Mohon tunggu...
Vinsens Al Hayon
Vinsens Al Hayon Mohon Tunggu... Guru - Penyuluh-Guru

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Petrus dan "lidah"nya

8 April 2023   10:00 Diperbarui: 8 April 2023   10:23 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

PETRUS DAN "LIDAH"NYA

(Catatan reflektif  jelang PASKAH)

Oleh:  Al Hayon Vinsens

"Memang lidah tak bertulang." Ungkapan itu, dan jika didukung mulut yang ceriwis memungkinkan janji tidak selalu ditepati dan sumpah dengan mudah dilanggar. Kejadian ini persis seperti dalam paduan Kisah Injil Matius (Mat. 26:31-35) dan Kisah Injil Yohanes, (Yoh. 18:17-27), "Petrus akan menyangkal Yesus."

Bagi seorang filsuf  "Lidah dan mulut" dapat menjadi sumber inspirasi. Konon kisahnya; seorang Filsuf Yunani meminta pelayannya untuk menghidangkan baginya santapan paling lezat. Berpikir sejenak, kemudian pelayannya bergegas memilah-milah aneka daging yang tersedia dan ia memilih lidah. Segera diolahnya dan dihidangkan.

Setelah menikmati, sang filsuf memuji masakan pelayannya, kemudian bertanya. "Mengapa saudara memilih hidangan daging lidah bagi saya?" Singkat, jawaban si pelayan, "Karena hidangan ini mengingatkan saya, supaya dengan bijak menggunakan lidah. Lidah, di mana kata-kata dilontarkan hendaknya membawa hikmat, mengandung makna, berkat dan sukacita bagi orang lain. Kata-kata terucap hendaknya menghalau kesedihan, tidak membuat putus asah, dan mendatangkan keceriahan, tidak memfitnah tetapi memberi motivasi. 

Dari "lidah" lahir kerahamahan dan bukan kemarahan, dari lidah, tidak memicu aksi demo tetapi mendatangkan damai. Dari lidah, sesama diajak untuk doa dan bukan dihasut untuk jadi "hamba doi - duit" (uang)."             

Di lain waktu, Sang Filsuf meminta lagi pelayannya untuk menyiapkan hidangan. Si pelayan menyuguhkan lagi menu yang sama. Setelah dihidangkan si filsuf memandang makanan itu dan bertanya: "koq lidah lagi?"

Ia kemudian mencicipnya dan sontak mengatakan kepada pelanyannya: "Memang ini hidangan biasa, dan menurut saya tidak enak. "Mengapa siapkan menu makan ini lagi untuk saya? tanya si filsuf.

Jawab pelayan, "Karena daging lidah ini mengingatkan saya dan tuan, bahwa kita bisa memakai lidah untuk melontarkan kata-kata negatif, yang melukai hati, menghancurkan reputasi, menciptakan pertikaian, membuat kawan jadi lawan, membuat cinta menjadi benci, membuat persaudaraan menjadi permusuhan, bahkan membuat para penganut agama dan suku saling mendendam, keluarga dan bangsa berperang." Oh, seperti itu? Balas si filsuf sembari mengangguk. Kemudian ia bergumam: "Akankah kata-kata ini berdampak dan terjadi pada kehidupan" ?   

Mungkinkah para politisi zaman nanti akan menerjemahkan dalam ungkapan mereka: "Hari ini makan  apa, besok makan di mana dan lusa makan siapa? Akankah si sutradara akan membahasakan dalam scenario mereka. "Kita beri hidangan lezat untuk perut mereka, Kita kuasai perut mereka lalu besok dan seterusnya kita kuasai tidak hanya duit mereka tetapai hidup mereka."

Itulah makna lidah dan efeknya. Analogi dengan Petrus dan lidahnya atau ucapan mulutnya, bermula dari sini: Ucap Petrus: "Biarkan mereka semua tergoncang imannya karena Engkau, aku sekali-sekali tidak. Sekalipun aku harus mati bersama-sama Engkau, aku takkan menyangkal Engkau." (Mat. 26:33,35).

Kata-kata sumpah itu tidak bertahan dalam pendirian dan sikap Petrus. "Petrus telah menyangkalnya, dan penandanya adalah kokok ayam," (Yoh. 28:27).  Kisah dalam Matius dan Yohanes mengajak siapa pun kita berefleksi lebih jauh tentang Kisah Yesus di malam perjamuan itu dan pesan  Nabi Salomo jauh sebelum itu, bahwa "ada orang yang mulutnya seperti tikaman pedang, sementara lidah orang bijak mendatangkan kesembuhan"  (bdk. Amsal 12:18).

Pesan Salomo itu seperti mengharuskan orang-orang zaman ini, punya "lidah bijak". Lidah bijak ini tidak mengotori dirinya sendiri. Kata-kata terucap, tidak seperti tikaman pedang yang "merobek hati" dan "melukai daging" tetapi obat yang mnyembuhkan. Ucapan mulut harus bagai air sejuk penghilang dahaga.

Maka Amsal  (12:19-20) mengajak kita lagi untuk mampu mengontrol diri dalam berkata-kata. "Siapa yang mengatakan kebenaran, menyatakan apa yang adil. Tetapi siapa yang mengungkapkan saksi dusta dengan mulutnya, ia menyatakan tipu daya."

"Bibir yang mengatakan kebenaran, tetap untuk selamanya, tetapi lidah dusta hanya untuk sekejap mata. Orang yang dusta bibirnya adalah kekejian bagi Tuhan dan orang yang berkata benar tidak ditimpa bencana. Lidah lembut adalah pohon kehidupan, tetapi lidah curang melukai hati" (bdk. Amzal 12:19-21. 15:4).

Apabila lidah dan ucapan mulut kita sering tidak konsisten dengan realita, kita bercermin diri lagi pada kisah  "Yesus membasuh kaki murid-muridnya," (Yoh. 13:1-20). Yesus bersabda pada kisah itu: "Tidak semua kamu bersih." Karena itu seperti Petrus kita harus dibasuh, termasuk lidah dan mulut kita. Agar "jika pengikat lidah kita terlepas maka kita dapat berbicara, berkata-kata dengan baik" (bdk. Markus 7:34). Kata-kata kita menghadirkan persatuan, dan dengan demikian harapan dari doa Yesus terpenuhi: "Ut omnes unum sint." (Semoga mereka semua bersatu).***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun