Mohon tunggu...
Mauraqsha
Mauraqsha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Staff Biasa di Aviasi.com

Penggemar Aviasi namun terjun di Pariwisata, berlayar pilihan pertama untuk liburan, homestay dan farmstay piihan pertama untuk penginapan.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Tantangan Industri Aviasi dalam Pemulihan Industri Pariwisata Indonesia

28 Februari 2022   19:37 Diperbarui: 8 Maret 2022   13:21 964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Industri pariwisata sudah bersiap diri menyambut kembali para wisatawan dengan tetap menerapkan protokol kesehatan, Bali yang menjadi destinasi wisata utama bagi wisatawan lokal mancanegara juga sudah bersiap diri.

Namun untuk memulai kembali kegiatan di industri pariwisata akan jauh berbeda dengan apa yang sedang dihadapi oleh industri aviasi sebagai industri yang justru sebagai industri pendukung satu sama lainnya.

Pada industri aviasi akan lebih kompleks lagi karena tidak hanya mencakup satu sektor saja tapi seluruh sektor yang ada di industri aviasi seperti maskapai, pusat pemeliharaan pesawat, bandara dan lainnya.

Setiap sektor akan memiliki tantangan masing masing namun yang yang terberat adalah maskapai yang justru menjadi andalan utama untuk memulai kembali kegiatan pariwisata.

Pandemi banyak meruntuhkan maskapai di dunia baik yang mengakibatkan maskapai keluar dari bisnis maupun yang membuat maskapai melakukan efisiensi berupa restrukturisasi baik finansial maupun dalam hal armada.

Beban kewajiban maskapai kepada para pihak leasing yang tidak dapat dipenuhi oleh maskapai akibat turunnya keterisian kursi pesawat banyak membuat maskapai mengembaikan pesawat pesawat mereka.

Secara finansial ini akan mengurangi beban maskapai namun dengan pengurangan armada akan membawa dampak pada rute penerbangan baik itu dari segi jumlah rute maupun frekuensi pada masing masing rute.

Sebuah pesawat pada maskapai bisa dimaksimalkan utilitasnya dengan jumlah rute penerbangan serta frekuensi pada sebuah rute namun bila pesawat tersebut dikembalikan kepada pihak leasing akan membawa dampak pada kemampuan maskapai dalam melayani penerbangan kepada publik.

Singkatnya, pengurangan armada akan mengurangi rute dan frekuensi penerbangan yang dilayani oleh maskapai. Selama pandemi ini maskapai di Indonesia juga melalui masa masa sulit dan berujung pada pengembalian pesawat pesawatnya ke pihak leasing.

Selama tahun 2021 maskapai Garuda Indonesia dan Lion Group banyak mengembalikan pesawat-pesawat mereka, beberapa diantaranya ada 12 buah pesawat Bombardier CRJ1000, 2 buah pesawat Boeing B-737 800 NG sedangkan anak perusahaannya, Citilink juga telah mengembalikan 3 unit pesawat.

Pada Lion Group juga tercatat mengembalikan 6 unit pesawatnya ke pihak leasing pada tahun 2021.

Sedangkan pada tahun 2022 ini Garuda Indonesia telah mengembalikan 2 unit pesawat Boeing B-777 300 ER-nya begitu pun Lion Group yang tersirat pada sebuah akun twitter pilot yang menerbangkan pesawat Batik Air ke pihak leasing beberapa hari yang lalu (referensi).

Apabila kita umpamakan setiap pesawat yang dikembalikan tersebut menerbangkan hanya satu rute penerbangan maka jumlah tersebut akan mempresentasikan rute penerbangan yang akan terkena dampaknya begitu pula frekuensinya.

Pada berita di Kompas.com CEO Garuda Indonesia mengatakan bahwa Garuda Indonesia hanya akan mengopersikan 53 unit pesawat dari total sebelumnya sebanyak 142 pesawat.

Ini menandakan ada sebanyak 89 rute penerbangan yang terkena dampak dari pengurangan armada jika mengasumsikan satu pesawat hanya menerbangkan satu rute penerbangan, pada kenyataannya mungkin bisa lebih dalam hal untuk memaksimumkan utilitas pesawat bagi maskapai.

Bila terjadi pengurangan rute dan frekuensi penerbangan maka pertanyaannya rute dan frekuensi penerbangan ke mana yang terkena dampaknya?

Di lain sisi bagaimana para maskapai akan dapat mengantisipasi kejutan dari kembalinya para air traveler terutama para pelibur atau holiday maker dengan jumlah armada yang jumlahnya tidak sama sebelum Pandemi? 

Keadaan dengan meningkatnya permintaan kursi penerbangan dengan minimnya ketersediaan kursi akan terjadinya penerapan hukum ekonomi supply-demand dimana pada hal ini akan meningkatkan harga tiket dan pada akhirnya memperlambat laju pemulihan pada industri pariwisata.

Ironisnya pihak leasing justru mengalami over supply pesawat dengan banyaknya pesawat yang dikembalikan oleh maskapai, dan walaupun sudah menurunkan harga leasing nya pun tidak membawa dampak berarti, hal ini karena ketidakmampuan maskapai pada sisi finansialnya untuk menangkap kesempatan tersebut.

Masih pada sisi maskapai, para kru pesawat khusus nya para pilot yang untuk periode waktu tidak terbang memerlukan rating nya kembali, proficiency training tidak dapat dikurangi berupa recurrency training untuk tetap menjamin keselamatan penerbangan.

Pesawat pesawat yang sudah lama tak digunakan juga memerlukan inspeksi kembali walau selalu mendapat pemeliharaan selama tak digunakan. Semua ini akan memerlukan biaya dan waktu pula bagi maskapai.

Kembali ke NKRI.

Dengan adanya beberapa rute dan frekuensi penerbangan yang akan terdampak ini maka akan berpengaruh pada pemulihan industri pariwisata serta juga kebutuhan mobilitas pengguna jasa transportasi udara lainnya, seperti yang untuk keperluan bisnis dan sosial atau mengunjungi kerabat dan keluarga, akankah kita kembali lagi ke periode waktu dimana harga tiket pesawat tinggi? Kita tentu berharap tidak.

Masalah yang dihadapi oleh maskapai tidak saja pada proses mendukung pemulihan pariwisata tapi juga saat Ibu kota berpindah nanti, dimana akan terciptanya rute-rute baru dari dan ke Ibu kota baru baik pada rute dan frekuensinya.

Ini akan menjadi tantangan yang tidak mudah bagi para pelaku industri aviasi baik dalam mengaktifikan kembali kegiatannya maupun dalam mendukung pemulihan pariwisata.

Dengan tidak melupakan kebutuhan mobilitas dari pengguna jasa transportasi udara di Indonesia yang diprediksi jumlahnya akan meningkat serta akan terciptanya rute rute penerbangan baru pada ibu kota baru akan membuat tantangan industri aviasi semain berat pula.

Laju pemulihan industri pariwisata tidak hanya akan dipengaruhi dengan dibukanya kembali destinasi wisata atau relaksasi serta peniadaan karantina dan sebagainya, namun juga akan bergantung pada ketersediaan kursi penerbangan yang dibutuhkan oleh para holiday maker untuk tiba di destinasi.

Dan ketika lebih banyak lagi destinasi wisata yang akan dikembangkan di masa mendatang maka dibutuhkan pula ketersediaan kursi penerbangan.

Untuk itulah untuk dapat mengaktifkan kembali industri pariwisata dengan laju yang diinginkan juga memerlukan pengaktifan kembali industri aviasi dengan kecukupan jumlah armada yang kini justru berlawanan arah dengan laju pada pariwisata.

Dan jangan pula kita berada pada satu titk dimana kita menghadapi krisis kekurangan kursi penerbangan pada segala industri.

Mudah mudah an juga tidak.

Referensi

Satu Dua Tiga Empat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun