Mohon tunggu...
Vio Alfian Zein
Vio Alfian Zein Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Pendidikan Sosiologi FIS UNJ

Hanya seorang mahasiswa yang gemar menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Belajar Sembari Berdampingan dengan Ketidaksetaraan: Sebuah Kajian Sosiologi tentang Problematika Sekolah Daring

4 Juli 2021   17:05 Diperbarui: 5 Juli 2021   20:18 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketidaksetaraan merupakan duri dalam masyarakat yang masih tetap eksis sampai saat ini, mulai dari gender, ekonomi, dan sosial. Di dunia pendidikan ketidaksetaraan juga dapat terjadi, mungkin terdengar sangat mustahil terlebih berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (1) yang berbunyi "Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan", terlebih sekolah merupakan sebuah sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa agar suatu negara memiliki sumber daya manusia yang unggul, kompeten, dan dapat berguna bagi bangsa dan negara.

Dari pernyataan berikut sudah sepantasnya ketidaksetaraan dalam dunia pendidikan harus dihapuskan. Namun pendidikan yang setara saat ini hanyalah utopia semata, nyatanya ketidaksetaraan tetap terjadi di mana saja, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Sekolah bukannya tidak mampu menciptakan pendidikan yang setara, akan tetapi sekolah yang justru menciptakan lingkungan pendidikan menjadi tidak setara.

Michael W. Apple dalam Hidayat (2011: 151) menyatakan dua gagasan pokok tentang sekolah, yang pertama sekolah dilihat sebagai arena yang terkait dengan berbagai institusi seperti ekonomi, politik, dan budaya sehingga sekolah melahirkan ketidaksetaraan. Dan yang kedua praktik ketidaksetaraan dipertahankan dan direproduksi oleh sekolah, hal tersebut tertuang dalam kegiatan sehari-hari di sekolah.

Ketidaksetaraan yang terjadi di lingkungan sekolah dapat dilihat berdasarkan gender, ekonomi, dan kelas sosial. Ketidaksetaraan berlangsung secara alamiah dan terjadi secara terus-menerus, sehingga banyak individu yang tidak menyadari bahwa hal tersebut merupakan suatu ketidaksetaraan. Tidak heran banyak individu yang melakukan ketidaksetaraan secara tanpa sadar bahwa mereka sedang menjadi pelaku dari ketidaksetaraan itu sendiri. Inilah yang membuat ketidaksetaraan sangat sulit dihilangkan di dunia pendidikan.

Contoh konkret ketidaksetaraan yang terjadi berdasarkan gender antara lain sebagai berikut. Perempuan lebih diremehkan dalam hal mata yang bersifat masukulin seperti olahraga, untuk itu mereka sangat diwajarkan jika tidak pandai dalam mata pelajaran olahraga. Hal tersebut juga berlaku sebaliknya, laki-laki juga diwajarkan jika tidak pandai dalam mata pelajaran yang bersifat feminim seperti tata boga atau akuntansi.

Selain itu murid perempuan juga dipermasalahkan jika tulisannya tidak rapi atau berantakan, sementara laki-laki diwajarkan meskipun tulisannya tidak dapat dibaca. Tidak hanya disitu saja, saat menerima hukuman jika melanggar sesuatu, laki-laki lebih sering dikenai hukuman yang bersifat fisik seperti lari mengelilingi lapangan atau push-up dibandingkan perempuan.

Contoh lain adalah kalian pasti pernah merasa bahwa murid yang memiliki orang tua yang menempati jabatan tertentu atau kelas sosial yang tinggi pasti akan mudah saat mengurus administrasi atau hal-hal lain selama di sekolah. Selain itu jika mereka berbuat salah atau hal menyimpang lainnya biasanya hukuman yang diterima tidak terlalu berat. Berbeda jika yang melakukannya siswa biasa yang hanya orang tuanya karyawan swasta, tentu nasib yang diterima akan berbeda.

Ketidaksetaraan tidak hanya terjadi dalam administrasi ataupun kegiatan lain diluar pembelajaran. Ketidaksetaraan juga terjadi di dalam kegiatan pembelajaran, bukan secara pengetahuan dan materi, tetapi lebih terhadap akses dan fasilitas yang dimiliki. Tidak jarang bagi murid unggul secara akademik adalah murid yang memiliki kemampuan lebih secara ekonomi.

Meskipun pengetahuan yang diterima di sekolah sama, akan tetapi mereka memiliki kemampuan untuk mengikuti les atau bimbingan belajar diluar pembelajaran yang ada di sekolah. Hal tersebut yang membuat peringkat terbaik sering diisi oleh murid yang memiliki kemampuan yang lebih dalam hal ekonomi.

Ketiga contoh diataslah yang dimaksud oleh Michael W. Apple bahwa sekolah itu sendirilah yang menciptakan, melanggengkan, serta mempertahankan ketidaksetaraan yang ada di sekolah. Selama sekolah masih menjadi pelaku utama dalam melakukan praktik ketidaksetaraan, maka ketidaksetaraan dalam dunia pendidikan sangat tidak mungkin untuk dihilangkan.

Terlebih di masa sekarang ini yang mana merupakan era pandemi Covid-19. Pandemi Covid-19 sendiri telah terbukti merubah banyak perilaku masyarakat. Salah satunya adalah merubah masyarakat yang semula intensitas interaksi secara fisik sangat tinggi menjadi lebih digital yaitu berinteraksi secara maya, untuk mengurangi kontak fisik sebagai salah satu langkah dalam menanggulangi pandemi Covid-19.

Salah satunya adalah pendidikan yang bertransformasi menjadi lebih digital. Sekolah tidak lagi dilaksanakan secara tatap muka, karena sekolah-sekolah melalui keputusan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan  telah memberlakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau yang biasa disebut sekolah daring, sehingga peserta didik tidak perlu datang ke sekolah untuk melakukan pembelajaran.

Pembelajaran Jarak Jauh atau PJJ nyatanya tidak mengurangi permasalahan yang ada, malah tampaknya dengan adanya PJJ permasalahan yang ada justru semakin runyam. Jurang ketimpangan yang ada semakin besar dengan adanya PJJ ini, contoh secara makro adalah hanya sekolah-sekolah yang ada di kota-kota besar saja yang dapat melakukan PJJ.

Hal tersebut tentunya bukan hanya tanpa alasan. Menurut Ambarita (2021:3) pembelajaran secara online atau daring harus didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai, salah satunya adalah akses internet yang cepat. Bagi sekolah di kota-kota besar hal tersebut bukanlah masalah, namun bagi sekolah-sekolah yang ada di daerah tertinggal yang minim sarana dan prasarana tentu akan sangat sulit untuk direalisasikan.

Ketimpangan akibat pembelajaran jarak jauh tidak hanya memperburuk secara makro saja tetapi juga secara mikro yaitu peserta didik atau murid. Salah satu yang amat mudah dirasakan adalah ketimpangan ekonomi. Peralatan seperti internet yang memadai, laptop atau komputer, serta gadget yang mendukung, menjadi modal penting untuk melaksanakan kegiatan PJJ.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh (Purwanto et al., 2020), beberapa orang tua peserta didik mengeluhkan tentang biaya pembelian kuota internet yang membengkak akibat PJJ. Selain itu fasilitas yang tidak memadai serta minimnya kemampuan orang tua dalam memanfaatkan teknologi sehingga menimbulkan minimnya peran orang tua dalam mengawasi PJJ, juga menjadi keluhan yang utama bagi orang tua peserta didik.

Bagi peserta didik yang orang tuanya memiliki kemampuan lebih secara ekonomi tentu tidak perlu khawatir tentang permasalahan tersebut, namun bagi peserta didik yang orang tuanya berpenghasilan pas-pasan atau bahkan yang orang tuanya menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena pandemi Covid-19 tentu akan kesulitan untuk memenuhi fasilitas tersebut.

Ketidaksetaraan dalam pelaksanaan PJJ tidak saja hanya terhambat karena ketimpangan ekonomi, tetapi juga karena ketimpangan gender. Laki-laki dan perempuan tentunya akan mendapatkan perlakuan yang berbeda saat ada di rumahnya, terutama bagi keluarga yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai patriarki.

Ivan Illich (1998:80) menyatakan bahwa dengan tinggal atau berada di rumah, tentu setiap individu akan hidup berdampingan dengan alat-alat yang terikat dengan gender. Konstruksi keluarga membuat alat-alat yang ada di rumah mengalami genderisasi, sehingga menjadi alat yang terikat gender.

Bagi keluarga yang menjunjung tiggi budaya patriarki, alat seperti setrika, mesin cuci, atau kompor dan berbagai peralatan lain untuk memasak, selalu dikaitkan dengan perempuan. Laki-laki "diharamkan" untuk menyentuh peralatan tersebut, karena sejatinya itu hanya untuk perempuan dan ditugaskan kepada perempuan.

Hal inilah yang dapat menghambat murid perempuan dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran jika dilakukan secara daring di rumah masing-masing, terlebih jika keluarga mereka masih menjunjung tinggi nilai-nilai patriarki. Tidak jarang jam sekolah bertabrakan dengan kewajiban membantu pekerjaan rumah.

Fathima & Savitha (2021:76) menyatakan, ketika aggota keluarga atau asisten rumah tangga sedang mengurus seseorang yang sakit, maka anak perempuan diberi tanggung jawab untuk mengurus pekerjaan rumah, sehingga menyampingkan untuk menghadiri kelas. Tak jarang perempuan tertekan secara psikologis ketika menjalani pembelajaran jarak jauh.

Orang tua dan keluarga lainnya sudah sewajarnya untuk membantu anak dalam menjalani kegiatan pembelajaran di rumah. Jika orang tua bersifat supportive, tentu akan berdampak positif terhadap kesehatan mental anak. Jika mental anak sehat tentunya akan efektif dalam melaksanakan pembelajaran daring.

Daftar Pustaka

  • Buku

Ambarita, J., & Yuniati, E. (2021). PAK dan COVID-19: Problematika Pembelajaran PAK Daerah Tertinggal. Indramayu: Penerbit Adab.

Hidayat, Rakhmat. (2011). Pengantar Sosiologi Kurikulum. Jakarta: Rajawali Pers.

Illich, Ivan. (1998). Matinya Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

  • Jurnal/Penelitian Terkait

EV, F., & Savitha, E. (2021). Gendered Inequalities of Access: Online Classes in the Times of the Pandemic. Journal of Comparative Literature and Aesthetics, 44, 68-78.

Kuntari, S., & Hidayanti, N. (2021). Peran Keluarga Kelas Menengah dalam Pembelajaran Jarak Jauh di Era Pandemi Covid-19. EDISI, 3(1), 159-168.

Purwanto, A., dkk. (2020). Studi eksploratif dampak pandemi COVID-19 terhadap proses pembelajaran online di sekolah dasar. EduPsyCouns: Journal of Education, Psychology and Counseling, 2(1), 1-12.

  • Sumber-Sumber Lain

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun