Mohon tunggu...
Bianca B Rahmavisya
Bianca B Rahmavisya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Cultural Anthropology Student at Gadjah Mada University

Memiliki ketertarikan mengenai masalah sosial dan mental health. Memiliki pengalaman melakukan penelitian untuk masalah sosial.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Artikel Utama

Mahasiswa Pekerja Paruh Waktu Berkelahi dengan Absensi

20 Juni 2024   18:28 Diperbarui: 25 Juni 2024   01:01 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi banyak mahasiswa, kuliah bukan sekadar tempat menuntut ilmu, tetapi juga medan perjuangan untuk bertahan hidup. Salah satunya adalah penulis.

 Penulis merupakan mahasiswa Antropologi Budaya di Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga bekerja paruh waktu di Saorsa Utara, sebuah coffee shop di Condongcatur, Jogja. 

Memutuskan untuk bekerja bukanlah pilihan yang mudah, tetapi menjadi keharusan karena latar belakang ekonomi keluarga yang tidak stabil.

Menghadapi tantangan sebagai mahasiswa sekaligus pekerja paruh waktu tentu memerlukan manajemen waktu dan energi yang luar biasa. Dunia akademik dan dunia kerja memiliki ekspektasi yang berbeda, sehingga seringkali menimbulkan dilema. 

Berbeda dengan di Negara-negara belahan dunia Utara yang telah mengenal pekerjaan paruh waktu sejak lama dengan berbagai regulasi yang mengatur jenis dan beban pekerjaan paruh waktu, di Indonesia hal tersebut belum terjamah (Meiji, 2019). 

Kehidupan bekerja paruh waktu di Indonesia pun juga berbeda dengan negara belahan dunia Utara, seperti di Jerman. Dilansir dari expatrio 2024 “Kondisi kerja di Jerman sangat ramah siswa, dengan sejumlah besar perusahaan yang menawarkan posisi paruh waktu khusus untuk siswa.”

Regulasi yang berbeda antara kampus dan tempat kerja sering kali menimbulkan keriweuhan dalam mengatur waktu. Seperti yang didefinisikan oleh Survei Populasi Saat Ini (CPS), pekerjaan paruh waktu memiliki batas waktu kerja 34 jam atau kurang per minggu. 

Namun, kenyataannya, banyak mahasiswa pekerja yang harus melewati batas ini, mengorbankan waktu istirahat dan belajar mereka.

Pendidikan dan Keadilan dalam Penilaian

Sistem pendidikan idealnya bertujuan untuk memanusiakan manusia dengan mengembangkan potensi individu sehingga dapat berkontribusi positif bagi masyarakat. 

Sayangnya, perguruan tinggi di Indonesia sering kali bersifat eksklusif dan tidak inklusif bagi semua kalangan. 

Salah satu masalah utamanya adalah besarnya peran absensi dalam penilaian akhir mahasiswa. Absensi merupakan hal yang wajib dilakukan untuk mahasiswa. 

Absensi menjadi tolak ukur bagi Sebagian besar dosen dalam melakukan penilaian ataupun menentukan syarat untuk mengikuti ujian tengah semester maupun ujian akhir semester. (Hidayat & Gunawan, 2022). 

Mahasiswa yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup di kota perantauan sering kali berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. 

Mereka harus mengelola waktu dengan sangat ketat, berusaha memenuhi tanggung jawab di tempat kerja sekaligus menyelesaikan tugas kuliah tepat waktu. 

Meskipun mereka menunjukkan dedikasi dan ketekunan yang sama, mereka tetap berisiko mendapatkan nilai yang lebih rendah hanya karena ketidakhadiran mereka di kelas. 

Ini menimbulkan pertanyaan: apakah sistem pendidikan tinggi kita benar-benar adil bagi semua mahasiswa?

Menuju Sistem Pendidikan yang Lebih Inklusif

Untuk menciptakan pendidikan yang benar-benar inklusif, diperlukan perubahan signifikan dalam sistem penilaian dan regulasi pendidikan tinggi. 

Perguruan tinggi harus lebih fleksibel dalam mengakomodasi kebutuhan mahasiswa yang bekerja, dengan mengurangi ketergantungan pada absensi sebagai penentu nilai. 

Sebaliknya, penilaian harus lebih menekankan pada kualitas tugas, proyek, dan kontribusi mahasiswa dalam diskusi dan kegiatan akademik lainnya.

Selain itu, kerjasama antara perguruan tinggi dan dunia kerja menjadi kunci penting. Di beberapa negara, sistem pendidikan lebih fleksibel dan mendukung mahasiswa yang bekerja dengan penilaian yang tidak hanya berdasarkan absensi, tetapi juga pada kualitas pekerjaan dan kontribusi akademik. 

Mahasiswa diberikan kesempatan untuk mengatur jadwal mereka sendiri, memungkinkan mereka untuk bekerja paruh waktu tanpa harus mengorbankan prestasi akademik.

Dengan perubahan ini, kita dapat berharap bahwa pendidikan tinggi di Indonesia akan menjadi lebih inklusif, adil, dan mampu mempersiapkan mahasiswa untuk menghadapi tantangan di masa depan, tanpa harus mengorbankan kebutuhan dasar mereka untuk bertahan hidup. 

Pendidikan yang memanusiakan manusia seharusnya menghargai dan mendukung setiap perjuangan mahasiswa, baik di dalam maupun di luar kelas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun