Mohon tunggu...
Virginia Tampubolon
Virginia Tampubolon Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S-1 Fakultas Hukum UPN "Veteran" Jakarta

Hobi saya adalah membaca buku, terlebih lagi buku yang membahas mengenai permasalahan kesenjangan sosial dan permasalahan negara.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengapa Poligami Diperbolehkan dalam Hukum Islam? Dan Bagaimana Pemenuhan Syarat Poligami di Pengadilan?

26 Maret 2024   20:45 Diperbarui: 26 Maret 2024   23:19 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkawinan memiliki arti sebagai ikatan lahir dan batin atau diartikan dalam suatu perjanjian suci antara seorang pria dan wanita yang ingin melanjutkan hubungan antara keduanya menjadi hubungan yang halal atau sah secara agama dan sah secara hukum. Dalam ajaran agama Islam, pernikahan bukan dijadikan sebagai ajang pemersatu dua hati yang memiliki rasa mencintai satu sama lain saja. 

Namun lebih dari pada itu, tujuan penting adanya pernikahan dalam Islam yaitu menjaga diri dan membentengi diri dari perbuatan-perbuatan maksiat yang diharamkan oleh syariat, mengamalkan ajaran Rasulullah SAW, melanjutkan adanya keturunan dan melalui perjanjian yang sah, kedua pasangan tersebut akan mengikat janji untuk siap membangun kehidupan keluarga yang islami, bahagia, harmonis dan sejahtera.

 A. Alasan Poligami Di perbolehkan dalam Hukum Islam                                                                                                               

Poligami atau ta'addudu az-zawjat (berbilang istri) berasal dari bahasa Yunani, apolus yang memiliki arti banyak dan gamos yang berarti perkawinan. Jadi, bisa diartikan bahwa poligami adalah perkawinan yang memperbolehkan seseorang mempunyai lebih dari satu istri. 

Dalam konsep agama Islam sendiri, telah menyetujui adanya praktik poligami dalam keadaan yang darurat dan mendesak, itupun dilihat dengan standarisasi dari suami dalam kemampuan memberikan nafkah, serta bersikap adil dengan istri-istri dan anak-anaknya masing-masing. Maka hal ini, terdapat hal yang melatarbelakangi poligami sebagai alasan yang diperbolehkan dalam hukum Islam, yaitu:

(1) Poligami merupakan Sunnah dari Nabi dan memiliki sebuah landasan teologis yang jelas dan tertulis yakni pada Surat An-Nisa' ayat 3 dan 129.

  • (QS. An-Nissa' Ayat 3):

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ

Artinya "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinlah wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka (kawinlah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat. (QS. An-Nissa' Ayat 3).

  • Begitupula dengan (QS. An-Nisa' ayat 129):

وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْٓا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاۤءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۗوَاِنْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

Artinya : "Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS.An-Nisa' ayat 129).

Adanya bukti pemeriksaan medis bahwa istri mandul dan tidak bisa meneruskan keturunan. Dengan keadaan demikian, maka suami diperbolehkan untuk menikah lagi dengan tujuan memperoleh keturunan.

(2) Suami dapat melakukan praktik poligami jika diketahui istri tersebut menderita suatu penyakit yang tidak bisa disembuhkan, contohnya penyakit hilang ingatan dan penyakit lanjut usia lainnya sehingga istri tersebut tidak mampu memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri dalam kehidupan rumah tangga, baik kewajiban untuk suami dan anak-anaknya.

(3) Seringkali terdapat data sensus pertumbuhan penduduk, bahwa tingkat pertumbuhan laki-laki dan perempuan tidak memiliki keseimbangan. Contohnya jumlah perempuan yang lebih banyak dari pada jumlah laki-laki. Realitas seperti ini nyaris mengakibatkan tidak adanya keseimbangan antara laki-laki dan perempuan. Maka, solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah dengan disetujuinya poligami.

(4) Nafsu biologis laki-laki yang sangat besar dan tidak dapat terpenuhi oleh satu orang istri, atau istri yang tidak dapat memenuhi kebutuhan biologis suaminya. Agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan zina, saat itulah poligami menjadi suatu jalan atau mengganti talak (perceraian).

(5) Poligami juga melahirkan perilaku bantin tentang mengayomi anak-anak yatim yang berada dalam tanggungan ibu yang kurang mampu. Dalam tujuan poligami ini merupakan tindakan mengamalkan ajaran Allah SWT, karena telah mengasihi anak yatim yang tertulis dalam Surat An-Nisa' ayat 3.

Jelas dalam alasan-alasan diatas, bahwa poligami diperbolehkan dalam syari'at Islam dan bisa diambil kesimpulan bahwa alasan-alasan tersebut mengacu pada tujuan pokok perkawinan dengan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa atau dalam rumusan yang sakinah, mawaddah dan rahmah. 

B. implementasi pemenuhan syarat poligami agar mendapatkan ijin di pengadilan

Dalam persetujuan pengadilan mengenai poligami, seorang suami harus memenuhi syarat Komplikasi Hukum Islam Buku I tentang Hukum Perkawinan Bab IX Pasal 55 sampai dengan pasal 59.

  • Pasal 55 KHI:

(1) Beristeri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang isteri.

(2) Syarat utama beristeri lebih dari satu orang, suami harus berlaku adil terhadap isteri dan anak-anaknya.

(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari satu orang.

  • Pasal 56 KHI:

(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapatkan izin dari Pengadilan Agama.

(2) Pengajuan permohonan izin dimaksudkan pada ayat 1 dilakukan menurut tatacara sebagaimana diatur dalam Bab VIIIPP No.9 tahun 1975.

(3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

  • Pasal 57 KHI:

Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :

(1) Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;

(2) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

(3) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

  • Pasal 58 KHI:

Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu:

(1) adanya pesetujuan isteri;

(2) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.

Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama.
(3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya 2 (Dua) tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.

  • Pasal 59 KHI:
    Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.

Selain persyaratan KHI, adapun juga persyaratan dalam UU negara Indonesia yang diatur dalam 4 dan 5 UU Perkawinan, Pasal 40, 43 dan 44 PP No. 9 Tahun 1975.

  • Pasal 4 UU Perkawinan: 

(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimar tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undar-Undang ini, maka ia waib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

(3) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

(4) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit disembuhkan;

(5) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. 

  • Pasal 5 UU Perkawinan:

(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang Undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

(2) Adanya persetujuan dari isteri/isteriisteri;

(3) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;

(4) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

(5) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf A pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteriisterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian; atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

C. Menyangkut prosedur melaksanakan poligami aturannya dapat dilihat di dalam PP Nomor 9 tahun 1975 Pada pasal 40:

Dinyatakan: "Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan". Izin Pengadilan Agama tampaknya menjadi sangat menentukan. Apabila keputusan hukum yang mempunyai kekuatan hukum tetap, izin pengadilan tidak diperoleh maka menurut ketentuan pasal 44 PP No. 9 Tahun 1975 dijelaskan bahwa Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti yang dimaksud dalam pasal 43 (PP No. 9 tahun 1975). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun