Mohon tunggu...
Vio Alfian Zein
Vio Alfian Zein Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Pendidikan Sosiologi FIS UNJ

Hanya seorang mahasiswa yang gemar menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Belajar Sembari Berdampingan dengan Ketidaksetaraan: Sebuah Kajian Sosiologi tentang Problematika Sekolah Daring

4 Juli 2021   17:05 Diperbarui: 5 Juli 2021   20:18 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Salah satunya adalah pendidikan yang bertransformasi menjadi lebih digital. Sekolah tidak lagi dilaksanakan secara tatap muka, karena sekolah-sekolah melalui keputusan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan  telah memberlakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau yang biasa disebut sekolah daring, sehingga peserta didik tidak perlu datang ke sekolah untuk melakukan pembelajaran.

Pembelajaran Jarak Jauh atau PJJ nyatanya tidak mengurangi permasalahan yang ada, malah tampaknya dengan adanya PJJ permasalahan yang ada justru semakin runyam. Jurang ketimpangan yang ada semakin besar dengan adanya PJJ ini, contoh secara makro adalah hanya sekolah-sekolah yang ada di kota-kota besar saja yang dapat melakukan PJJ.

Hal tersebut tentunya bukan hanya tanpa alasan. Menurut Ambarita (2021:3) pembelajaran secara online atau daring harus didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai, salah satunya adalah akses internet yang cepat. Bagi sekolah di kota-kota besar hal tersebut bukanlah masalah, namun bagi sekolah-sekolah yang ada di daerah tertinggal yang minim sarana dan prasarana tentu akan sangat sulit untuk direalisasikan.

Ketimpangan akibat pembelajaran jarak jauh tidak hanya memperburuk secara makro saja tetapi juga secara mikro yaitu peserta didik atau murid. Salah satu yang amat mudah dirasakan adalah ketimpangan ekonomi. Peralatan seperti internet yang memadai, laptop atau komputer, serta gadget yang mendukung, menjadi modal penting untuk melaksanakan kegiatan PJJ.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh (Purwanto et al., 2020), beberapa orang tua peserta didik mengeluhkan tentang biaya pembelian kuota internet yang membengkak akibat PJJ. Selain itu fasilitas yang tidak memadai serta minimnya kemampuan orang tua dalam memanfaatkan teknologi sehingga menimbulkan minimnya peran orang tua dalam mengawasi PJJ, juga menjadi keluhan yang utama bagi orang tua peserta didik.

Bagi peserta didik yang orang tuanya memiliki kemampuan lebih secara ekonomi tentu tidak perlu khawatir tentang permasalahan tersebut, namun bagi peserta didik yang orang tuanya berpenghasilan pas-pasan atau bahkan yang orang tuanya menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena pandemi Covid-19 tentu akan kesulitan untuk memenuhi fasilitas tersebut.

Ketidaksetaraan dalam pelaksanaan PJJ tidak saja hanya terhambat karena ketimpangan ekonomi, tetapi juga karena ketimpangan gender. Laki-laki dan perempuan tentunya akan mendapatkan perlakuan yang berbeda saat ada di rumahnya, terutama bagi keluarga yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai patriarki.

Ivan Illich (1998:80) menyatakan bahwa dengan tinggal atau berada di rumah, tentu setiap individu akan hidup berdampingan dengan alat-alat yang terikat dengan gender. Konstruksi keluarga membuat alat-alat yang ada di rumah mengalami genderisasi, sehingga menjadi alat yang terikat gender.

Bagi keluarga yang menjunjung tiggi budaya patriarki, alat seperti setrika, mesin cuci, atau kompor dan berbagai peralatan lain untuk memasak, selalu dikaitkan dengan perempuan. Laki-laki "diharamkan" untuk menyentuh peralatan tersebut, karena sejatinya itu hanya untuk perempuan dan ditugaskan kepada perempuan.

Hal inilah yang dapat menghambat murid perempuan dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran jika dilakukan secara daring di rumah masing-masing, terlebih jika keluarga mereka masih menjunjung tinggi nilai-nilai patriarki. Tidak jarang jam sekolah bertabrakan dengan kewajiban membantu pekerjaan rumah.

Fathima & Savitha (2021:76) menyatakan, ketika aggota keluarga atau asisten rumah tangga sedang mengurus seseorang yang sakit, maka anak perempuan diberi tanggung jawab untuk mengurus pekerjaan rumah, sehingga menyampingkan untuk menghadiri kelas. Tak jarang perempuan tertekan secara psikologis ketika menjalani pembelajaran jarak jauh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun