Dalam pemahaman Stoa mengenai alam, segala sesuatu diatur oleh Logos, sehingga ada suatu keteraturan dan kemutlakan, demikian juga yang terjadi pada filsafat Stoa. Stoa percaya kepada takdir. Maka, jikalau seseorang ingin mencapai kebahagiaan, ia harus menyesuaikan diri dengan hukum alam (oikeiosis). Dengan menjadikan alam sebagai miliknya, ia dapat menyatukan kehendaknya dengan hukum alam. Di sinilah terletak suatu perbuatan yang baik.
Persatuan dengan alam membuat manusia menjadi bebas. Ia menjadi pribadi yang mandiri (autarkia). Dalam keadaan ini, manusia terbebas dari kebingungan dan keresahan (ataraxia dan apathia).Â
Dalam menyesuaikan diri dengan alam, dia tidak akan memperdulikan rasa nikmat atau sakit, semua harus dilalui. Maka, di sini Stoa menekankan kewajiban dalam menaati hukum alam.
Tujuan filsafat Stoa ialah agar manusia menjadi orang yang bijaksana (ho Sophos). Orang bijak akan merasakan ketenangan jiwa yang tak tergoncangkan (stoikal). Inilah yang diperlukan dalam hidup bermasyarakat. Dalam kehidupan nyata, orang bijaksana senantiasa bersikap baik kepada orang lain (eupatia).
Dalam filsafat Stoa terdapat pula ajaran yang humanis, yaitu kesederajatan semua orang. Hendaknya hak wanita diperlakukan sama dengan pria. Demikian juga dengan hak-hak para budak harus juga diperhatikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H