Tak Sadar!,
Kelahiran seorang anak merupakan anugerah terindah dari setiap pasangan di dunia ini, termasuk kedua orang tuaku yang sedang menyambut kelahiranku. Seorang anak yang sudah lima tahun di nanti kedatangannya. Antusias, jantung berdebar yang dirasa ibuku sebab kebahagiannya tak utuh, cemas untuk berperang, mempertaruhkan nyawanya demi hidupku di dunia. Hidup dari wujud anugerah Tuhan yang sudah di mintanya melalui doa sepanjang hari dan di nantikan lama bersama ayahku.
Beberapa lama kemudian, peperangan ibu selesai. Aku telah lahir dengan tangisan selayaknya bayi normal biasanya. Ibuku tersenyum, begitu juga ayahku saat melihat diriku yang terlihat sehat dan lengkap. Lantas, dengan sigap beliau menggendongku, mendekatkan bibirnya di telingaku untuk mengadzani. Tak lupa juga, beliau sematkan nama yang sudah di rencanakan sejak dulu bersama ibuku, Raffa Rahadian, sebuah nama yang aku sendiri tak tahu maknanya hingga sekarang tapi aku suka dengan nama itu.
Aku anak tunggal, ayahku bernama Teddy Putra Rahadian, seorang arsitek dan bekerja sebagai karyawan swasta di salah satu perusahaan kontraktor terbesar di Kotaku. Sedangkan ibuku bernama Ayuk safitri, seorang ibu rumah tangga yang sekaligus merangkap pebisnis online cukup terkenal. Secara ekonomi, keluargaku bisa di bilang cukup, cukup mampu membeli keperluan hidup kami. Namun meski demikian, keluargaku memilih hidup sederhana di sebuah rumah Limas kuno warisan kakek-nenekku dengan halaman luas nan asri, penuh pepohonan buah mangga dan randu di sekelilingnya.
Hidup yang normal, jelas tidak. Sebab kenyataan takdir Tuhan berkata lain. Ternyata hidupku berbeda, tak seperti kebanyakan bayi lainnya. Bukan ekonomi yang membuatku berbeda, melainkan fisikku. Awalnya ayah dan ibuku tak menyadari, jika aku yang lahir normal dengan berat Empat Koma Kedua Kilogram memiliki kelainan karena semuanya belum terlihat jelas di fisikku. Hanya saja, saat itu dokter yang membantu persalinanku berkata kepada ayahku.
"Sepertinya anak bapak berbeda, tak selayaknya bayi lain. Tolong dijagain".
Ayahku heran bercampur bingung mendengar ucapan dokter itu. Beliau merasa tak ada yang berbeda dari fisikku, semuanya normal seperti bayi pada umumnya. Seketika itu, mata ayahku melihat detail diriku dari ujung kaki sampai kepala yang sedang tidur di ranjang bayi rumah sakit.
"Berbeda apanya dok".
Dokter tersenyum seraya berkata.
"Jarak hidung dan bibir atas, tak seperti bayi pada umumnya".
Sontak ayahku kaget mendengar itu, matanya terbelalak, langsung melihat wajahku. Memang dilihatnya jarak bibir atas dan hidungku sangat jauh. Tapi beliau masih mengelak pada kenyataan dengan mengira jarak yang jauh itu disebabkan fisikku yang obesitas.
"Bukan karena obesitas, dok, yang membuat jarak hidung dan bibir atas jauh" ucap ayahku.
"Bisa jadi seperti itu tapi untuk saat ini, saya tidak bisa diagnosa lebih lanjut".
Dokter itu berucap seraya pergi berjalan kaki untuk keluar ruangan, meninggalkan tanda tanya besar bagi ayah dan ibuku. Mereka tak menggubris, larut dalam euforia rasa kebahagiaan telah dikarunia seorang anak yang telah di nantikan lama.
"Raffa telah lahir sehat,Bu" ucap ayahku.
"Iya Mas,dia terlihat sehat".
Ibuku yang terbaring lemas di ranjang menyahuti sambil tersenyum tipis dengan sisa tenaganya. Sementara ayahku tetap berdiri, melihatku yang masih tertidur di ranjang bayi, memastikan jika diriku normal tanpa kelainan dengan pandangan matanya.
Kebahagian mereka terus berlanjut, hari-hari di rumah sakit, dilalui dengan senyuman kepada setiap orang, baik sanak keluarga maupun temannya yang datang berkunjung untuk melihat keadaanku dan ibuku.
"Sehat ya Raffa, seger gitu badannya".
Setiap orang yang berkunjung ke rumah sakit selalu mengatakan itu setelah melihat fisikku. Mereka semua juga tak menyadari perbedaan pada fisikku yang membawa pengaruh besar di hidupku hingga saat aku menulis semua ini. Sebuah penyakit langkah atau kelainan fisik pada kulit yang membuat serasa jiwaku salah tubuh, hingga kekecewaan tumbuh besar di hatiku.
Kekecewaan dihatiku bukan karena ketidaksadaran orang tuaku akan kelainan fisik ini, hingga aku tak di obati sesuai sebagaimana mestinya. Kalaupun mereka sadar dan tahu, kelainanku fisikku juga tak bisa di obati. Itu yang aku tahu setelah aku dewasa. Tapi kekecewaanku lebih kepada takdir Tuhan yang memberiku hidup tak seperti anak normal lainnya.Â
"Berbeda!, tak buruk. Selalu ada hikmah di dalamnya."
Kalimat yang ku rasakan saat ini, ternyata berbeda dari orang lain itu, tak buruk. Sebab aku sekarang merasakan hikmah luar biasa dari dunia pekerjaanku sebagai konten creator di usia 22 Tahun. Setelah aku menyelesaikan kuliah jurusan teknologi informasi di perguruan tinggi negeri. Hikmah tak datang instan kepadaku, aku selalu mencarinya dengan keikhlasan menjalani hidup yang penuh hinaan, bullying, dan diskriminasi sejak aku kecil.
Ayah dan ibuku juga yang membantuku untuk menjadi seseorang kuat untuk mampu menerima ketetapan Tuhan dengan ikhlas. Kasih sayang mereka yang tak kecewa atau marah, penuh ketulusan membesarkan dan merawatku jadi tameng kuat ketika hinaan dari teman, saudara dan orang lain kepadaku.Â
Bahkan aku sejak kecil hingga dewasa sekarang ini, aku merasa ayah dan ibuku tak menyadari jika diriku ini berbeda dari orang normal meski mata mereka tak buta melihat fisikku. Mungkin, pandangan mata mereka tertutup ketulusan hati, mengabaikan kekecewaan dengan kasih sayang yang luar biasa kepadaku. Hingga aku tak merasakan kekecawaan penuh kebencian di hati mereka kepadaku.
Namun demikian, diriku terkadang masih berharap ketika aku tidur terlelap bisa bangun dengan keadaan fisik normal. Maklum, diriku ini manusia yang hanya hamba Tuhan penuh harap, tak memiliki kemampuan mengatur hidup sendiri. Tak jarang juga aku selalu marah, jika teringat waktu sekolah dulu yang sering mendapat perlakuan tak adil dan hinaan. Bahkan hingga dewasa sekarang aku di perlakukan berbeda saat mencari pekerjaan kantoran meski dengan gelar sarjana dan predikat baik.
"Hidup itu bersyukur, lakukan dengan iklhas dan lebihnya pasrahkan kepada Tuhan."
Setidaknya nasihat itu yang selalu jadi prinsip dalam menjalani hidup yang berbeda, hidup yang penuh perlakuan tak adil dan diskriminatif dengan kelainan fisik yang ku alami. Cutis Laksa, itu lah nama kelainan fisikku dimana kelainan itu mengakibatkan kulit di tubuhku tak memiliki jaringan ikat selayaknya orang normal. Hingga mengakibatkan kulitku kendur, tidak kenyal.
Kelainan ini nampak dan di sadari oleh kedua orang tuaku saat aku berusia 6 bulan. Fisikku yang seharusnya masih jadi bayi menggemaskan dengan kulit kenyal, justru terlihat kulit kendur baik tangan dan wajah, hingga mengakibatkan wajahku sudah nampak berusia tua dengan kerutan. Ya!,bisa dibilang Tuhan salah menempatkan tubuh untuk jiwaku atau aku yang sengaja terjebak di tubuh yang salah.
Kisah perjalanan hidupku mencari hikmah dalam kelainan fisik ini akan ku ceritakan kepada kalian. Semoga bisa jadi inspirasi dan renungan diri bagi kalian yang juga mendapatkan permasalahan hidup atau perlakuan sama sepertiku. Oh ya, aku menulis ini sekarang sedang di depan kaca kamarku, melihat diriku yang di usia 22 Tahun terjebak di tubuh 60 Tahun. Kelihatan ganteng juga loh!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H