Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari masyarakat, mulai dari sifat-sifat dan perilaku sosial hingga berbagai aspek kehidupan yang berkembang di dalamnya. Sebagai cabang ilmu sosial, sosiologi berfokus pada bagaimana masyarakat terbentuk, berinteraksi, dan mempengaruhi kehidupan individu maupun kelompok. Ilmu ini pertama kali diperkenalkan oleh ilmuwan asal Prancis, Isidore Auguste Comte, yang kemudian dijuluki sebagai "Bapak Sosiologi." Pemikiran Comte membuka jalan bagi para ilmuwan lain untuk mengembangkan sosiologi sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Salah satunya adalah Emile Durkheim, seorang ilmuwan sosial dari Prancis, yang berhasil melembagakan sosiologi sebagai disiplin ilmu akademik yang diakui. Selain itu, Max Weber dan Karl Marx, ilmuwan dari Jerman, juga memiliki kontribusi penting. Max Weber dikenal dengan teori birokrasinya, yang membahas tentang struktur dan organisasi dalam masyarakat, sementara Karl Marx terkenal dengan teori konflik sosialnya, yang menyoroti ketimpangan dan perjuangan kelas dalam masyarakat.
Sosiologi sebenarnya memiliki akar yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu, di mana pemikiran tentang masyarakat dan interaksi sosial telah mulai berkembang. Salah satu tokoh awal yang dianggap sebagai peletak dasar pemikiran sosiologi adalah Ibnu Khaldun, seorang cendekiawan dari dunia Islam yang hidup pada abad ke-13. Ibnu Khaldun mengemukakan gagasan-gagasan tentang bagaimana masyarakat terbentuk, mengalami perubahan, dan mengembangkan struktur-struktur tertentu. Meski pemikiran ini menjadi dasar, sosiologi sebagai ilmu formal yang mempelajari masyarakat sebagai kumpulan individu yang terorganisir baru benar-benar berkembang beberapa abad kemudian, khususnya di Eropa pada abad ke-18.
Pada awal abad ke-18 hingga abad ke-19, Eropa menjadi pusat kemajuan dan perkembangan peradaban baru, sering disebut sebagai "new civilization in the world". Di masa ini, perubahan-perubahan besar, seperti Revolusi Industri dan kemajuan dalam ilmu pengetahuan, memunculkan dinamika sosial yang lebih kompleks. Kondisi-kondisi ini mendorong para ilmuwan sosial untuk mengamati dan memahami perubahan dalam masyarakat. Mereka mulai menyadari pentingnya ilmu yang khusus mempelajari pola, struktur, dan proses dalam kehidupan sosial. Para ilmuwan sosial pada masa itu juga berupaya mengembangkan teori-teori sosial yang berdasarkan pada karakteristik dan esensi dari setiap tahap perkembangan masyarakat. Mereka tidak hanya tertarik pada bagaimana masyarakat berubah, tetapi juga pada prinsip-prinsip dasar yang mendasari interaksi sosial, hubungan kekuasaan, dan organisasi dalam komunitas manusia. Pemikiran-pemikiran ini menjadi fondasi bagi sosiologi modern, yang kemudian tumbuh sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri dan berkembang hingga saat ini.
Istilah "sosiologi" berasal dari kata Latin socius, yang berarti teman, dan logos dari bahasa Yunani yang artinya cerita atau berpikir secara ilmiah (logic). Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857) dalam bukunya Cours De Philosophie Positive. Di dalam buku tersebut, Comte memperkenalkan konsep yang disebut sebagai "hukum tiga tahap" (Law of Three Stages), yang menjelaskan perkembangan intelektual manusia melalui tiga tahapan yang saling berkaitan dan berkembang secara bertahap.
Pertama, tahap teologis, di mana manusia meyakini bahwa semua benda di dunia memiliki jiwa atau ruh. Pada tahap ini, pemikiran manusia dipengaruhi oleh keyakinan bahwa segala sesuatu di dunia ini diatur oleh kekuatan supernatural atau kekuatan adikodrati yang berada di luar kendali manusia. Hal ini membuat manusia melihat dunia dari sudut pandang yang penuh mitos dan kepercayaan akan kekuatan gaib.
Kedua, tahap metafisis, di mana manusia mulai mencari makna di balik setiap gejala melalui konsep-konsep abstrak, meski belum mencapai pemahaman ilmiah. Pada tahap ini, manusia percaya bahwa di dalam setiap peristiwa ada kekuatan atau energi tertentu yang bersifat tetap, dan mulai muncul anggapan bahwa ada realitas yang mendasari cita-cita dan kepercayaan. Namun, manusia belum berupaya menemukan hukum-hukum alam yang universal atau seragam.
Ketiga, tahap positif atau tahap ilmiah, di mana manusia mulai memandang dunia dengan cara berpikir ilmiah dan empiris. Di tahap ini, pemikiran manusia mengedepankan pendekatan positif, atau filsafat positivisme, yang berfokus pada hal-hal yang nyata, pasti, dan dapat diuji secara empiris. Pada tahap ini, manusia tidak lagi hanya bergantung pada mitos atau konsep abstrak, tetapi lebih berusaha memahami hukum-hukum alam yang terukur dan bermanfaat bagi kehidupan.
Melalui ketiga tahap ini, Auguste Comte menggambarkan perjalanan pemikiran manusia dari yang bersifat mistis hingga ke pola pikir yang rasional dan ilmiah, yang menjadi dasar bagi perkembangan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan.
Auguste Comte membedakan dua jenis analisis dalam sosiologi: sosiologi statis dan sosiologi dinamis. Sosiologi statis berfokus pada hukum-hukum dasar yang menjadi pondasi dari keberlangsungan masyarakat. Dalam pendekatan ini, sosiologi mempelajari elemen-elemen tetap yang menjaga kestabilan dan keteraturan dalam kehidupan sosial. Sementara itu, sosiologi dinamis lebih menyoroti proses perkembangan masyarakat, yaitu bagaimana masyarakat mengalami perubahan dan kemajuan secara bertahap. Melalui sosiologi dinamis, Comte mengkaji dinamika sosial dalam konteks perubahan dan transformasi, dengan tujuan memahami bagaimana pembangunan sosial dapat mendorong masyarakat ke arah yang lebih maju. Jadi, kedua pendekatan ini statis dan dinamis melengkapi satu sama lain dalam menjelaskan tidak hanya struktur yang stabil dalam masyarakat, tetapi juga proses perubahan yang terus terjadi.
Pada abad ke-20, pandangan filsafat positivisme dari Auguste Comte mulai menerima banyak kritik dari para pemikir dan ahli lain, yang melihat beberapa kelemahan dalam pendekatan ini: