Karena sesuai dengan kepercayaan, tanpa alas kaki akan mendekatkan hubungan dengan bumi dan alam. Usia tua dan kondisi fisik tidak menghalangi mereka melakukan apa yang harus dilakukan. Mereka mencari solusi, dengan memilih duduk di pasar.
Atau mungkin karena aktivitas mereka yang menyebabkan mereka tidak bisa ketemu dengan jadwal jalan keluar Biksu. Juga di pasar, penjual menjual barang-barang keperluan biksu, dari makanan vegetarian sampai dupa dan bunga lotus. Para pemberi sedekah tinggal membeli dan memberikannya kepada Biksu. Praktis.
Juga saya mengerti mengapa di samping tempat duduk biksu, mereka menyediakan karung plastik dan meja lipat. Meja lipat untuk menaruh bunga lotus atau dupa (biar tidak tertindih barang lain kalau ditaruh di karung). Bunga lotus ini akan dibawa dan diletakkan di patung Budhha di kuil nantinya. Sedangkan karung plastik untuk menampung makanan dan minuman. Mudah dibayangkan kalau mangkok yang dibawa oleh Biksu tidak akan cukup untuk menampung semua sedekah.
Biksu hanya akan berada di luar pada pagi hari, karena pukul 8 pagi mereka sudah harus berada kembali di kuil. Setelah itu mereka tidak akan keluar lagi sepanjang sisa hari. Sedekah yang didapat akan dibawa pulang oleh mereka. Karena berat, tidak memungkinkan mereka untuk membawanya sambil berjalan kaki. Biasanya mereka naik ojek, yang memang banyak sekali di Thailand.
Keberadaan Biksu di pasar merupakan contoh bahwa hal pragmatis diperlukan, dan bahwa dengan praktek pragmatis tidak berarti kita menghilangkan nilai-nilai yang ada didalamnya. Ibarat rumput yang lentur mengikuti angin, tetapi tetap mengakar dalam tanah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H