"Itu hakku, jangan kalian larang aku memberikan kebaikkan pada kampung ini!" Sahut Naga membentak tiga pemuda itu.
Mendengar bentakan Naga, tiba-tiba tanpa ada peringatan salah satu pemuda menyerangnya dengan sebuah pukulan yang mendarat tepat di wajah Naga, ia tersungkur jatuh di tengah jalan kampung.
Naga bangun dari jatuhnya membalas pukulan itu dengan tendangan. Pertarungan pun terjadi antara Naga dan tiga pemuda itu. Tendangan, pukulan dan berbagai jurus silat Naga pratikkan untuk melawan. Tak lupa ia juga menghindari setiap serangan dari tiga pemuda itu.
Kewalahan Naga menghadapi, nafasnya ngos-ngosan, nampak juga sedikit lebam di wajahnya. Ia mundur sejenak, berhenti dari pertarungan untuk mengambil nafas sembari waspada akan serangan yang ia terima.
"Tangguh juga tiga pemuda ini" pikirnya, disela kewaspadaan atas serangan.
Naga mulai lagi pertarungan, maju merangsek ke depan, melompat, melayang di udara dengan sebuah tendangan. Turun dari lompatan, terdengar suara seperti udara terbela "wusssh", jemari tangan mengempal kuat penuh dengan amarah, ia mulai menghabisi tiga pemuda itu dengan pukulan demi pukulan yang di daratkan di seluruh tubuh mereka.
Naga juga menghindar, tak jarang pula menangkis setiap pukulan dengan tangan yang kuat dari tiga pemuda itu. Sampai akhirnya, Naga menang melawan tiga pemuda anak buah Rontek yang sudah dibuat tersungkur di tanah, di tengah jalan kampung.
Lantas tiga pemuda itu bangun, berdiri, mengancam Naga untuk membuat perhitungan. Mereka berlari kembali ke padepokan tempat Rontek bermarkas yang tak jauh dari kampung.
Seusai pertarungan dengan tiga pemuda anak buah Rontek, Naga melanjutkan kembali perjalanannya pulang ke padepokan kakeknya. Ia keluar kampung, menyusuri sungai yang berada di depan kampung.
Melewati satu dan dua kampung ditengah cahaya rembulan yang terang menerangi langkah kakinya. Naga memang selalu berjalan kaki saat pergi ke kampungnya untuk mengajar silat dan ngaji. Ia terus berjalan, sampai akhirnya, Naga telah sampai di padepokan kakeknya Ki Asmoro setelah melewati dua kampung.
Dalam padepokan, nampak kakeknya duduk bersandar pada sebuah kursi kayu yang di depannya ada meja berukir indah.