Mohon tunggu...
Ananda Yuvino Putra Permadi
Ananda Yuvino Putra Permadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - is looking for and playing that role as magnificent as possible

.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Trilogi Dalam Proses Interaksi Sistem Politik Perwakilan: Makna, Komunikasi, dan Partisipasi

23 Desember 2022   08:15 Diperbarui: 23 Desember 2022   08:22 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah anda memikirkan betapa kompleksnya memahami hubungan wakil dan terwakil di tengah budaya politik transaksional hari ini? permasalahan hubungan antara wakil dan terwakil sebenarnya terjadi karena belum mampu memberikan makna dalam prosesnya sehingga proses ini terkadang sering dilupakan urgensitasnya. selain itu komunikasi juga menjadi pintu utama yang membuka pola interaksi dari satu individu ke individu lainya khususnya dalam tulisan ini yaitu hubungan antara wakil dan terwakil. namun ketika kita sudah dapat memaknai perwakilan politik semua itu tidak akan mampu diimplementasikan tanpa adanya partisipasi dari wakil dan masyarakat sesuai dengan peranya masing-masing yang saling bersinergi satu sama lain. oleh karena itu pemaknaan, proses komunikasi, dan partisipasi menurut penulis menjadi trilogi untuk membangun proses interaksi antara wakil dan terwakil yang efektif dan sinergis.

Pertama-tama dalam mengawali tulisan ini, mari kembali kita pahami arti serta makna yang terkandung dalam sistem perwakilan politik melalui kisah pasang dan surutnya sitem perwakilan dalam pemerintahan di berbagai belahan dunia. Pada awal mula keberadaan pemerintahan yang secara general dimulai dari masa Yunani kuno, pada masa itu masyarakat mulai mengenal apa yang disebut sebagai pemerintahan. Pada awalnya diprakarsai dengan keberadaan ilmu pengetahuan dan berbagai kepentingan masyarakat yang berkembang pesat, masyarakat mulai menyadari bahwa mereka membutuhkan suatu sistem yang memiliki tujuan utama untuk mencapai "kebaikan bersama", inilah jati diri pemerintahan yang sebenar-benarnya. Dengan memahami jati diri pemerintahan yang sebenarnya kita juga akan dapat memaknai arti dari keberadaan suatu pemerintahan dan berbagai unsur pembangunya terutama unsur keterwakilan politik yang dimana kehadiranya bukanlah lahir melalui pemaknaan yang dangkal. Kita memang tidak akan membahas sistem pemerintahan ataupun periodenisasinya secara komperhensif, akan tetapi diawal tulisan ini kita akan membahas sekilas mengenai kisah perkembangan dan urgensitas pola perwakilan global sebagai gambaran juga makna tersirat yang diharapkan dapat memunculkan pemaknaan tersendiri mengenai cita dan esensi dari sistem perwakilan politik di dalam tulisan essai popular ini.

Pada masa awal peradaban Yunani kuno, sistem pemerintahan dipelopori oleh para filsuf dan cendikiawan yang dianggap mumpuni memimpin sebuah bangsa. Selain itu legitimasi dibatasi dengan keberadaan kasta yang membedakan antara budak, orang asing, serta citizen. Dari keadaan inilah disadari bahwasanya sistem tersebut belum mampu melibatkan aspirasi sekaligus partisipasi seluruh masyarakatnya, oleh karena itu demi merealisasikan tujuan tersebut diterapkanlah sistem demokrasi langsung yang disadari ataupun tidak mengandung unsur perwakilan dalam keberlangsungan politik negara, hal ini ditunjukan dengan diterapkanya pembatasan pemberian hak demokrasi masyarakat yang hanya diwakili oleh para laki-laki dewasa untuk mewakili masyarakat melakukan proses demokrasi langsung yang diharapkan aspirasi pada saat itu tidak lagi terhegemoni hanya oleh orang-orang yang diangap sebagai filsuf karena masyarakat Yunani kuno pada saat itu menyadari betul bahwa masyarakat biasa juga memiliki aspirasi yang pantas untuk diperjuangan, bukanlah hanya para filsuf saja.

Setelah awal kelahiran sistem demokrasi sebagai sistem utama yang mampu mengkehendaki peran keterwailan dalam politik,  mayoritas bangsa dunia mengalami kembali fenomena transisi kekuasaan kearah yang otoriter. Tentu kita masih mengingat bagaimana pemerintahan di berbagai belahan negara pada masanya menerapkan sistem kerajaan monarki yang sangat ekslusif dengan membatasi partisipasi masyarakat untuk menentukan arah pemerintahan negara bangsa melalui seleksi secara biologis (keturunan/kekerabatan).    Memang otoritarianisme telah ada sebelum jaman Yunani dan Romawi, dan sistem ini mengakibatkan terjadi banyaknya kesewenang-wenangan di dalam kekuasaan yang terlalu kuat, contohnya salah satu kisah yang paling terkenal adalah kesewenang-wenangan Ketika masa kekaisaran romawi pada era raja Caligula pada tahun ke 37 sampai 41 masehi yang bertindak semena-mena dan menutup akses ruang keterlibatan atau keterwakilan masyarakatnya. masyarakat di berbagai belahan dunia mengalami masa penindasan hak asasi manusia karena sebagai bangsa yang hidup di negaranya ia tidak dapat berpartisipasi akibat keterbatasan ruang perwakilan masyarakat yang memang sering dengan sengaja diciptakan demi kepentingan kekuasaan monarki.

Menanggapi kesewenang-wenangan kekaisaran akhirnya munculah masa abad pertengahan yang ditandai dengan dogmatis gereja yang memang awalnya berjalan dengan cukup baik, akan tetapi sebagaimana yang telah dikatakan oleh Lord Acton "power tends to corrupt" dan muncul kecendrungan kekuatan yang berkuasa terlalu lama akan menjadi terlalu kuat sampai-sampai tak bisa lagi dikendalikan oleh kekuatan itu sendiri, barang kali itu yang menjelaskan secara ringkas dark ages terjadi karena memang periodenisasi abad kegelapan bukan menjadi fokus bahasan kita kali ini, namun pola perwakilan dapat kita pelajari di dalam era abad kegelapan dimana kekuasaan tidak menginginkan adanya kekuatan tandingan dengan cara meniadakan pengawasan dan perwakilan masyarakat di dalam otokrasi gereja, dan semua yang melawan bahkan hanya menyebarkan pendapat yang bertentangan dengan hukum gereja akan mendapatkan hukuman. Namun di abad pertengahan juga terdapat suatu gebrakan dalam sistem perwakilan dengan munculnya House of Lords di Inggris pada tahun 1801 yang masih berdiri sampai hari ini. Walaupun secara keanggotaan House Of Lords masih dianggotai hanya oleh keturunan bangsawan, namun Lembaga ini dianggap mampu mewakili keinginan masyarakat, Lembaga ini bahkan sempat berkonflik dengan kekuasaan raja tetapi tetap berhasil bertahan karena dukungan dari masyarakat khususnya masyarakat kelas menengah inggris, akhirnya House Of Lords mampu menekan kekuasaan raja saat itu dan menggagas dasar-dasar monarki konstitusional Inggris sesuai dengan keinginan masyarakat.

Keterwakilan politik mulai berkembang pesat seiring dengan perkembangan revolusi prancis yang berhasil menggulingkan monarki menjadi sistem demokrasi, adanya sistem demokrasi inilah yang kemudian mampu menghadirkan sistem perwakilan politik secara murni dan konsekwen, Memang tidak selalu, namun sekali lagi sejauh ini demokrasi merupakan format yang paling mampu melakukanya. Situasi ini didukung dengan berkembangnya gagasan Motesquieu (1748) mengenai sistem trias politica yang membagi pemerintahan kedalam 3 sektor utama yaitu Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Sistem legislative inilah yang kemudian menjadi pangkal dari pengejawantahan keinginan masyarakat di dalam sistem pemerintahan. Legislative di dalam iklim demokrasi adalah perpaduan sempurna yang memungkinkan keterlibatan masyarakat terdistribusi seluas-luasnya walaupun memang kini tidak lagi semudah itu, namun tetap kontribusinya masih berpengaruh hingga saat ini, wakil kita di parlemen yang dapat mengintervensi pemerintah bukanlah harus berasal dari golongan bangsawan ataupun terpilih atas klasifikasi khusus kelas sosial masyarakat, banyak anggota legislative kita berasal dari latar belakang keluarga yang sangat sederhana bahkan kekurangan, banyak dari para wakil kita yang pendidikanya jauh dibawah para staff ahlinya, karena klasifikasi kelas sosial tidak lagi berlaku sebagai persyaratan general untuk menjadi wakil di parlemen.

Setelah kita memaknai perwakilan politik melalui sejarah perkembanganya secara singkat maka kita juga perlu memahami realitas apa yang sesungguhnya sedang terjadi dalam sistem perwakilan kita, dalam upaya memahami hal ini penulis akan berfokus melakuan peninjauan melalui pola interaksi di era kontemporer yang terbangun antara wakil dan konstituen, selain menggunakan analisis data empiris dan sekunder, penulis juga akan menambahkan hasil wawancara Bersama wakil dan konstituen yang telah dilakukan pada tanggal 3 Desember 2022 di wilayah dapil III (Cileunyi, Cimenyan, Bojongsoang, cilengkrang) Kabupaten Bandung, Jawa Barat sebagai salah satu jendela untuk melihat realitas kedalam pola interaksi wakil dan terwakil saat ini.  Dalam memahami pola interaksi antara wakil dan terwakil tentu kita juga harus memperhatikan unsur komunikasi sebagai unsur utama penghubung berbagai hal yang terdapat dalam sistem politik perwakilan, Komunikasi merupakan proses mentransmisikan stimulus keinginan atau kebutuhan baik secara individual ataupun kelompok mulai dari proses kolektifitas sampai implementasi. Namun sayangnya kami melihat komunikasi menjadi salah satu masalah utama dalam interaksi serta komunikasi antara wakil dan terwakil di Indonesia.

Dalam ruang lingkup sosial yang begitu luas, kita sadari bersama bahwa sebagai seorang wakil di parlemen yang seharusnya merasa pundaknya "terbebani" oleh nilai moralitas dan kemanusiaan, serta berbagai aspek soial lainya sebagai manusia tentu tidak mungkin kita mampu untuk dapat mengimplementasikan semua aspirasi dan keluh kesah yang disampaikan oleh masyarakat, oleh karena itu harus dilakukan aksi partisipatif wakil di parlemen guna menjaring berbagai aspirasi tersebut. namun mirisnya, ada juga wakil yang merasa pundaknya begitu ringan sampai ia lupa terus berjalan meninggalkan pikulan tanggung jawab yang dibawanya dalam perjalan. pola interaksi terbatas yang disadari oleh wakil serta konstituen bukan berarti menjadi alasan menerimanya sebagai status quo bagi keberlangsungan lingkungan sosial masyarakat di daerah terdampak. interaksi dan komunikasi di dalam perwakilan Indonesia di satu sisi tersendat oleh kreatifitas wakil yang tidak dapat diandalkan untuk mampu berusaha menghimpun aspirasi dan ada untuk mengetahui permasalahan konstituenya. Saat ini upaya yang dapat dilakukan wakil untuk bisa saling berinteraksi dan mengenal konsntituenya sangatlah variatif, semudah memanfaatkan media sosial dari rumah masing-masing, contohnya yaitu seperti Instagram dengan postingan yang bukan hanya menarik namun mengedukasi dan membuka partisipasi masyarakat, namun sayang masih banyak pejabat publik yang belum memanfaatkan kreatifitas tersebut dengan memasukan perjuangan kolektifitas aspirasi dan fungsi sosialisasi secara masif.

Sementara permasalahan yang terkadang menjadi penghambat tersuarakanya keinginan masyarakat adalah karena kurangnya partisipasi aktif dari masyarakat itu sendiri. Terlepas dari akses yang memang terkadang dimanfaatkan oleh pihak tertentu guna kepentingan individual anggota ataupun kelompoknya, partisipasi rakyat yang juga merupakan bentuk dari civil society menjadi bagian utama yang dapat menjalankan fungsi intervensi dan penyeimbang dominasi kekuasaan yang mau tidak mau dituntut dapat berperan aktif menyuarakan keinginan masyarakat. Jika kekuasaan terlalu kuat maka hari ini, maka civil society yaitu utamanya masyarakat sipil yang madani tidak lagi mustahil dapat bertindak lebih kuat. Semangat masyarakat khususnya mahasiswa pada tahun 1998 yang berhasil menggulingkan kekuasaan Soeharto menjadi inspirasi dan bukti bagi kita bahwasanya masyarakat dapat bertindak lebih kuat menggulingkan rezim yang sebelumnya telah 32 menguasai Indonesia dengan penuh kontroversi dan penguasaan berbagai sumber kapital serta birokrasi yang dilakukan untuk memperkaya diri dan keluarganya.

Meninjau kompleksitas hubungan wakil dan terwakil ini kami mewawancarai salah seorang anggota Dewan Perwaakilan Rakyat Daerah (DPRD) dapil III (Cileunyi, Cimenyan, Bojongsoang, cilengkrang) Kabupaten Bandung bernama Riki Ganesha, atau yang kerap dipanggil sebagai "Kang Riki". Beliau menceritakan masalah ini kepada kami disela-sela wawancaranya yang telah dilakukan pada tanggal 3 Desember 2022, kang Riki mengatakan bahwasanya dengan adanya beban tanggung jawab moral sebagai anggota dewan yang coba beliau laksanakan terakadang terasa semakin sulit dengan adanya proses birokrasi yang tidak efisien. Contohnya ketika warga membutuhkan segera akses publik di daerahnya seperti penambalan jalan, sumur bersih, revitalisasi ruang publik, serta berbagai kebutuhan masyarakat lainya yang bisa jadi harus menunggu lama setelah diajukan bahkan bisa sampai bertahun-tahun. Keadaan ini semata-mata merupakan bentuk dari upaya daerah menciptakan administrasi yang tertata dengan menginput terlebih dahulu kebutuhan masyarakat daerah saat ini untuk mendapat anggaran di tahun anggaran tahun berikutnya, atau mungkin bahkan bisa beberapa tahun setelah pengajuan itu diberikan atas dasar skala prioritas yang rawan akan politisasi.

Sejatinya menurut kang riki, yang perlu diingat adalah dewan bukan merupakan bagian dari pemerintahan eksekutif yang dapat seketika mengabulkan aspirasi rakyat, bagaimanapun hak penyelenggaraan administrasi negara yang meliputi keuangan, Kesehatan, pendidikan dan berbagai pelaksanaan hak strategis lainya merupakan bentuk upaya yang tugas utama yang dilakukan oleh lembaga eksekutif, pada akhirnya berbagai aspirasi masyarakat akan dilaksanakan oleh eksekutif sebagai eksekutor seperti yang telah diatur secara yuridis mengenai pembagian tupoksi antara Lembaga legislatif dan eksekutif. fungsi dewan yang beliau rasakan utamanya lebih kepada upaya menjembatani berbagai urusan masyarakat dengan pemerintah yang tentunya sesuai proporsionalitas perundang-undangan.

Untuk mampu menyerap aspirasi masyarakat diperlukan berbagai upaya strategis sebagai bentuk keseriusan anggota dewan dalam menjalankan kewajiban sebagai seseorang yang mewakili konstituen di wilayahnya, lantas kami juga menanyakan hal yang sama kepada kang Riki mengenai upaya yang dilakukanya. Menurut kang riki untuk mendapatkan informasi berupa aspirasi ataupun permasalahan masyarakat, kini anggota dewan jauh lebih mudah untuk mengaksesnya, namun kembali lagi penulis tekankan, kreatifitas dan inisiatif dewan dalam hal ini sangat diandalkan. Mengingat secara formal pola interaksi yang di lakukan oleh anggota dewan hanyalah ketika masa reses yang diadakan hanya 3 kali dalam setahun, sehingga jika hanya mengandalkan pertemuan formal yang diwajibkan saja oleh peraturan, maka dalam 1 periode kerja dewan hanya memiliki kewajiban sebanyak 14 kali reses selama 5 tahun penugasanya. Kang Riki sendiri dalam hal ini memanfaatkan adanya kemudahan digital dengan memberikan nomor telefonya kepada masyarakat sehingga keinginan dan aspirasi secara mudah dapat tersampaikan kepadanya, selain itu media sosial berupa Instagram juga dimanfaatkan olehnya untuk mempublikasi kegiatanya. Adapun dalam aktifitas secara langsung beliau membuka rumahnya sebagai tempat warga menyampaikan aspirasi setiap sebelum berangkat ke kantor DPRD mulai dari jam 6:30 sampai dengan jam 8 pagi ataupun menghadiri berbagai acara masyarakat di daerahnya.

Lantas penulis juga bertanya bagaimana cara beliau untuk mengolah dan memprioritaskan berbagai aspirasi dari konstituenya. Menurut kang riki anggota DPRD memiliki kewajiban untuk membuat POKIR (pokok-pokok pikiran anggota DPRD) khususnya 5 bulan sebelum adanya proses penyusunan APBD, namun dalam pelaksanaan POKIR ini dapat dilakukan kapanpun oleh setiap anggota DPRD selama satu periode kepemimpinan tergantung dengan adanya penyerapan aspirasi dari masyarakat. POKIR yang telah dibuat oleh setiap anggota DPRD ini kemudian wajib di input kedalam SIPD (sistem informasi pembangunan daerah) sebelum akhirnya dapat diputuskan apa saja yang di prioritaskan untuk segera dilakukan dan dimasukan kedalam perencanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).  Adapun cara setiap dewan memprioritaskan apa saja aspirasi yang segera di dahulukan selain menggunakan rasionalisasi pemikiran individu adalah dengan meninjau besarnya dampak yang diterima juga berapa banyak masyarakat yang terdampak oleh permasalahan tersebut.

Setelah mewawancarai kang Riki kami mewawancarai seorang guru bernama Dudi Hermawan atau yang biasa disebut sebagai abah yang bertempat tinggal di daerah cileunyi, dimana daerah ini merupakan wilayah konstituen dari Riki Ganesha. Menurutnya pola interaksi yang terbangun antara ia secara pribadi dan tetangga terdekat dengan para wakil di daerah tempat tinggalnya masih belum terbangun, bahkan ia hanya sekedar mengetahui wakilnya karena belum pernah melihat wakilnya ada di acara masyarakat atau lebih dari itu berbicara secara terbuka mengundang masayarakat untuk berdialog diluar kegiatam reses. Kegiatan reses sendiri juga menurut abah sebagai masyarakat sipil juga hanya menjadi formalitas karena pola interaksinya yang tidak dinamis, menurut keterangan abah di reses terakhir yang diikuti oleh dirinya masyarakat hanya sebatas diberikan kertas aspirasi yang kemudian dikumpulkan ketika acara berlangsung, namun dalam keberlangsungan acar tidak terjadinya proses dialektika yang deliberative karena tidak adanya forum tanya jawab yang dilakukan. Tentu kondisi ini menunjukan pola interaksi antara wakil dan terwakil yang masih belum berjalan efektif.

Menanggapi realitas ini sesungguhnya penulis berpendapat kalau sistem lagislatif kita belum memaknai sistem perwakilan dengan mendalam, oleh karena itu penulis di awal sampaikan cerita singkat mengenai perkembangan dan makna tersirat dari proses perwakilan politik yang sangat menekankan pola interaksi antara wakil dan terwakil sebagai tujuan utama dari sistem perwakilan. Berbagai apirasi yang tidak dapat di implementasikan bukan berarti membuat seorang anggota dewan dengan begitu saja mengacuhkanya karena sekedar menganggap telah melaksanakan tugasnya, padahal secara moral seorang wakil memiliki fungsi sosialisasi untuk menyampaikan perkembangan mengenai aspirasinya apakah dapat segera dilaksanakan atau mungkin jika tidak bisa dilaksanakan konstituen bisa mendapatkan jawabanya, fungsi sosialisasi yang tidak dilaksanakan ini juga banyak menimbulkan ketidak percayaan dan rasa keterwakilan konstituen terhadap wakilnya. Masayarkat butuh diajak bicara, dan masyarakat perlu mendapatkan penjelasan. Namun sebagai masayarakat juga kita tidak bisa mewalikan semua persoalan begitu saja kepada anggota legislatif, wakil kita butuh informasi dan partisipasi melalui keterbukaan dan keterlibatan masyarakat dalam rangka mewujudkan aspirasi bersama, walau mungkin keputusan akhirnya tetap berada di eksekutif namun bukankah kebijakan eksekutif tersebut hanya dapat direalisasikan melalui keputusan dan perjuangan suara para wakil di dalam dewan perwakilan rakyat yang pada awalnya diperoleh dari partisipasi aktif masyarakat?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun