Sebidang tanah memang bisa dalam sekejap berubah menjadi motor atau mobil baru, perhiasaan mahal dan wisata ke berbagai tujuan sesuai selera, nilai dari semua itu hanya akan disitu saja, berbeda jika masih berupa sebidang tanah yang dinilainya justru bisa bertambah.
Begitu pula sebidang tanah di destinasi wisata, akan tetapi nilainya dapat di gandakan dengan pemanfaatan dan pendukung aktivitas pariwisata seperti penginapan atau restoran.
Ironisnya kebanyakan orang justru lebih memilih untuk tidak menggandakan atas keinginan yang tak bisa terbendung untuk memiliki motor baru.
Pada sebuah kesempatan penulis berhenti di sebuah warung dan melihat truk dengan puluhan motor baru, ketika bertanya kepada pengemudi truk akan dibawa kemana motor motor baru tersebut, sang pengemudi menyebut nama desa dimana semua motor tersebut adalah pesanan dari penduduk disana.
Bisa jadi karena hasil penjualan tanah karena ada rencana pembangunan di desa tersebut.
Sah saja tapi sangat disayangkan jika keberadaan tanah yang dijual itu berada pada destinasi wisata.
Sebagai ilustrasi saja, apakah tidak ironis ketika  kita mengantar anak kita berangkat kerja, katakanlah hotel, dimana lokasi hotel tersebut dibangun di tanah yang dijual sebelumnya.
Anak kita bisa saja menjadi pemilik bukan hanya sekadar karyawan, tidak hanya juga sebagai pemilik bisnis tapi juga pemilik tanah tersebut.
Jika pemilik tanah dapat lebih mendalam mememahami keberadaan tanahnya di destinasi wisata, mungkin bisa membangun fasilitas pendukung pariwisata misalnya penginapan, restoran, toko souvenir dan lainnya.
Penginapan dengan 2-3 kamar mungkin sudah cukup dilantai dasar, dan bila tanahnya berada tidak jauh dari pantai, bisa membangun ruangan  terbuka di lantai atas sebagai sunset point sambil menikmati hidangan ringan.
Dari sisi mencari pelanggan, kita tidak perlu menjemput pelanggan karena pelanggan kita adalah wisatawan yang atas dasar keinginan untuk berlibur.
Penjualan tanah yang mereka lakukan umumnya karena mereka sudah mencari investor atau partner yang berminat untuk bekerjasama namun setelah sekian lama menunggu, investor atau partner tak dapat mereka temukan.
Melihat keadaan ini adalah sebuah keironisan sebidang tanah di destinasi wisata yang pada dasarnya sudah bernilai serta dapat di lipatgandakan, namun kebanyakan justru berpindah tangan ke pihak pihak yang umumnya atas dasar investasi, menjual kembali dengan harga yang lebih tinggi yang memerlukan waktu.
Pada akhirnya sebidang tanah tersebut kembali pada keadaan semula, kosong, tanpa bangunan, menjadi lahan tidur di kawasan destinasi wisata yang sebenarnya dapat memberi manfaat ekonomi.
Sebidang tanah di destinasi wisata banyak dipandang sebagai investasi bukan sebagai lahan bisnis yang dapat mensejahterakan tidak hanya pemilik tapi anggota masyarakat sekitar.
Pada sisi pembeli tanah di destinasi wisata yang bisa berasal dari dalam atau luar negeri, tujuan mereka membeli tanah terkadang tidak jelas apakah akan membangun fasilitas pendukung pariwisata di daerah tersebut atau hanya untuk investasi belaka.
Ada sebuah fenomena di seluruh dunia yang juga terjadi di beberapa destinasi di Indonesia dengan yang disebut sebagai residential tourism dimana mereka membeli tanah dan atau properti lainnya sebagai penggunaan pribadi seperti rumah tinggal, villa dan lainnya.
Mereka ada yang memang tinggal di sana untuk periode tertentu dalam setiap tahunnya dan ada pula yang hanya berkunjung untuk waktu singkat namun bisa berkali kali dalam setahun.
Beberapa dari mereka ada yang memiliki usaha sehingga kunjungan mereka untuk melihat bisnis nya, ada pula yang memang menjadikan rumah yang dibangun sebagai akomodasi mereka selama berlibur disana.
Pada fenomena ini dari sisi penggunaan tanah pada destinasi wisata jelas hanya memberikan manfaat kepada pemiliknya saja walau beberapa dari mereka memang ada yang membangun bisnis nya di bidang pariwisata seperti hotel, restoran, diving center dan lainnya.
Namun bagi residential tourist yang hanya menggunakan bangunan tersebut hanya setiap sekali mereka berkunjung, pemanfaatan tanah tersebut tidak ada dampaknya bagi pengembangan pariwisata di sekitarnya.
Sebidang tanah di destinasi wisata juga adakalanya dipandang sebagai lahan proyek dengan mengatasnamakan pariwisata serta tetap memposisikan pemilik tanah dan penduduk lokal sebagai penonton, walau adakalnya sebagai karyawan bagian dari proyek tersebut namun bukan sebagai pelaku.
Menambah keironisan dari sebidang tanah di destinasi wisata terutama jika dilihat dari nilai, penggunaan dan manfaat baik bagi daerah sekitar maupun dari konteks pengembangan pariwiasata.
Secara umum pengembangan pariwisata berkaitan erat dengan tersedia nya tanah untuk membangun segala fasilitas pendukung pariwisata, di lain sisi tanah memang menjadi salah satu bentuk investasi yang dapat memberikan keuntungan.
Namun bila kita berbicara mengenai sebidang tanah pada destinasi wisata tidak hanya dapat dipandang dari keuntungannya belaka tapi juga dari sisi penggunaannya yang dapat memberi manfaat bagi daerah sekitar dan untuk pengembangan pariwisata.
Ketersediaan tanah bagi pengembangan pariwisata sangat dibutuhkan dan hal ini perlu menjadi salah satu kesadaran wisata bagi penduduk yang memiliki tanah di destinasi wisata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H