Pandemi sepertinya kini tidak hanya dianggap penyebab terhentinya kegiatan dari industri wisata saja tapi juga sebagai awal dari pariwisata yang baru yang lebih mengedepankan layanan dan kenyamanan masyarakat sekitarnya daripada turis seperti pada pre pandemi.
Banyaknya jumlah turis pada sebuah periode waktu di sebuah kota misalnya, indikasi dari keadaan overtourism sudah mulai dirasakan dampak negatifnya oleh masyarakat kota tersebut.
Keadaan dimana masyarakat lokal tidak mendapat tempat duduk pada transportasi publik, penuh nya restoran dan cafe dengan turis membuat masyarakat lokal tak bisa menyantap makan siang mereka karena singkatnya waktu istirahat.
Perilaku turis yang tidak mentaati peraturan sekitar dan kurangnya menghormati kehidupan lokal adalah beberapa hal yang dirasakan oleh mereka sebelum pandemi.
Kini di awal dimana seluruh destinasi wisata di dunia menyiapkan diri menyambut kembalinya turis turis dengan harapan sebanyak mungkin, beberapa lainnya justru akan lebih tidak berharap jumlahnya sebanyak ketika sebelum pandemi.
Alasannya adalah dampak negatif dari gejala (atau sudah) dari overtourism yaitu mengganggu jalannya kehidupan lokal.
Seperti dikutip dari abc.net.au, beberapa masyarakat kota Kyoto Jepang , Prague, Amsterdam, Barcelona dan sudah pasti Venice Itali mengeluhkan banyaknya turis serta dampak nya seperti perilaku para turis yang tidak mengikuti peraturan, penggunaan alkohol dan hal hal lain seperti yang disebutkan sebelumnya.
Namun bila dilihat lebih jauh lagi dapat dikatakan bahwa semua destinasi diatas adalah daerah perkotaan dimana tanpa turis pun sudah  dibilang padat, jadi mengapa kita yang bukan kota harus melihat ini ?.
Ya benar itu tetapi bagaimana pada sebuah periode waktu jumlah turisnya melebihi dari jumlah penduduk kota tersebut seperti yang terjadi di Venice dengan jumlah penduduknya yang hanya 500 ribu orang namun setiap tahunnya kedatangan 25,juta turis per tahunnya, mereka berkunpul di kerumunan serta antrian dan pada akhirnya apa yang di keluhkan seperti diatas menjadi tergambar jelas.
Perilaku turis yang tidak menghornati budaya dan mentaati aturan lokal terjadi bukan hanya dikarenakan dari turis itu saja tapi juga bisa disebabkan oleh keistimewaan yang diberikan oleh beberapa anggota masyarakat sekitar 'tertentu' sehingga akan berkesan seperti pembiaran.
Dan akan lebih parah lagi bila keistimewaan tersebut menempatkan penduduk dan wisatawan lokal lebih rendah.
Entah karena khawatir bila turis tersebut tidak akan kembali lagi bila tidak diperlakukan istimewa, di lain sisi penerapan istilah 'tamu adalah raja' yang tidak pada tempat dan waktu yang tepat justru dapat membuat ketidakpatuhan turis pada aturan dan tidak menghornati budaya dan kebiasaan lokal.
Overtourism bisa terjadi pada semua destinasi wisata tidak hanya kota dan ketika ditambah dengan kegiatan pariwisata justru mengusik kehidupan masyarakat lokal maka pembatasan jumlah turis menjadi cara baru mereka melihat pariwisata di masa mendatang.
Banyaknya jumlah wisatawan yang berkunjung memang harapan kita namun kita juga harus lebih memperhatikan masyarakat kita sendiri pada satu titik, tidak selamanya semua hal tertuju pada ekonomi tapi juga sosial.
Kegiatan sehari hari masyarakat yang sejatinya justru dapat menjadi daya tarik, bukan yang menghambat dan lebih parahnya lagi seperti yang terjadi di Venice dengan banyaknya penduduk asli nya keluar meninggalkan Venice.
Pariwisata memang pada dasarnya dapat membawa manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal namun ketika banyak yang meninggalkan dan pindah ke tempat lain, masyarakat lokal yang mana yang mendapat manfaat, hal inilah yang terjadi di Venice.
Orang yang tinggal di Venice adalah justru orang luar Venice yang membeli rumah rumah penduduk yang pergi untuk dijadikan restoran, cafe, hotel dan lainnya.
Atas semua ini bisa jadi memang benar bahwa Pandemi tidak hanya menghentikan sementara pariwisata tapi jiuga sebagai waktu, dalam hal ini kota kota tersebut, untuk mengambil satu langkah ke belakang dan melihat apa yang telah dan tengah terjadi pada kehidupan sehari hari mereka.
Keadaan ketika harus berbagi dengan banyaknya turis menumbuhkan pertanyaan apakah merugikan atau menguntungkan, tidak hanya dalam konteks ekonomi saja tapi sosial dan lainnya.
Pada sisi wisatawan sebenarnya juga, pandemi menjadi awal bagi kita untuk lebih menjadi Responsible Traveler serta menghormati, menghargai budaya lokal serta mentaati aturan pada destinasi apapun.
Jamgan sampai itu dialami oleh kita di Indonesia dan tidak sepantasnya pula kita mengatakan hal ini tidak akan terjadi pada kita, apapun bisa terjadi kapan pun dan dimanapun, sama dengan Covid 19 yang membawa kita semua pada pandemi ini.
Pariwisata pasca pandemi tidak akan sama dengan pre pandemi, hal ini paling tidak sudah menjadi tekad bulat masyarakat pada kota kota tersebut, tidak ada salahnya pula kita bertanya apakah itu juga (sudah) terjadi pada kita ?.
Dan yang lebih utamanya dan inti dari semua ini, bukankah kehidupan masyarakat lokal sebagai salah satu faktor dari sustainable tourism ?
ReferensiÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H