Mohon tunggu...
Visca
Visca Mohon Tunggu... Penulis - Lulusan arsitektur Universitas Indonesia, yang walaupun sudah tak berprofesi arsitek, tetap selalu suka menikmati segala bentuk arsitektur. Pernah tinggal di Maroko, Belanda, Thailand, dan tentunya Indonesia.

Traveler. Baker. Crafter.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Orang Belanda Pelit?

1 Mei 2019   14:57 Diperbarui: 1 Mei 2019   15:12 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sering kita mendengar celetukan, "orang Belanda pelit". Apakah itu benar? Bagi yang setuju dengan anggapan orang Belanda itu pelit, biasanya akan merujuk ke istilah "going Dutch". Apa itu going Dutch? Going Dutch adalah istilah yang dipakai untuk membagi tagihan dan membayarnya sesuai dengan bagian masing-masing. Misal kalau makan bersama di restoran, maka masing-masing akan membayar sesuai dengan makanan yang dipesannya. Atau saat makan dengan pacar, masing-masing membayar makanannya. Istilah dalam bahasa Indonesianya, bayar sendiri-sendiri. Istilah going Dutch sendiri muncul pada abad ke 17 saat Inggris dan Belanda sering perang dalam memperebutkan jalur perdagangan. Inggris menggunakan istilah going Dutch karena orang Belanda pelit. Selain karena istilah going Dutch, banyak yang mengiyakan juga karena melihat beberapa kebiasaan orang Belanda.

Kalau kita bertamu ke rumah orang Belanda, layaknya tuan rumah, mereka akan menyediakan minuman, bisa teh atau kopi. Uniknya, mereka hanya menyajikannya dengan 1 biskuit/cookie. Bila mereka menyajikan biskuit yang masih dalam kaleng, semua orang sudah tahu, kalau si tamu "diharapkan" hanya mengambil 1 saja. Kecuali kalau memang sang tuan rumah yang meminta tamu mengambil lebih.

Masih berhubungan dengan urusan tamu-menamu. Untuk waktu menamu, tamu diharapkan pergi sebelum waktu makan malam. Karena bila mereka tidak mengundang untuk makan malam bersama, maka mereka hanya menyiapkan makan malam sesuai dengan jumlah anggota keluarga saja. Mereka tidak segan untuk meminta kita meninggalkan rumah apabila mereka merasa sudah saatnya makan malam. 

Sudah jadi kebiasaan di supermarket Belanda yang akan memberikan sampai diskon 35% untuk produk yang mendekati masa kedaluwarsa. Diskon bisa diberikan untuk produk kemasan/kalengan, maupun produk segar seperti kue, sayur, buah, makanan siap saji. Pokoknya segala jenis barang akan didiskon. Pekerja supermarket akan menempelkan stiker discount untuk produk yang mendekati masa kedaluwarsa, dan orang akan menunggu untuk mengambil barang sampai barang sudah diberi stempel diskon. Mereka tak segan membeli produk yang mendekati masa kedaluwarsa.

Belanda terkenal akan kebiasaan bersepedanya.  Biasanya mereka menyukai omafiets. Ya betul, terjemahannya adalah sepeda nenek-nenek. Banyak yang mengkategorikannya sebagai sepeda untuk wanita, karena strukturnya yang tidak ada besi antara sadel dan stang, sehingga memudahkan wanita yang memakai rok untuk mengendarainya. Di Indonesia kita menyebutnya sepeda Onthel.  Walaupun disebut omafiets, tetapi yang memakainya semua kalangan, laki-laki, perempuan, tua, muda. Uniknya, walaupun sepeda merupakan moda transportasi utama mereka, sepeda yang mereka pakai umumnya adalah sepeda yang sudah tua. Mereka tidak membeli sepeda baru yang mahal. Mereka terbiasa membeli yang second hand. Tak heran, di facebook iklan jual sepeda bekas bersliweran. 

Itu adalah sebagian dari kebiasaan orang Belanda yang sering menyebabkan orang Belanda dianggap pelit.

Namun sekarang kita coba melihat latar belakang dari kebiasaan-kebiasaan mereka tersebut.

Pertama kita kembali ke istilah going Dutch. Orang Belanda terkenal akan kesamaan hak bagi semua, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak. Jadi bila kencan, tak melulu kewajiban laki-laki yang membayar. Bahkan kadang wanitanya bisa merasa tersinggung, bila sang pria langsung mengambil bon dan membayarnya. Sedangkan untuk acara makan bersama-sama, memang mungkin lebih nyaman bayar sesuai dengan yang dipesan. Bila kita memesan yang mahal dan rekan kita, yang mungkin sedang diet dan hanya memesan salad, bayangkan kalau bon dibagi rata. Tak adil rasanya buat yang makan sedikit dan tak enak hati rasanya untuk yang memesan makanan banyak atau mahal. 

Juga perihal waktu bertamu yang jangan sampai waktu makan malam. Ini karena kebiasaan orang Belanda yang cenderung suka merencanakan segala sesuatunya. Jadi bila kita bertamu sampai saatnya makan malam, mereka tidak akan punya cukup makanan untuk dibagi ke tamu. Di sisi lain, dengan memasak sesuai porsi yang dibutuhkan , dipastikan tidak ada makanan yang berlebih. Makanan berlebih ujung-ujungnya bisa terbuang atau masuk kulkas (tapi jadi kurang segar untuk dimakan di hari berikutnya).

Mengenai pembelian makanan yang mendekati masa kedaluwarsa, ini sesuai dengan pola pikir mereka yang realistis dan juga praktis. Toch makanan belum rusak dan masih bisa dikonsumsi. Jadi tak ada salahnya membeli selama betul-betul dikonsumsi sebelum masa kedaluwarsanya.

Juga perihal sepeda, mereka tidak membeli sepeda yang bagus dan mahal karena menurut mereka, sepeda bagus dan mahal malah jadi sasaran pencuri sepeda. Mereka juga tidak suka dengan budaya "pamer". Asal fungsional, sudah cukup untuk mereka. Orang-orang kantoran berjas rapi pun terlihat menaiki sepeda tua. Sungguh prinsip yang layak ditiru, terlebih di jaman sekarang, dimana orang kerap lebih mementingkan "image" daripada "isi" sesungguhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun