Untuk mampu menyerap aspirasi masyarakat diperlukan berbagai upaya strategis sebagai bentuk keseriusan anggota dewan dalam menjalankan kewajiban sebagai seseorang yang mewakili konstituen di wilayahnya, lantas kami juga menanyakan hal yang sama kepada kang Riki mengenai upaya yang dilakukanya. Menurut kang riki untuk mendapatkan informasi berupa aspirasi ataupun permasalahan masyarakat, kini anggota dewan jauh lebih mudah untuk mengaksesnya, namun kembali lagi penulis tekankan, kreatifitas dan inisiatif dewan dalam hal ini sangat diandalkan. Mengingat secara formal pola interaksi yang di lakukan oleh anggota dewan hanyalah ketika masa reses yang diadakan hanya 3 kali dalam setahun, sehingga jika hanya mengandalkan pertemuan formal yang diwajibkan saja oleh peraturan, maka dalam 1 periode kerja dewan hanya memiliki kewajiban sebanyak 14 kali reses selama 5 tahun penugasanya. Kang Riki sendiri dalam hal ini memanfaatkan adanya kemudahan digital dengan memberikan nomor telefonya kepada masyarakat sehingga keinginan dan aspirasi secara mudah dapat tersampaikan kepadanya, selain itu media sosial berupa Instagram juga dimanfaatkan olehnya untuk mempublikasi kegiatanya. Adapun dalam aktifitas secara langsung beliau membuka rumahnya sebagai tempat warga menyampaikan aspirasi setiap sebelum berangkat ke kantor DPRD mulai dari jam 6:30 sampai dengan jam 8 pagi ataupun menghadiri berbagai acara masyarakat di daerahnya.
Lantas penulis juga bertanya bagaimana cara beliau untuk mengolah dan memprioritaskan berbagai aspirasi dari konstituenya. Menurut kang riki anggota DPRD memiliki kewajiban untuk membuat POKIR (pokok-pokok pikiran anggota DPRD) khususnya 5 bulan sebelum adanya proses penyusunan APBD, namun dalam pelaksanaan POKIR ini dapat dilakukan kapanpun oleh setiap anggota DPRD selama satu periode kepemimpinan tergantung dengan adanya penyerapan aspirasi dari masyarakat. POKIR yang telah dibuat oleh setiap anggota DPRD ini kemudian wajib di input kedalam SIPD (sistem informasi pembangunan daerah) sebelum akhirnya dapat diputuskan apa saja yang di prioritaskan untuk segera dilakukan dan dimasukan kedalam perencanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Â Adapun cara setiap dewan memprioritaskan apa saja aspirasi yang segera di dahulukan selain menggunakan rasionalisasi pemikiran individu adalah dengan meninjau besarnya dampak yang diterima juga berapa banyak masyarakat yang terdampak oleh permasalahan tersebut.
Setelah mewawancarai kang Riki kami mewawancarai seorang guru bernama Dudi Hermawan atau yang biasa disebut sebagai abah yang bertempat tinggal di daerah cileunyi, dimana daerah ini merupakan wilayah konstituen dari Riki Ganesha. Menurutnya pola interaksi yang terbangun antara ia secara pribadi dan tetangga terdekat dengan para wakil di daerah tempat tinggalnya masih belum terbangun, bahkan ia hanya sekedar mengetahui wakilnya karena belum pernah melihat wakilnya ada di acara masyarakat atau lebih dari itu berbicara secara terbuka mengundang masayarakat untuk berdialog diluar kegiatam reses. Kegiatan reses sendiri juga menurut abah sebagai masyarakat sipil juga hanya menjadi formalitas karena pola interaksinya yang tidak dinamis, menurut keterangan abah di reses terakhir yang diikuti oleh dirinya masyarakat hanya sebatas diberikan kertas aspirasi yang kemudian dikumpulkan ketika acara berlangsung, namun dalam keberlangsungan acar tidak terjadinya proses dialektika yang deliberative karena tidak adanya forum tanya jawab yang dilakukan. Tentu kondisi ini menunjukan pola interaksi antara wakil dan terwakil yang masih belum berjalan efektif.
Menanggapi realitas ini sesungguhnya penulis berpendapat kalau sistem lagislatif kita belum memaknai sistem perwakilan dengan mendalam, oleh karena itu penulis di awal sampaikan cerita singkat mengenai perkembangan dan makna tersirat dari proses perwakilan politik yang sangat menekankan pola interaksi antara wakil dan terwakil sebagai tujuan utama dari sistem perwakilan. Berbagai apirasi yang tidak dapat di implementasikan bukan berarti membuat seorang anggota dewan dengan begitu saja mengacuhkanya karena sekedar menganggap telah melaksanakan tugasnya, padahal secara moral seorang wakil memiliki fungsi sosialisasi untuk menyampaikan perkembangan mengenai aspirasinya apakah dapat segera dilaksanakan atau mungkin jika tidak bisa dilaksanakan konstituen bisa mendapatkan jawabanya, fungsi sosialisasi yang tidak dilaksanakan ini juga banyak menimbulkan ketidak percayaan dan rasa keterwakilan konstituen terhadap wakilnya. Masayarkat butuh diajak bicara, dan masyarakat perlu mendapatkan penjelasan. Namun sebagai masayarakat juga kita tidak bisa mewalikan semua persoalan begitu saja kepada anggota legislatif, wakil kita butuh informasi dan partisipasi melalui keterbukaan dan keterlibatan masyarakat dalam rangka mewujudkan aspirasi bersama, walau mungkin keputusan akhirnya tetap berada di eksekutif namun bukankah kebijakan eksekutif tersebut hanya dapat direalisasikan melalui keputusan dan perjuangan suara para wakil di dalam dewan perwakilan rakyat yang pada awalnya diperoleh dari partisipasi aktif masyarakat?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H