Menikah tidak hanya menghalalkan apa yang diharamkan, lebih dari itu, menikah harus mempersiapkan mental, biologis, finansial dan masih banyak lagi. Proses menikah itu adalah saling memantaskan diri, supaya kita tidak hanya berharap pasangan melengkapi kita saja. Melainkan kita sama-sama saling melengkapi satu sama lain (bahagia atas bahagianya kita) atau yang disebut bahagia setara. Selain itu juga saling mengawal cita-cita bersama.
Menikah usia muda dengan alasan takut berzina akan berpotensi melahirkan anak-anak yang tidak terdidik dan memungkinkan berujung pada spektrum kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Lantaran, kedewasaan intelektual dan kematangan berpikir sangat dibutuhkan untuk membina keluarga.
Bagi saya, menikah bukan soal umur tetapi kesiapan seperti yang telah saya bahas pada paragraf sebelumnya. Perlunya pemaknaan ulang atas kampanye nikah muda, tidak hanya dimaknai sebagai solusi atas kepanikan moral yang dialami negara dan agama.
Semua orang bebas memilih hidup di jalannya masing-masing. Nikah muda tidak melulu diasosiasikan ke dalam ranah buruk, begitupun dengan nikah tua. Tidak perlu hanyut dengan budaya yang terbentuk dari konstruksi sosial atau kerap disebut ikut-ikutan standar orang lain.
Sekali lagi, melalui tulisan ini saya tidak ingin menjadi manusia yang nantinya paling siap menikah, Tapi setidaknya saya ingin mengajak untuk sama-sama memberikan ruang untuk berpikir bahwa kehidupan rumah tangga tidak semudah membalikkan tangan.
Â
Referensi
BKKBN Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi, Pendewasaan Usia Perkawinan dan Hak-Hak Reproduksi bagi Remaja Indonesia Perempuan. Jakarta: 2010.
Tsamrotun Kholilah. Analisis Hukum Islam terhadap Pandangan Ahli Medis Tentang Usia Perkawinan Menurut Pasal 7 ayat 1 & 2 UU No.1 tahun 1974. Skripsi, tidak diterbitkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H