Merpati Nusantara Airlines kini benar benar sudah tidak ada lagi setelah Pengadilan Negeri Surabaya mengetuk palu kepailitan pada tanggal 2 Juni 2022 yang lalu.
Penulis ingin membagi opini pribadi mengenai maskapai ini atas dasar kegemaran terhadap pesawat serta bercampur dengan keprihatinan karena karena maskapai adalah salah satu operator dari pesawat terbang, sehingga bila satu maskapai hilang berarti ada pesawat pesawat yang tidak terbang lagi.
Ada beberapa kontradiksi yang terjadi pada kasus Merpati Nusantata Airlines ini yaitu yang pertama adalah antara maskapai sebagai entity  bisnis dengan konektivitas dari scope nasional dimana bisnis memerlukan pengelolaan secara profesional sedangkan konektivitas merupakan kebutuhan nasional dalam hal pemerataan pembangunan di daerah daerah terpencil dan terluar.
Maskapai memang sebuah entity usaha namun dalam scope nasional Merpati merupakan jawaban dari kebutuhan konektivitas antar daerah, antar pulau dan antar daerah terpencil dan terluar dengan daerah yang lebih besar atau utama.
Konektivitas disini tidaklah sama dengan konekivitas pada umumnya karena disini kita berbicara dalam scope kebutuhan nasional dalam usaha memeratakan pembangunan di daerah daerah terpencil dan terluar.
Merpati merupakan penerbangan yang melayani penerbangan itu semua yang dibutuhkan oleh masyarakat baik dalam hal mobilitas mereka maupun dalam kontribusi bahan kebutuhan masyarakat melalui kargo udara namun di waktu yang bersamaan Merpati juga melayani penerbangan komersil seperti maskapai lainnya.
Sehingga bisa terjadi keadaan dimana secara bisnis atau pada penerbangan komersil berjadwal Merpati bisa mendapatkan margin keuntungan akan tetapi banyak digunakan untuk mensubsidi penerbangan perintis dengan load factor yang rendah serta rute dan frekwensi penerbangan nya yang bisa lebih banyak dari penerbangan komersil berjadwal Merpati atau juga keadaan sebaliknya, apa yang terjadi  kemudian ? performa keuangannya akan terganggu.
Keadaan kemudian diperburuk dengan hal hal lain seperti korupsi serta proses pengadaan jenis pesawat yang dibutuhkan maskapai untuk melayani penerbangan perintis dimana biaya operasional bisa diminimumkan dengan  menggunakan jenis pesawat yang telah terbukti hemat biaya operasional seperti pesawat dengan mesin baling baling terutama untuk penerbangan jarak pendek serta bisa mendarat dan lepas landas di landasan pacu yang pendek pula.
Hal ini mengingatkan penulis pada dua kejadian yang sebenarnya bisa membantu dan satunya tmenganggu peran Merpati dalam melayani penerbangan perintis ini yaitu pesawat N-250 dan satunya adalah pesawat MA-60 yang sempat menjadi armada dari Merpati Nusantara Airlines.
Pesawat N-250 yang merupakan gagasan dan ide dari pendesainnya yaitu Bapak B.J Habibie  adalah pesawat yang sesuai dan dapat mendukung Merpati pada penerbangan perintis dengan konsumsi bahan bakar yang tidak boros seperti pesawat mesin jet serta dapat dioperasikan di bandara bandara dengan landasan pacu yang pendek juga.
Namun memang krisis ekonomi 1998 menghentikan pengembangannya, tidak hanya sementara tapi permanen hingga prototipe nya di museum kan beberapa tahun yang lalu, padahal pesawat ini bisa memenuhi kebutuhan mobilitas dan kontribusi bahan kebutuhan masyarakat di daerah daerah terpencil dan terluar.
Kemudian ada pesawat Xian MA-60 yang harus head-to-head dengan pesawat ATR Â 72-600 dahulu ketika Merpati membutuhkan armada baru dimana keduanya adalah jenis pesawat yang sama yaitu pesawat regional.
Pesawat MA-60 merupakan versi strech (lebih panjang) dari pesawat Xian X-7 besutan pabrikan asal Tiongkok yaitu Xi'an Aircraft Industrial Corporation sedangkan ATR 72-600 merupakan pesawat yang di buat di Perancis dan diproduksi oleh dua pabrikan yaitu Arospatiale (sekarang Airbus) asal Perancis dan Aeritalia (sekarang Leonardo S.p.A) asal Itali yang menjadi induk industri kedirgantaraan di Itali yang membawahi beberapa perusahaan kedirgantaraan diantaranya adalah AgustaWestland.
Pada akhirnya dipilih pesawat MA-60 dengan meninggalkan pertanyaan, apakah pesawat ini sudah terbukti dan benar benar bisa membantu Merpati (bukan membebani) dalam penerbangan perintis ?
Jawaban dari mendukung atau membebani sepertinya sudah bisa terjawab dengan apa yang terjadi pada Merpati, walau masih banyak faktor yang menyebabkan Merpati pailit.
Kejadian pertama menggambarkan keadaan dimana ada pesawat hasil ide dan gagasan dari anak bangsa yang memahami betul kebutuhan nasional tanpa melupakan tujuan dari maskapai untuk menghasilkan keuntungan namun tidak dituntaskan pengembangannya meskipun krisis ekonomi telah berlalu.
Sebuah pesawat regional bermesin baling baling yang sangat cocok dioperasikan di bandara bandara di daerah daerah di Indonesia dengan landasan pacu pendek dengan konsumsi bahan bakar yang tidak memerlukan biaya tinggi.
Sedangkan pesawat MA-60 merupakan sebuah  kekeliruan pengelolaan dalam hal proses pengadaan pesawat, kita mungkin sudah mengetahui penjabaran dari hal ini.
Bagi yang belum mengetahuinya, bisa cek di berita Kompas.com pada tanggal 8 Mei 2011 bertajuk 'Pembelian Pesawat MA60 Pernah Ditolak JK'.
Sebagai infornasi sedikit, sertifikasi pengoperasian pesawat memang tidak selamanya hanya dilihat dari kedua badan dunia saja yaitu FAAÂ (Amerika) dan EASA (Eropa) saja tetapi kedua badan inilah yang selalu menjadi acuan bagi semua pengguna dan operator pesawat utamanya untuk penerbangan komersil.
Pesawat MA-60 belum mendapatkan sertifikasi dari FAA sedangkan ATR 72 telah mendapatkan sertifikasi termasuk untuk varian seri 600 nya yang berkapasitas 78 kursi.
Jadi mengapa memilih MA-60 ? itu internal sifatnya, kita di pihak eksternal hanya akan mengetahui dampaknya bukan dasar keputusan.
Kesimpulan
Dari semua kejadian dan akhir cerita dari Merpati ini dapat dijadikan momentum baik kepada Pemerintah, maskapai dan pihak pihak yang terkait dan yang selalu mengatakan bahwa konektivitas sangat diperlukan, untuk dapat belajar keras dari kejadian ini.
Kita sebagai negara kepulauan sangat membutuhkan pesawat regional yang bermesin baling baling (turboprop) yang berbiaya rendah dengan konsumsi bahan bakar yang irit, bukannya pesawat regional bermesin jet yang pada akhirnya bisa menjadi biang kerok kekacauan keuangan maskapai seperti yang terjadi pada maskapai flag carrier ataupun pesawat yang belum mendapatkan sertifikasi dari badan penerbangan dunia yang menjadi acuan bagi maskpai dunia.
Industri kedirgantaraan Nasional seharusnya bisa menjawab kebutuhan nasional dalam hal pemerataan pembangunan melalui konektivitas udara akan tetapi yang terjadi justru kontradiksi.
Salah satu bukti keberhasilan industri kedirgantaraan kita yang baru berupa prototipe yaitu sang Gatotkaca justru menjadi penghuni museum, bukan penghuni langit nusantara.
Ini kontradiksi yang kedua dimana terlihat industri kedirgantaraan belun mendapat tempat yang sesuai padahal output atau hasil dari industri ini bisa menjawab kebutuhan nasional.
Pengadaan armada kerap menjadi biang kerok dari permasalahan maskapai di negara kita ini, kapan kita mau belajar untuk memperbaikkinya ?
Pengadaan pesawat sebaiknya dilihat dari sisi jangka panjang bukan jangka pendek misalnya dengan kemudahan pembiayaannya atau harga yang murah saja karena pesawat tidak bersifat jangka pendek, pesawat bukan hanya masalah harga tetapi lebih kepada penggunaan, utilisasi dan pemeliharaan yang semua itu bersifat jangka panjang.
Apabila tidak ingin mencampur bisnis dengan pemenuhan kebutuhan nasional (dan sebaiknya memang), kita mungkin bisa memaksimalkan fungsi dari TNI AU yang memiliki personnel dan armada yang bisa menjangkau daerah daerah terpencil dan terluar pula.
Fungsi pesawat militer tidaklah selamanya untuk keperluan pertahanan saja tetapi juga untuk mendukung program pemerintah dalam pembangunan serta untuk misi kemanusiaan (humanitarian mission).
Jika kita kembali pada pengadaan pesawat C-130 B hercules TNI AU, salah satu alasan kenapa Amerika menyetujui pengadaan tersebut untuk Indonesia adalah untuk mendukung program pembangunan nasional.
Dan untuk jenis pesawat yang sesuai untuk mendukung program pemerintah serta yang cocok dengan kondisi dan letak geografis negara Indonesia, mungkin kita bisa belajar dari TNI AU dimana berdasarkan opini penulis, dalam hal pengadaan pesawat angkut/kargo selama ini yang lebih cenderung memilih pesawat bermesin baling baling (turboprop) serta yang dapat dioperasikan pada bandara bandara dengan landasan pacu yang pendek dan bahkan pada landasan yang belum siap pun.
Selamat tinggal Merpati Nusantara Airlines dan penulis berharap tidak ada lagi maskapai di langit nusantara ini yang senasib dengan Merpati Nusantara Airlines.
Referensi :
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI