Mohon tunggu...
Moch Tivian Ifni
Moch Tivian Ifni Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writers and socio entrepreneur

Tingkatkan literasi untuk anak indonesia lebih cerdas karena indonesia minim literasi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Sedekah lah, Tak Membuatmu Miskin Kok

26 Juli 2024   18:51 Diperbarui: 26 Juli 2024   18:56 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tivian image (Dokpri)

Kok tidak habis hartanya? Batinku ketika aku yang sedang berjalan, melihat seseorang di rumah sederhana, tak mewah selayaknya orang kaya, membagikan sembako kepada para tukang becak dan ibu-ibu tua yang tampak memang tak mampu dengan pakaian lusuh.

Mereka semua menunggu antri, berjajar rapi nan tertib, satu persatu menerima paket sembako. Ku lihat belasan becak terparkir rapi, tak mengganggu lalu lintas dan ibu-ibu tua yang menggendong anaknya dengan wajah senyum tanpa lelah, berdiri menunggu giliran.

Pemandangan bersahaja yang tak hanya sekali ini ku lihat, melainkan setiap minggu di hari jumat saat aku berjalan melewati rumah sederhana milik orang itu. Penasaran memburu hebat di pikiranku, mencari jawaban dari pertanyaan yang ada di benakku akan siapa orang itu dan seberapa banyak hartanya.

Tak mungkin!, aku yang sedang pulang kerja dengan pakaian rapi kemeja panjang ikut ngantri, menunggu giliran menerima paket sembako hanya untuk sekedar bertanya sosok siapa pembagi sembako. Tapi rasa penasaranku terus memburu hebat untuk segera ingin tahu siapa beliau. Hingga aku putuskan duduk di sebuah trotoar menunggu antrian pembagian sembako selesai.

Duduk sambil melihat, menatap ke arah antrian dengan penuh kekaguman dan rasa malu. Gimana tidak kagum dan malu?, beliau yang sudah nampak tua dengan rumah sederhana mampu memberikan sedekah sembako berjumlah puluhan setiap minggu. Sedangkan diriku seorang pekerja kantoran dengan gaji belasan juta saja, enggan menyedekahkan sepeser gaji itu untuk orang yang tidak mampu.

Bahkan ketika ada program pemotongan gaji untuk zakat MAL (penghasilan), aku sendiri tak terima. Sungguh malu aku, melihat kenyataan yang ada di depanku sekarang. Orang tua sederhana tapi kaya akan hati. Tidak sepertiku, pemuda perlente tapi miskin akan hati.

Setelah lama aku menunggu dengan rasa yang bercampur jadi satu, antrian tukang becak beserta ibu-ibu tua sudah bubar. Tinggallah bapak tua itu dan ibu tua dengan ditemani dua gadis berjilbab cantik yang sedang merapikan meja dan perkakas lainnya. Aku tak tahu siapa kedua gadis berjilbab itu, mungkin anaknya. Lantas, dengan cepat aku berjalan menghampirinya.

"Permisi" ucapku saat aku sudah bediri di hadapannya setalah berjalan m dekatnya.

"Waalaikumsalam" sahut orang tua itu memberiku salam.

Aku yang salah, tak memberi salam, terhentak kaget dengan langsung mengucapkan salam.

"Assalammualaikum".

"Waalaikumsalam".

Serentak mereka semua menjawab salam dariku, termasuk bapak tua itu. Mereka semua kini berdiri melihatku dan memandangiku.

"Mohon maaf nak!?, sembakonya habis. Datang lagi jumat depan ya" ucap bapak tua itu.

Astaga, aku yang datang dengan penampilan perlente, memakai kemeja dan celana kain masih dikira minta sedekah sembako, pikirku yang sejenak diam. Tak ada hinaan yang ku rasakan dari ucapan bapak tua itu, justru kagum akan prasangka beliau yang selalu positif kepada setiap orang. 

"Mohon maaf pak!?, kedatanganku bukan meminta sedekah sembako bapak tapi hanya sekedar bertamu dan mau tahu tentang bapak" ucapku seusai sadar dari diamku sejenak.

"Maaf nak? Bapak tidak tahu hingga perkataan bapak barusan menyinggung hatimu" sahut Bapak tua itu.

Sungguh, aku merasakan rasa penyelasan dari Beliau. Nada lembut, santun merendah untuk meminta maaf kepadaku yang jelas lebih muda darinya.

"Tidak apa-apa Pak" ucapku.

"Kalau begitu, sikahkan masuk!"

Bapak tua itu mengajakku, mempersilahkan aku masuk ke dalam rumahnya, meninggalkan ibu tua dan dua orang gadis berjilbab yang masih berberes. Rumah apa ini?, pikirku saat melihat ruang tamunya. Rumah yang tak berlantaikan keramik dengan dinding batu bata tanpa polesan. Bahkan kursi tamunya hanya kursi plastik biasa. Kondisi yang sangat bertolak belakang dengan kebiasaan beliau yang suka bersedekah.

"Silahkan duduk nak" ajak bapak tua itu.

"Oh, iya pak"

Aku pun duduk di kursi plastik di ruang tamunya. 

"Anak ini siapa?" tanya bapak tua itu.

"Namaku Vian pak. Aku bekerja di kantor situ pak" jawabku sembari tangan menunjuk kantorku.

Bapak itu tersenyum tipis sambil berkata.

"Hal apa yang membuatmu datang ke rumahku nak? Bukan kah kamu biasa jalan kaki melewati rumahku".

Rupanya bapak tua itu juga sering melihatku berjalan kaki melewati rumahnya saat pulang kerja.

"Aku kesini penasaran pak, tentang diri bapak dan kebiasaan bapak yang selalu bersedekah di hari jumat setiap minggu" terangku.

Lagi!, beliau tersenyum ke arahku seraya berkata dengan lembut dan santun.

"Namaku Abdurrahman nak, aku hanya petani biasa. Menurutmu bersedekah itu aneh hingga kamu mempertanyakannya dengan penasaran".

Nama yang mengingatkan aku akan sosok sahabat nabi Muhammad SAW yang tak bisa miskin meski selalu bersedekah dengan seluruh hartanya,  ya Abdurrahman Bin Auf. Bahkan kekayaannya selalu bertambah dengan sedekah.

"Gak seperti itu pak!. Penasaranku ini lebih karena kagum akan sosok bapak. Dengan kondisi bapak yang hidup sederhana tapi masih sanggup bersedekah setiap minggu" ucapku.

"Sedekah tak menunggu kita kaya dan tak pula membuat kita tambah miskin nak. Justru karena sedekah, bapak mendapatkan anugerah luar biasa dari Allah SWT" sahutnya.

Sontak, kali ini aku tidak hanya malu tapi juga tertampar telak atas perkataan Pak Abdurrahman. Aku selama ini selalu berpikir logic menerapkan hukum ekonomi dengan meminimalisir pengeluaran, apalagi untuk sedekah agar bisa menabung. Tapi sedikitpun tabunganku tak bertambah dan masih hidup kurang saja.

Sedangkan Pak Abdurrahman dengan sedekah, bisa hidup cukup dan orang melihat hidupnya kaya. Iri banget aku dengan pak Abdurahman, jarang juga orang seperti beliau di zaman individualis sekarang ini.

"Tapi pak, bukankah harta kita akan habis jika kita berikan kepada orang lain" sanggahku.

"Itu menurutmu tapi tidak Allah swt. Matematikanya Allah SWT tak seperti itu nak. Satu tambah satu tidak dua tapi bisa dua puluh" jelasnya.

Aku mengangguk, mengerti maksud ucapan Pak Abdurrahman itu. Memang Alla SWT maha segalanya dan apa yang sudah dijanjikannya akan dipenuhi. Sedekah itu memang pembuka pintu rejeki seperti halnya saat kita akan menangkap seekor ayam, jangan dikejar pasti akan lelah. Justru berikan makanan, maka mereka akan datang ramai-ramai kepadamu, langsung tangkapin satu-persatu.

Tivian image (Dokpri)
Tivian image (Dokpri)
Aku terus mengobrol banyak penuh keseruan bersama beliau. Hingga tak terasa waktu sore telah habis dan berganti malam, beriring adzan magrib yang berkumandang. Aku di ajaknya sholat magrib berjamaah bersama beliau besertaa keluarganya di rumah. Bahkan selesai sholat, saya di ajak makan malam bersama dengan lauk sederhana tapi aku merasakan kemewahan yang tak bisa dijelaskan.

Pengalaman akan nasihat hidup tentang sedekah dari orang sederhana tapi kaya hati yang luar biasa hari ini. Diriku malu, mengira sedekah akan menjadikan aku miskin harta, eh justru aku lebih miskin dari seorang petani biasa yang gemar bersedekah. So, mulai sekarang gemar lah bersedekah dan percaya Tuhan tak kan memiskinkanmu hanya karena sedekah.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun