“Anda harus sangat fokus untuk bersaing melawan para pemain fantastis. Kami tahu pertandingan nanti akan ditentukan oleh hal detail dan Atletico adalah tim yang memikirkan itu”, papar Juanfran, bek Atletico Madrid jelang leg kedua semifinal Liga Champions beberapa bulan lalu yang berhadapan dengan Bayern Munchen. “Saya tidak tahu apakah mereka akan menjuarai Liga Champions karena itu ditentukan oleh hal-hal detail” ujar Jorge Sampaoli, mantan pelatih timnas Chile mengomentari partai semifinal Liga Champions yang akan berlangsung. Dua cuplikan komentar pemain dan pelatih sepakbola pada Liga Champions lalu memberi hikmah betapa pentingnya bekerja dengan detail. Louis Van Gaal, salah seorang manajer pelatih sepakbola menerapkan pendekatan yang sangat detail dalam menyusun strategi timnya hingga pada evaluasi pertandingan, “sehari setelah laga, Albert Stuivenberg akan memutar ulang video pertandingan terakhir kami untuk mengevaluasi permainan tim. Albert bersama saya bersama-sama menjelaskan detail pertandingan kepada pemain. Evaluasi laga biasanya berjalan lama. Setelah evaluasi video masih ada satu pertemuan lagi untuk membahas apa yang perlu diperbaiki”. Aspek detail dalam sepakbola juga terlihat dengan adanya statistik bola pada setiap pertandingan, mulai jumlah gol, penguasaan bola hingga skema detail permainan yang diterapkan dan berapa kali setiap pemain menyentuh bola.
Dalam dunia kerja, dikenal idiom devil is in detail yang bermakna bahwa kesalahan biasanya terjadi bermula pada rincian yang kecil atau tidak detail. Akibat tidak detail merinci hal hal kecil dapat menjadi masalah besar dikemudian hari. Idiom ini menjadi relevan untuk kita bekerja dalam pemutakhiran data dan daftar pemilih. Semakin detail data dan proses data teridentifikasi akan semakin memudahkan bekerja dalam mengolah data pemilih. Data dan proses data yang tidak detail dapat menjadi bom waktu atau masalah yang merugikan dikemudian hari. Bekerja detail juga menuntut kehati-hatian dalam mengolah data agar terhindar dari permasalahan yang berdampak pada menurunkan kualitas daftar pemilih. Disinilah titik tolak urgensi memperbaiki coklit yang menjadi salah satu akar masalah daftar pemilih kurang berkualitas.
Pemutakhiran daftar pemilih hingga kini masih menjadi salah satu tahapan penyelenggaraan pemilihan yang terus mendapat sorotan publik. Meskipun kinerja KPU pada pemilu 2014 dan pemilihan serentak 2015 jauh lebih baik dengan sejumlah proses perbaikan manajemen teknis hingga kreasi serta inovasi teknologi informasi yang memenuhi harapan publik. Pada aspek manajemen teknis pemutakhiran daftar pemilih, saat pemilu 2014 dilakukan tambahan tahapan proses pemutakhiran daftar pemilih dengan tahapan kegiatan Daftar Pemilih Khusus (DPK) serta Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKtb) yang sebelumnya tidak ada untuk mengakomodir pemilih yang belum terdaftar pada DPT. Selain itu juga, KPU menempuh kebijakan menerima respon tanggapan Bawaslu dan Parpol pada rapat pleno rekapitulasi DPT nasional untuk memperbaiki DPT yang telah ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota karena masih dianggap bermasalah sebanyak enam kali perbaikan mulai bulan oktober 2013 hingga yang terakhir pada tanggal 28 Maret 2014 guna menjamin hak konstitusional pemilih terjamin dapat disalurkan pada 09 April 2014.
Penambahan proses teknis serta kebijakan tersebut sebagai upaya untuk terus memperbaiki kualitas daftar pemilih yang awalnya memiliki sejumlah permasalahan seperti dari sejumlah daerah belum selesai di tetapkan menjadi DPT dan besarnya jumlah data pemilih ganda serta NIK invalid. KPU juga membangun sistem informasi data pemilih (sidalih) sebagai amanah pasal 48 ayat 1, UU Nomor 8 tahun 2012 dengan berhasil menghimpun dan memberikan kepada seluruh peserta pemilu 2014, softfile daftar pemilih by name, by address. Hal mana pada tahun 2009 tidak berhasil dilakukan dengan sitarlih (sistem pendaftaran pemilih). Keberhasilan KPU menyajikan daftar pemilih berkualitas menjadi salah satu penambah deposito kepercayaan publik terhadap hasil pemilu 2014.
Kedua langkah strategis diatas berhasil memenuhi harapan publik terhadap permasalahan DPT yang pada pemilu 2009 menjadi masalah utama dan menurunkan kredibilitas KPU hingga sampai komisi II DPR membentuk Pansus DPT bermasalah pemilu 2009. Menyajikan daftar pemilih menuntut penyelenggara pemilu dan pemerintah untuk bersinergi menghasilkan kualitas daftar pemilih yang komprehensif, mutakhir dan akurat. Prinsip komprehensif adalah daftar pemilih diharapkan memuat semua warga negara Republik Indonesia, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri, yang telah memenuhi persyaratan sebagai pemilih agar dapat dimasukkan dalam daftar pemilih. Prinsip akurat adalah daftar pemilih diharapkan mampu memuat informasi tentang pemilih, meliputi nama, umur/tanggal lahir, status kawin, status bukan anggota TNI/Polri, dan alamat, tanpa kesalahan penulisan, tidak ganda, dan tidak memuat nama yang tidak berhak. Prinsip mutakhir adalah daftar pemilih disusun berdasarkan informasi terakhir mengenai pemilih, meliputi umur 17 tahun pada hari pemungutan suara, status telah/pernah kawin, status pekerjaan bukan anggota TNI/Polri, alamat pada hari pemungutan suara, dan meninggal. (Hasyim Ashari: 2011).
Keberhasilan tersajinya daftar pemilih yang baik pada pemilu 2014 dan pemilihan serentak tahun 2015 masih menyisakan pekerjaan rumah memperbaiki daftar pemilih untuk pemilihan serentak tahun 2017 dan 2018 dan pemilu 2019. Masih ditemui berbagai masalah daftar pemilih yang polanya cenderung berulang-ulang antara lain masih ada pemilih yang sudah meninggal muncul kembali dalam DPT, masih ada pemilih dibawah umur, masih ada pemilih belum terdaftar, masih ada pemilih yang tidak lengkap dengan NIK, masih ada elemen data pemilih yang keliru seperti penulisan nama, jenis kelamin, tempat/tanggal lahir, alamat, masih ada pemilih ganda, masih ada pemilih menjadi TNI/Polri namun terdata atau sebaliknya sudah pensiun dari TNI/Polri namun belum terdata dan sejenisnya.
Memperbaiki daftar pemilih secara berkelanjutan menjadi kebutuhan, salah satunya dengan memperbaiki celah-celah pada manajemen proses pemutakhiran daftar pemilih. Manajemen proses dalam pemutakhiran daftar pemilih secara pokok dapat dikelompokkan paling tidak pada 3 (tiga) bagian, yaitu: pertama, sumber atau basis data; kedua, coklit; ketiga, sidalih. Mencermati manajemen pemutakhiran daftar pemilih sejak pemilu 2004, 2009 hingga 2014 serta pemilukada atau pilkada atau pemilihan serentak sejak tahun 2005 hingga tahun 2015, memperlihatkan salah satu titik lemah atau celahnya ada pada proses pencocokan dan penelitian (coklit).
Coklit adalah kegiatan yang dilakukan oleh Petugas pendaftaran pemilih (Pantarlih) atau Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) dengan cara mendatangi pemilih secara langsung dari rumah ke rumah untuk mencocokkan data pemilih yang ada dengan kondisi sesungguhnya dilapangan secara teliti. Kegiatan coklit secara administratif dilakukan oleh petugas coklit (Pantarlih atau PPDP) fokus pada tiga bentuk: memperbaiki, mencoret dan menambah data pemilih. Sejak pemilu 2004 hingga pemilu 2014, petugas coklit dilakukan oleh satu orang petugas pada setiap satu TPS. Petugas coklit dibentuk/ditunjuk oleh PPS di tingkat kelurahan/desa. Dalam bekerja petugas coklit diberikan perlengkapan alat tulis, daftar pemilih per TPS untuk di coklit, form pemilih baru untuk menulis bila ada pemilih baru, surat tanda sudah terdaftar serta rumah pemilih ditempel stiker bila sudah terdaftar. Secara teknis kerja, petugas coklit memperbaiki dan mencoret data pemilih pada dokumen daftar pemilih yang telah diberikan. Dokumen daftar pemilih yang telah di coklit serta lembar form daftar pemilih baru diserahkan kepada PPS untuk kemudian diolah oleh PPS hingga KPU Kabupaten/Kota.
Rentang waktu pelaksanaan kegiatan coklit dalam sejarah pemilu orde reformasi dan pilkada beragam antara 30 hari hingga 70 hari. Coklit pada pemilu 2004 berlangsung selama 45 hari (01 Oktober – 15 November 2003), coklit pada pemilu 2009 berlangsung selama 43 hari (07 Juni – 20 Juli 2008) dan coklit pada pemilu 2014 berlangsung selama 70 hari (01 April – 09 Juni 2013). Sedangkan untuk pemilihan serentak tahun 2015, coklit berlangsung selama 35 hari (15 Juli – 19 Agustus 2015) serta untuk pemilihan serentak tahun 2017, coklit berlangsung selama 30 hari (08 September – 07 Oktober 2016). Selain rentang waktu yang berbeda, pendekatan dan penamaan petugas juga berbeda. Pada pemilu 2004 coklit P4B (Pendaftaran pemilih dan pendataan penduduk berkelanjutan) dilaksanakan oleh BPS, pemilu 2009 coklit dilaksanakan oleh PPDP, pemilu 2014 coklit dilaksanakan oleh Pantarlih, sedangkan dalam pilkada atau pemilihan serentak istilah yang digunakan kembali PPDP. Dari perbedaan rentang waktu serta penamaan petugas, terdapat satu kesamaan, yaitu coklit dilakukan oleh satu orang petugas per TPS.
Permasalahan Coklit
Berdasarkan pengalaman penulis berinteraksi langsung dengan pengurus RT, petugas coklit dan jajaran PPS serta mendengar pengalaman proses coklit di beberapa daerah lain pada pemilu 2009 serta 2014, permasalahan kurang berkualitasnya daftar pemilih salah satunya bermuara pada proses coklit (pemilu 2009 dan 2014) dengan tiga masalah, yaitu:
- Petugas coklit berbasis TPS, tidak berbasis Pengurus RT.
- Dalam regulasi pendaftaran pemilih disebutkan bahwa penyusunan daftar pemilih berbasis RT dan petugas coklit dapat berasal dari RT/RW atau tokoh masyarakat setempat lainnya. Secara teknis, satu TPS terdiri dari minimal satu RT dan maksimal berkisar empat sampai lima RT. Sangat sedikit TPS yang hanya terdiri dari satu RT. Untuk TPS yang hanya terdiri dari satu RT, kegiatan coklit dapat efektif dilakukan oleh karena petugas coklit fokus pada pemilih di RT nya saja. Namun apabila satu TPS terdiri dari dua hingga lima RT, petugas coklit biasanya hanya mengenal secara baik pemilih pada lingkup RT asal petugas. Hasil monitoring yang penulis lakukan pada pemilu 2009 dan pemilu 2014, termasuk juga pada pilkada, ditemui pola kerja mayoritas petugas coklit hanya fokus pada pemilih di lingkup RT asalnya, sedangkan untuk pemilih di RT lain, dokumen daftar pemilih (beserta stiker dan surat tanda bukti telah terdaftar) biasanya diserahkan kepada ketua/pengurus RT masing-masing untuk di coklit. Realitas ini dapat mengakibatkan distorsi informasi atau proses coklit yang berbeda dikarenakan ketua/pengurus RT yang bukan petugas coklit tidak mendapatkan bimtek. Pada salah satu daerah terjadi penempelan stiker pada rumah pemilih dilakukan dengan pemahaman yang berbeda. Ada yang menempel stiker tanda bukti telah didata berbasis rumah dan ada yang menempel stiket tanda bukti telah didata berbasis KK. Sehingga terjadi pada satu rumah, ada yang 1 stiker dengan lebih dari 1 KK dan ada lebih dari 1 stiker karena pemilih dirumah tersebut lebih dari 1 KK. Ada juga praktik petugas coklit hanya mengkonfirmasi daftar pemilih kepada ketua RT lainnya dan membagikan stiker untuk ditempel per rumah yang tidak disertai dengan menemui penghuni rumah tersebut.
- Pengurus RT pada berbagai kesempatan kegiatan dalam tahapan pemilu kerap menyampaikan usulan agar petugas coklit berbasis RT dalam artian kegiatan coklit dilakukan oleh masing-masing RT seperti konsep pantarlih dimasa lalu.
- Proses dan Hasil kerja coklit kurang akuntabel dan detail.
- Dalam regulasi terkait coklit, disebutkan petugas coklit berkoordinasi sebelum melaksanakan coklit dengan Ketua/Pengurus RT. Namun tidak ada mekanisme kontrol secara administratif yang menjamin proses koordinasi dengan pengurus RT terjadi. Kemudian petugas coklit bekerja hanya dengan dua dokumen administrasi, yaitu: daftar pemilih untuk dicoklit serta lembar untuk mencatat pemilih baru serta ditambah stiker yang ditempel pada setiap rumah pemilih yang sudah dikunjungi dan surat tanda bukti telah terdaftar. Hasil kerja petugas coklit tidak sedikit diantaranya melakukan pencatatan dengan tulisan tangan kerap tidak rapi, tidak jelas bahkan ada kasus dokumen daftar pemilih yang bersih karena petugas coklit tidak melakukan pencoretan atau perbaikan dalam bekerja, melainkan menggunakan dokumen DPT pemilu sebelumnya. Dengan hanya dokumen kerja tersebut biasanya PPS atau petugas yang melakukan pengolahan data kadang kesulitan dan kadang terjadi keliru memahami hasil kerja petugas coklit. Tidak jarang terjadi kekeliruan mengolah data pemilih dikarenakan penulisan petugas coklit yang tidak rapi atau tidak jelas sehingga data pemilih yang terolah tidak akurat dan komprehensif. PPS atau Kabupaten/Kota tidak mendapatkan informasi perubahan data pemilih setelah coklit dilakukan dari setiap petugas seperti: berapa pemilih yang dicoret, berapa pemilih yang diperbaiki, elemen data apa yang diperbaiki serta berapa pemilih yang ditambah.
- Integritas, kualifikasi dan seleksi petugas coklit
- Kegiatan coklit bukanlah pekerjaan sulit, namun karena kerap dianggap mudah sehingga mengakibatkan kualitas hasil coklit yang tidak sesuai harapan. Petugas coklit hanya berdasar pilihan PPS semata yang tanpa seleksi dan tertutup. Karena tanpa seleksi dan tertutup, kualifikasi dan integritas petugas coklit sulit dijamin. Sudah saatnya keberadaan petugas coklit patut dipertimbangkan integritas dan kualifikasinya. Integritas menyangkut kepada karakter amanah dan tanggung jawab. Bila petugas coklit tidak berintegritas, malpraktik pada kegiatan coklit pemilu orde baru dapat terus terjadi seperti: menggunting pemilih, penggelembungan pemilih atau pemilih fiktif. Menggunting pemilih yaitu malpraktik dalam coklit dengan tidak mendata pemilih atau membuang sejumlah data pemilih dikarenakan hal hal tertentu, pada masa orde baru biasanya karena perbedaan pilihan politik. Penggelembungan pemilih yaitu malpraktik menambah jumlah pemilih yang sebenarnya tidak ada (fiktif). Penambahan pemilih fiktif dimaksud untuk digunakan menambah suara pilihan politik petugas coklit atau pesanan pihak tertentu. Dua malpraktik coklit ini terjadi dikarenakan faktor integritas dari petugas coklit yang biasanya partisan atau bekerja dengan diskriminatif. Sikap partisan dan diskriminatif ini pada tingkat akar rumput kadang terjadi mulai dikarenakan tidak independennya petugas coklit hingga adanya permasalahan pribadi dengan pemilih. Salah satu contoh yang beberapa kali ditemui penulis saat berdialog dengan petugas coklit yang ditemui secara sengaja tidak mendata pemilih dikarenakan pemilih tersebut dikenal sombong oleh warga sekitar, tidak membuat KTP melalui petugas coklit (pengurus RT) hingga pemilih yang memang tidak kooperatif atau sulit ditemui/dihubungi.
- Sedangkan kualifikasi petugas coklit dimaksud adalah kemampuan dasar yang wajib dimiliki petugas coklit, yaitu kemampuan calistung dan pengenalan pemilih di area yang ditanganinya. Salah satu penyebab permasalahan daftar pemilih pada pemilu 2004 adalah petugas coklit P4B dari BPS bukanlah warga setempat (ketua/pengurus RT). Akibatnya petugas coklit P4B tidak mengenal dengan baik kondisi pemilih di tempat yang dikunjunginya, hingga terdapat sejumlah kasus petugas coklit P4B kesasar pada wilayah kerja coklitnya.
- Selain integritas dan kualifikasi petugas coklit, pernah terjadi oknum PPS yang membentuk petugas coklit fiktif. Hal ini dikarenakan oknum PPS ingin mengambil honorarium petugas coklit. Malpraktik seperti ini terjadi dengan kesepakatan bersama seluruh oknum PPS. Mereka kemudian membagi area kerja dan turun langsung mencoklit pemilih dan menggunakan nama salah seorang pengurus RT untuk memenuhi aspek administrasi keuangan. Salah satu temuan dengan pola ini, oknum PPS tersebut hingga dapat membeli motor dari hasil coklit yang dilakukannya. Pada hari pemungutan suara, kondisi daftar pemilih di tempat tersebut bermasalah.