Mohon tunggu...
Syaripudin Zuhri
Syaripudin Zuhri Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar sampai akhir

Saya senang bersahabat dan suka perdamaian. Moto hidup :" Jika kau mati tak meninggalkan apa-apa, maka buat apa kau dilahirkan?"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Efek Jokowi Sampai Juga Ke Moskow

11 April 2014   17:15 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:48 2883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Di TPS Moskow pemilihan suara dilakukan pada tanggal 4 April 2014, sedangkan perhitungan suaranya tanggal 9 April 2104. Foto; Syaripudin Zuhri"][/caption]

Apa saya bilang? Benar kan, bahwa Jokowi "yes", PDIP-nya  "no" , "PDIP-nya "nanti dulu", PDIP-nya "pikir-pikir dulu". Itu Saya katakan di beberapa tulisan saya sebelumnya atau di beberapa jawaban dari komen-komen teman-teman yang menjagokan PDIP. Ternyata benar adanya, PDIP bisa "keok" kalau tak ada Jokowi, walau tak signifikan, tapi Jokowi mampu "menyelamatkan" suara PDIP di hitungan cepat dari berbagai lembaga survei dan rata-rata berkisar suaranya di antara 18-20 persen, jauh dari targetnya yang 27 persen dan sangat jauh dengan elektebilitasnya Jokowi yang dalam survei-survei selalu di tempat teratas dengan kisaran 36-40 persen.

"Kejomplangan" ini sangat terlihat nyata, ternyata PDIP bukan partai-partai yang "unggul", ya partai "biasa-biasa saja" bukan sesuatu yang luar biasa. Jadi para pemilih lebih melihat Jokowi-nya, bukan PDIP-nya. Lalu gimana dengan nasib Jokowi selanjutnya, yang keberadaannya ternyata hanya " palsu" belaka, hanya menang "di udara" saja. Kemenangan sebanyak-banyaknya seperti yang dikampanyekan oleh Jokowi, "tak terbukti". Jauh dari target, jauh dari harapan, walau tetap mendapat suara terbanyak, tapi tidak mutlak, "rata-rata air saja" bukan "memang telak".

Dengan demikian PDIP harus berkoalisi, yang menurut Jokowi istilah tersebut hanya "bagi-bagi kursi menteri", istilah yang dipakai Jokowi untuk koalisi adalah "kerja sama", walau substansinya "sama-sama wae", "itu-itu juga". Kesombongan Jokowi, loh kok sombong? Itu terlihat ketika Jokowi didesak mundur oleh Gerindra menjadi Gubernur DKI Jakarta,  Jokowi bilang, " Itu urusan gue," dengan nada tinggi.

Kesombongan Jokowi terjawab dengan tak signifikannya suara PDIP, walau Jokowi sudah menjadi "media darling" dalam waktu berbulan-bulan, apa pun tantang Jokowi menjadi berita, dari sepatunya yang bolong sampai blusukannya, dari bajunya yang "itu-itu' juga, baju putih lengan panjang dengan celana hitam, yang "tak sesuai" dengan ketika kampanye di Pilkada DKI, baju kotak-kotak.

Yang "herannya' simbol baju kotak-kotak tidak digunakan, yang waktu di Pilkada DKI katanya melambangkan "keberagaman", tapi yang digunakan baju putih, ya baju putih. Jokowi dan istrinya, Megawati dan kedua anaknya ketika mencoblos di TPS masing-masing menggunakan baju putih, padahal itu simbolnya PKS. Kenapa Megawati dan Jokowi tidak pakai baju merah, simbol partai mereka? Mengapa justru putih? Ini yang mengherankan. Karena dalam kampanye warna itu "bersuara!", warna itu memegang simbol-simbol setiap partai.

Orang sudah paham kalau putih itu warnanya PKS, merah warnanya PDIP, kuning warnanya Golkar, Biru warnanya PAN atau PDIP, dan hijau warnanya PKB atau PPP. Jadi warna pegang "peranan' dalam simbolisasi sebuah partai dalam acara Pileg dan Pilpres. Dengan demikian menjadi suatu yang mengherankan ketika Megawati dan Jokowi ketika mencoblos tidak pakai warna merah, bukankah itu berarti "meninggalkan" simbol-simbol yang mereka miliki. Maka jadilah PDIP, partai tempat mereka bernaung, hasil kemenangan biasa-biasa saja, tidak seperti yang diharapkan dan tidak seperti yang diprediksi oleh para pakar.

Yang naik justru PKB atau partai partai Islam lainnya, yang menurut survei-survei diperkirakan hanya akan mampu bertahan di kisaran 3-4 persen saja, tapi itu "dipatahkan" dengan perhitungan cepat, di mana partai-partai Islam kisarannya justru 200 persen atau dua kali lipat dari perkiraan para pakar yang "keblinger", apa lagi pakar dari Barat, yang sengaja memojokkan partai Islam, agar suara mereka hilang dan terhapus dari perpolitikan nasional, dengan cara mengembar-gemborkan partai Islam tak akan mampu mencapai ambang batas Pileg, kecuali PBB yang masih terseok-terseok, sejak pendaftarannya, dan saat disahkan menjadi partai yang berhak ikut Pemilu dengan verifikasi yang jitu, tapi hasilnya tak signifikan dengan upaya PBB, itulah politik.

[caption id="" align="aligncenter" width="381" caption="PKS yang mentargetkan 3 besar dalam Pileg,dalam hitungan semantara tercapai di Moskow. Ilustrasi: kokopks.web.id"]

13971855811078333005
13971855811078333005
[/caption]

Bagaimana selanjutnya? Perkiraan para pakar dengan surveinya yang "jungkir balik" telah membuat peta perpolitikan setelah Pileg dan menuju Pilpres, menjadi ikut "jungkir balik". Partai-partai politik menjadi "menghitung ulang". Partai-partai yang berbasis Islam, yang tidak disukai sebagian orang, ternyata eksis dan menunjukkan "kekuatannya" khususnya PKB, yang meraih sekitar 9 persen dalam hitungan sementara. PKS yang sengaja" dibomardir" dengan kasus "daging sapi" tetap eksis, dan tak tersingkir dari ambang batas, walau target tiga besarnya secara nasional tidak tercapai.

Namun di TPS Moskow, PKS target tiga besarnya tercapai. Jadi PKS menempati urutan pemenang sementara ketiga, setelah PDIP sebagai pemenang pertama, dan Gerindra pemenang kedua. PDIP sementara memperoleh 83 suara, Gerindra 22 suara, dan PKS 21 suara. Jadi PKS dan Gerindra hanya selisih satu suara saja di TPS Moskow! Partainya lainnya berturut-turut mendapat suara sebagai berikut: PD 10 suara, PAN dan PKPI masing-masing 8 suara, Golkar, PPP dan PBB 5 suara, Nasdem 4 suara, PKB 3 suara dan yang paling kasihan adalah Hanura tak mendapat suara alias kosong, nol, tak ada yang memilih! Dan suara tak sah adalah 11 suara.

Dengan perolehan Hanura yang kosong alis tak ada satu pemilih yang memilih, maka muncul ungkapan yang menarik "TPS Moskow tak punya hati nurani", karena tega-teganya Hanura diganjar nol, kosong, tanpa suara satu pun. Kalau pakai bahasanya Rhoma Irama" terlalu!" Ya keterlaluan para pemilih di TPS Moskow, karena tak satu pun orang memilih Partai Hanura! Boleh dikatakan" unik", dari 185 suara yang digunakan, tak satu pun orang memilih Partai Hanura, bahkan Hanura kalah telak dengan suara tidak sah, 0:11! Bayangkan... para pemilih di TPS Moskow "lebih suka" atau "lebih senang" suara itu menjadi tidak sah, ketimbang diberikan pada Partai Hanura.

[caption id="attachment_302748" align="aligncenter" width="203" caption="Jokowi efek sampai juga ke Moskow, walau tak sesuai harapan dengan targetnya. Bagiaman nasib Jokowi selanjutnya? Ilstrasi: pewarisnusantara.com"]

13971930092006198433
13971930092006198433
[/caption]

Bayangkan lagi dalam suara yang  tidak sah itu ada berbagai macam tipenya, ada yang surat suaranya tidak dibuka, langsung dicoblos, maka kedua belas partai tersebut tertusuk semuanya, ada yang menusuk tiga gambar partai atau dua partai sekaligus, sehingga ada istilah" pemilih polygami, ada-ada saja! Ada yang kertasnya dibiarkan kosong, loh jadi buat apa datang? Kalau sudah datang, sudah repot-repot antri, masuk ke bilik suara, lalu kertas suaranya dibiarkan kosong, itu kan sama juga "penganting baru', ada pengantinnya, ada pestanya, namun ketika sang pengantin sudah menyiapkan segalannya, eh... dibiarkan begitu saja, tak "dicoblos", kan "mubajir".

Itulah keragaman manusia, di TPS Moskow terlihat itu, dan karena di TPS Moskow juga gambaran masyarakat Indonesia, keberagamannya sangat terlihat. Sehingga dalam perhitungan suara terlihat nyata dan tak jauh berbeda hasilnya dengan perhitungan cepat sementara dalam skala nasional di Indonesia. Hanya bedanya yang masuk tiga besar di TPS Moskow adalah PDIP, Gerindra, dan PKS, sementara dalam skala nasional dalam hitungan sementara tiga besarnya adalah PDIP, Gerindra, dan Golkar.

Dengan demikian ramainya Pileg dalam skala nasional, juga terasa di TPS Moskow, sehingga ketika perhitungan suara tanggal 9 April 2014 itu menjadi ramai dan seru, mengapa? Karena ketika petugas membacakan partai tertentu dan suaranya sah, kalau  yang menyaksikan itu adalah partainya, mereka teriak, kegirangan. Namun kalau yang disebut bukan nama partai "jagoannya"nya, diam. Yang unik bila disebut PDIP, mereka teriak "Simkrasok", apa itu? Itu tempat para TKI atau TKW yang bekerja sebagai pemijat dari Bali, maka tak heran bila PDIP kali ini menang di TPS Moskow karena jumlah TKW dan TKI dari Bali itu jumlahnya ratusan, itu pun tak datang semuanya, kalau datang semuanya suara PDIP di TPS Moskow akan lebih dari ratusan suara. Kali ini di TPS Moskow PDIP menang, karena dalam dua kali pemilu sebelumnya yang menang Partai Demokrat.

Sekarang kita masih menunggu hasil resmi dari KPU, namun biasanya dari pengalaman, hitungan cepat tak jauh bedanya dengan hasil resmi dari KPU. Kita ucapkan "selamat" bagi partai pemenang dan kita ucapkan "selamat" bagi para petugas di TPS mana pun, baik yang berada di dalam negeri maupun yang di luar negeri, mereka semua telah bekerja untuk kebaikan negara ini, Indonesia tercinta. Alhamdulillah Pileg berlangsung dengan damai, tak ada korban yang sampai" bunuh-bunuhan". Rakyat semakin cerdas, sehingga pemilu berjalan lancar dan sukses.

Semoga di Pilpres 9 Juli 2014 pun demikian hendaknya. Jangan lupa Pemilu itu berasaskan LUBER dan Jurdil (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil). dengan keenam asas ini, semoga Indonesia benar-benar menjadi negara yang demokratis, negara yang menghargai perbedaan pendapat. Partai boleh beda warna, simbol partai boleh warna-warni, caleg juga boleh dari kalangan macam-macam, capresnya pun boleh sifat dan dengan waktak yang berbeda, tapi semuanya punya tujuan yang sama, yaitu menggapai Indonesia yang lebih baik, lebih maju, lebih sejahtera dan menjadi salah satu kekuatan dalam percaturan politik dunia, sehingga Indonesia benar-benar menjadi negara besar, yang bukan hanya dalam jumlah penduduknya, luas pulaunya dan banyak pulaunya, tapi juga besar dalam kualitasnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun