai dari diri sendiri, keluarga dan orang sekitar. Pemberantasan harus sampai ke akar. Penyalahgunaan, pada dasarnya zat psikotropika boleh untuk hal tertentu, penyalahgunaan ini lah yang harus diberantas. Peredarsn gelap, perlu diingat hanya zat psikotropika yang boleh diedarkan untuk urusan medis.
Bapak Arief senantiasa menghimbau para stafnya untuk menjadi putih. Jangan menjadi hitam apalagi abu-abu. Artinya jangan pernah sekalipun menyicip barang terlarang ini. Sekali terjerat, masa depan akan rusak.
BNN dan pihak kepolisian harus waspada, pasalnya banyak dari mereka yang mengaku sebagai pengguna saja tapi kenyatannya juga blpengedar bahkan bandar. Hal ini dlmereka lakukan demi keringanan hukuman. Hal ini didukung oleh pernyataam dari Krimonolog UI, Bapak Simon, menurutnya hal ini dikarenakan sisi humanis nl dan sisi tegas mereka menghilang hingga memanipulasi diri.
Beruntung BNN punya indikator diagnosa terbaru untuk membedakan ketiganya sehingga meminimalisir kecolongan. Data menunjukkan dari 110.000 narapidana narkoba, 44.000 di antaranya hanya pengguna dan 66.000 di antaranya juga pengedar dan bandar.
Beliau juga mengakui maraknya kasus peredaran narkoba di lapas. Hal ini disebabkan ada oknum di dalam lapas yang 'membantu'. Ketika beliau selidiki lebih lanjut mereka mengaku melakukannya karen tidak tahu atau tahu tapi butuh uang cepat dan banyak. Sungguh ironi. Lantas bagaimana sinergisitas memberantas narkoba? Dalam hal ini Ibu Sri Puguh dan Bapak Simon sepakat mengharapkan peran media untuk mendukung kebijakan BNN terutama P4GN. Bukan sekedar meliput berita penangkapan saja melainkan juga membuat rilis kebijkaan BNN. Media bisa mrmbuat indeks penaikan atau penurunsn berita. Pun sebagai masyarakat hendaknya kota menanamlan sikap malu dan menjauhi narkoba dan membantu mensosialisasikan P4GN di lingkungan sekitar dengan cara kita sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H