Mohon tunggu...
Vio Anantadeva
Vio Anantadeva Mohon Tunggu... Lainnya - Siswa

Siswa Kolese Kanisius

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Senjata Generasi Stroberi: Orang Tua dan Kasus Safegurading di Sekolah

8 November 2024   23:20 Diperbarui: 23 November 2024   21:37 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Kalau ada yang macem-macem sama anak-anak, bisa-bisa langsung terjerat Komnas HAM terus berjumpa dengan Kak Seto hari esoknya!” Ucapan tersebut menjadi awang-awang yang menghantui kegelisahan banyak orang, khususnya dalam lingkup interaksi dengan anak-anak. 

Orang tua menjadi garda terdepan yang melindungi anaknya dari segala bahaya yang mengancam. Saat seorang anak terlibat dalam suatu kasus, maka orang tua juga pasti memiliki campur tangan dalam membantu penyelesaian permasalahan. Dalam kondisi tertentu, mereka tidak segan untuk membawa suatu kejadian atau konflik yang sedang dialami hingga ke konteks pihak berwenang, bahkan ranah hukum atau pengadilan. 

Tanpa mediasi ataupun komunikasi antar kedua pihak, terkadang orang tua serba menuntut orang yang bersangkutan tanpa melihat akar masalah secara menyeluruh. Apakah sebenarnya perlindungan yang diberikan orang tua hanya dipakai untuk menjadi senjata makan tuan pihak yang dianggap merugikan ananda?

Munculnya Generasi Stroberi

Dalam beberapa tahun terakhir, istilah "generasi stroberi" semakin sering digunakan untuk menggambarkan generasi muda yang dinilai rapuh dalam menghadapi tekanan dan tantangan hidup. Generasi ini disebut seperti buah stroberi karena tampak menarik dari luar, namun mudah hancur ketika menghadapi masalah. Salah satu faktor yang mendukung terbentuknya karakteristik ini adalah peran orang tua yang cenderung terlalu protektif terhadap anak-anak mereka.

Pada era modern, fenomena ini semakin tampak seiring dengan berjalannya kehidupan masyarakat. Salah satunya lingkup yang muncul adalah pendidikan. Dalam konteks akademik, fenomena ini kerap dipandang dalam ranah yang lebih luas, yaitu konsep “safeguarding”, sebagai upaya orang tua untuk melindungi anak dari pengalaman atau interaksi yang dinilai membahayakan. 

Hal ini didasari pada pola pendampingan yang terlalu mencampuri urusan anak hingga memberi kesan "tangan bersih" dalam menghadapi suatu permasalahan yang muncul. Orang tua yang cenderung overprotektif justru menciptakan pola asuh yang melindungi anak secara berlebihan, sehingga membatasi kesempatan anak untuk melatih kemandirian dalam menyelesaikan permasalahan yang dialami.

Dampak Isu Safeguarding

Fenomena safeguarding yang berlebihan dalam dunia pendidikan seringkali menyebabkan efek berantai pada kehidupan anak-anak maupun pendidik. Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menunjukkan bahwa hingga 15% kasus pelaporan terhadap pendidik terjadi akibat kesalahpahaman atau ketakutan orang tua yang berlebihan terhadap metode pengajaran guru yang tegas. 

“Orang tua di era modern cenderung menilai perilaku disiplin atau teguran sebagai bentuk tindakan yang melampaui batas, meskipun dalam konteks pendidikan tindakan tersebut masih dalam koridor yang benar.”

Akibatnya, para pendidik menjadi lebih berhati-hati dalam bertindak, bahkan terkadang menghindari penegakan disiplin demi menghindari risiko pelaporan. Secara tidak sadar, situasi ini adalah berkurangnya ruang bagi anak-anak untuk belajar menghadapi konsekuensi dan membentuk karakter yang tahan banting. 

Hal ini diperburuk dengan maraknya kasus pengangkatan jabatan para pendidik karena terjerat pelaporan “safeguarding”. Guru, yang dijuluki sebagai “orang tua dari rumah kedua", juga sering menjadi korban dari tuntutan orang tua yang ingin melindungi anaknya. Dalam banyak kasus, keberpihakan dan bias orang tua dapat membuat posisi orang yang bersangkutan menjadi sangat terpojok, serta menyebabkan kerugian yang berkepanjangan bagi orang yang dianggap "membimbing" anak dengan cara yang salah.

Situasi ini menciptakan ketidakpastian dalam lingkungan pendidikan. Para pendidik merasa khawatir saat memberikan konsekuensi yang dimaksudkan untuk mendisiplinkan siswa. Kasus tersebut memberikan gambaran jelas bahwa safeguarding yang berlebihan membatasi ruang pendidik untuk menerapkan nilai-nilai yang penting dalam pembentukan karakter. Dalam lingkungan semacam ini, anak-anak tidak memiliki kesempatan untuk belajar dari kesalahan dan menghadapi konsekuensi dari perbuatannya. Sebaliknya, mereka menjadi terbiasa dengan intervensi orang tua yang selalu siap mengambil alih situasi ketika mereka merasa kurang nyaman atau menghadapi kritik. 

Penelitian dari Universitas Indonesia (UI) memperkuat kesimpulan ini dengan menunjukkan bahwa intervensi berlebihan dari orang tua di sekolah menurunkan efektivitas pendidikan karakter, terutama dalam aspek ketangguhan dan disiplin. Dalam studi tersebut, sebanyak 55% anak dari orang tua yang overprotektif mengaku sering mencari bantuan pihak eksternal setiap kali menghadapi masalah, baik dalam lingkungan akademik maupun pribadi.

Kasus safeguarding yang berlebihan ini mengindikasikan terjadinya pergeseran pola asuh yang awalnya dimaksudkan untuk melindungi, justru berakhir menjadi masalah berkebalikan. Survei oleh Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta menyebutkan bahwa anak-anak yang terus-menerus dilindungi dari konsekuensi akan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan bertanggung jawab dan menghadapi kesulitan secara mandiri. 

Tercatat sebanyak 68% siswa yang dibesarkan dalam lingkungan yang overprotektif akan  mengalami kesulitan dalam mengelola emosi ketika menghadapi tantangan sosial, baik di lingkungan sekolah maupun dalam lingkungan profesional di kemudian hari.

Orang Tua sebagai Pemeran Utama

Fenomena safeguarding menunjukkan bahwa sifat atau perilaku yang tampaknya baik pada awalnya, seperti menjaga dan melaporkan orang yang dianggap menyakiti buah hati, justru bisa berdampak negatif. 

Sebagai contoh, studi fakultas psikologi yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) menemukan bahwa self-esteem boosting atau pemompaan harga diri yang dilakukan oleh orang tua dalam konteks tertentu justru dapat membuat anak lebih rentan terhadap kegagalan. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa anak-anak yang terus-menerus diberikan pujian berlebihan cenderung mengalami penurunan harga diri yang signifikan ketika mereka dihadapkan pada suatu kegagalan. 

Interaksi yang terlalu dominan satu arah membuat anak-anak kurang siap dalam menerima kritik, yang justru membangun persepsi bahwa mereka tidak mampu mencapai standar yang diharapkan. 

Ketika anak terlalu sering menerima afirmasi dari lingkungan sosialnya, maka dia akan tumbuh dengan perasaan bahwa setiap tindakan yang diperbuat sudah benar adanya. Hal tersebut membuat anak sulit untuk memandang dari kacamata orang lain, serta serba lugas dalam bertindak tanpa memikirkan kerugiannya bagi orang lain. 

Pola didik yang tampaknya bermanfaat pada permukaannya, terbukti berdampak negatif karena menurunkan kemampuan anak untuk mengambil cara yang sesuai pada waktu yang tepat. Terjebak dalam kesulitan menerima kegagalan atau kritik, sehingga mereka cenderung menyalahkan faktor eksternal saat menghadapi masalah. Afirmasi yang asal terucap, tidak mendidik anak menjadi lebih kuat, melainkan menumbuhkan kerapuhan psikologis yang membuat mereka lebih rentan terhadap tekanan.

Sumber: Kompas
Sumber: Kompas

Melepas untuk membentuk

Dalam perspektif kebijakan sosial, lembaga-lembaga, seperti Komnas HAM, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), dan KPAI memiliki peran strategis dalam menciptakan keseimbangan antara perlindungan hak anak dan kesempatan bagi anak untuk tumbuh mandiri. Menurut Ketua LPAI (Kak Seto), yang disebut Sahabat Anak, orang tua tidak hanya berperan sebagai pendidik, tetapi juga sebagai pendamping yang mampu memahami perasaan dan kebutuhan anak.  

Penekanan bahwa orang tua harus mampu memahami kapan harus melindungi dan kapan harus memberi ruang bagi anak untuk menghadapi tantangan. LPAI, misalnya, dapat bekerja sama dengan sekolah untuk memberikan seminar dan pelatihan kepada orang tua mengenai pentingnya keseimbangan antara proteksi dan pengembangan karakter mandiri. Dengan cara ini, diharapkan orang tua tidak lagi terlalu cepat melaporkan tindakan disiplin dari pendidik yang sebenarnya bertujuan positif.

Layaknya pepatah yang mengatakan, “Akar yang kuat tidak tumbuh dari tanah yang lembut,” anak-anak butuh ruang untuk belajar bertanggung jawab dan merasakan tantangan, agar tumbuh mandiri dan tangguh. Biarkan mereka jatuh dan bangun, dengan orang tua sebagai pendamping setia di setiap langkahnya. Jika anak diberikan perlindungan sekaligus kesempatan untuk bertumbuh, maka kelak generasi muda akan menjadi individu yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga kuat dalam menghadapi berbagai tantangan hidup di masa depan.


Penulis : Vio Anantadeva 12-7 / 33

Sumber: 

Suharto, E. (2021). "Peran kebijakan perlindungan anak dalam konteks pendidikan di Indonesia." Jurnal Kebijakan Sosial dan Pembangunan, 8(4), 45-61.

Universitas Gadjah Mada (UGM). (2022). Self-Esteem and Resilience: The Psychological Impact of Overvalidation in Adolescents. Yogyakarta: UGM Press.

Universitas Indonesia (UI). (2023). "The impact of parental overprotection on child resilience in school settings." Journal of Child Development and Education, 12(1), 34-49.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun