Tiba-tiba bayu menyahuti setelah menengok ke bawah kursi melihat ada tumpukan nasi setengah giIing ada di bawah jok kursiku.
“Allah swt” teriakku.
“Maaf Ian? Mualku gak bisa di tahan” ucap Yayuk dengan mata berlinang air bukan karena sedih tapi efek muntah.
Aku tersenyum ke arah Yayuk, mahasiswi yang terkenal cantik. Bahkan teman sejurusanku ilmu politik angkatan 2010, hampir semuanya naksir dia.
“Tahu Yayuk muntah, kamu kok diam ae toh Fid!”
Bayu yang menengok ke belakang dengan posisi sama sepertiku kesal kepada Fida yang cuman diam sambil megangi pundak Yayuk.
“Diam katamu!?, Matamu kemanain Yu. Gak lihat ini lagi mijetin pundak Yayuk” sahut Fida dengan mata melotot ke arah bayu.
“Sudah!, perkara muntah aja ribut. Penting Yayuk gak apa-apa” ucapku melerai berdebatan mereka berdua sambil membalikkan badan ke arah depan untuk duduk. Begitu juga Bayu ikut membalikkan badan untuk duduk sepertiku.
Tak lama, setelah kejadian gilingan nasi tercecer akibat muntahan Yayuk, mobil berhenti tepat di sebuah gapura ekstetik cerminan budaya hindu dengan dua patung semar yang di atasnya bertuliskan “Desa Budaya Sriwiti”. Tapi ada yang aneh dari kedua patung itu, berasap wangi kemenyan seperti habis di sembahyangi.
“Nyampek Yu?” tanyaku saat mobil berhenti.
“Udah, ayo turun kabeh” jawab Bayu sambil mengajak semuanya untuk turun.