Konsolidasi politik merupakan proses dari upaya perwujudan sistem politik nasional dan juga pemerintahan yang terbentuk dari berbagai kemajemukan unsur masyarakat di Indonesia berdasarkan pada tujuan untuk menciptakan pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.Â
Dalam arti lain konsolidasi juga merupakan upaya untuk menghimpun kekuatan guna kepentingan tertentu yang perlu dicapai melalui peleburan unsur heterogenitas.Â
Dalam pemerintahan otoritarianisme, monogenitas menjadi ciri utama yang sering kali ditekankan oleh rezim yang berkuasa sehingga heterogenitas politik dan pemerintahan sukar tercipta.Â
Pengakuan serta hak heterogenitas masyarakat ini kemudian semakin lama semakin disadari sebagai bagaian dari hak asasinya sebagai manusia, akan tetapi dalam heterogenitas politik iklim demokrasi yang diinginkan oleh masyarakat tentu konsekwensi yang harus dihadapi adalah banyaknya dinamika yang diakibatkan oleh berbagai perbedaan, sedangkan untuk mencapai atau mempermudah tujuan diperlukan sinergitas bersama, dari permasalahan inilah kemudian dipahami perlunya konsolidasi untuk menghimpun kekuatan yang bukan hanya bersandar pada pengakuan namun juga mampu bersandar pada aspek pembangunan.
Proses konsolidasi politik yang coba akan kita jadikan tinjauan sebagai upaya memahami realitas konsolidasi politik di Indonesia adalah melalui fenomena koalisi serta komposisi kekuatan partai peserta dalam pemilu yang telah terjadi beberapa kali di Indonesia secara umum, khususnya dalam ranah pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Amy.L.Freedman (Freedman,2006) sejatinya sistem presidensial Indonesia tidak mengenal adanya koalisi, koalisi yang dimaksud disini adalah koalisi dalam bentuk proporsional dimana ada koalisi pendukung dan penentang. sejatinya sejak diawali oleh Ir.Soekarno sebagai founding fathers saat itu koalisi merupakan tuntutan keadaan Indonesia ketika periode awal kemerdekaan untuk mengubah peran kritis partai kepada peranan pendukung kemapanan, PNI dan Partai Marhaen yang didirikan pada tahun 1927 dengan berbagai partai lainya yang lahir kemudian seperti PSI, MASYUMI, dan lainya dituntut agar dapat menstabilkan kondisi Indonesia saat itu yang baru saja mencapai kemerdekaanya.
Mengawali tahun 1950 Sokearno menerapkan sistem parlementer dimana presiden bertanggungjawab terhadap parlemen sehingga kondisi ini menuntut Soekarno agar bisa menghimpun 3 kekuatan besar yang diharapkan mampu memudahkan pertanggungjawaban kepemimpinanya, pada saat yang sama NASAKOM Â sudah mulai diterapkan untuk bisa menyatukan 3 kekuatan utama dari Partai Nasionalis, Komunis, dan Islam.Â
Namun sistem liberalisme ini tidak berjalan lancar diakibatkan kebebasan yang akhirnya menciptakan iklim politik nasional yang tidak kondusif karena kekuatan terpecah menjadi partai-partai berbasis upaya perjuangan ideologi berbeda serta warna kelompok saja sehingga tidak terbentuknya konsolidasi nasional, sampailah pada puncaknya ketika PKI melakukan pemberontakan tahun 1965 dimana menjadi salah satu penyebab utama kegagalan konsolidasi nasional, upaya soekarno memuluskan jalan kepemimpinanya dengan menghimpun kekuatan di parlemen juga berakhir ketika pidato pertanggungjawabanya yang berjudul "nawakarsa" ditolak dalam sidang umum ke-IV MPRS, akhirnya 1 tahun kemudian Soekarno lengser dari jabatanya dan menandai berakhirnya pemerintahan orde lama.
Kejatuhan Soekarno melahirkan pemimpin baru bernama Soeharto yang menjadi tanda lahirnya masa yang dikenal sebagai era orde baru.Â
Karakter militer Soeharto tidak dapat ditutupi ketika masa kepemimpinanya, konsolidasi pada masa itu dibuat ringkas dan terkomando dengan alasan pembangunan nasional walaupun harus mengorbankan banyak variabel strategis dalam demokrasi. salah satu upaya efisiensi konsolidasi adalah melalui penerapan fusi partai, setelah resmi diterapkan akhirnya hanya ada 2 partai politik + 1 Golongan peserta pemilu tahun 1977, yaitu PDI(aliran nasionalis), PPP(aliran islamis), dan Golongan Karya.Â
Konsolidasi era orde baru begitu jelas meniadakan koalisi proporsional dengan sistem pemerintahan yang sentralistik mulai dari pemilihan kepala daerah melalui persyaratan khusus sampai pergerakan daerah yang saat itu tentu sangat menitikberatkan pada peran Soeharto.Â
Situasi politik kala itu memang stabil akan tetapi proses konsolidasi berjalan jauh dari harapanya. Kestabilan politik tersebut akhirnya berakhir di ujung masa kepemimpinan Soeharto karena berbagai alasan seperti kepemimpinan yang dinilai korup, melanggar hukum, monopolistik, dan permasalahan ekonomi menjadi isu utama di akhir masa kepemimpinanya, Soeharto kemudian lengser pada tahun 1998 setelah 32 tahun berkuasa.
Masa awal reformasi yang muncul setelah tumbangnya orde baru inilah menjadi babak baru konsolidasi nasional, ketika akhir masa orde baru terbentuk koalisi partai PAN dan PPP yang diinisiasi oleh Amin Rais membantu perjuangan para mahasiswa dan umumnya masyarakat Indonesia melalui internal pemerintah untuk melengserkan rezim Soeharto, akhirnya Soeharto berhasil dilengserkan dan kemudian koalisi ini melahirkan Abdurahman Wahid sebagai Presiden ke-4 Indonesia menggantikan Habibie yang menjadi kunci pembuka era reformasi sebagai Presiden ke-3, walaupun hanya menjabat kurang lebih 512 hari dimasa transisi setelah Soeharto lengser, Habibie berhasil memberikan dampak besar terhadap konsolidasi nasional yang sentralistik menjadi mulai terdistribusi di awal reformasi, salah satunya yaitu dengan disahkanya UU.No 22 Tahun 1999 yang membuka keran perkembangan partai politik, pemilu sebelumnya yang hanya diikuti oleh 3 parpol pada tahun 1977 berubah derastis jumlahnya menjadi 48 Parpol pada pemilu tahun 1999. Setelah Gus Dur menjabat sampai tahun 2001 lahirlah Presiden ke-5 yaitu Megawati, pada era kepemimpinan Megawati mengesahkan UU.No 23 Tahun 2003 mengenai Presidential Threeshold yang memberikan batas minimal 15% kursi partai di DPR bagi partai politik untuk dapat mencalonkan presiden dan wakilnya.
Sekalipun Megawati dalam keteranganya pada 16 September 2022 (Detik, 2022) di Seoul mengatakan bahwa Indonesia tidak memakai sistem koalisi namun kenyataanya partai dituntut agar dapat berkoalisi karena adanya sistem presidential threshold dan multipartai, terlebih di dalam sistem presidensial terlalu beresiko karena akan rentan menimbulkan masalah ketika presiden terpilih memiliki terlalu banyak oposisi penentang untuk mengambil keputusan di parlemen sesuai dengan yang dikatakan oleh Scoot Mainwaring dan David Altman.Â
Di zaman SBY juga demikian, SBY menerapkan sistem "koalisi gemuk" dengan merangkul hampir semua partai hingga menjadi jalan keluar yang mudah dalam pemerintahanya, walaupun pada periode ke-2 SBY tidak "semulus" periode pertama karena terbaginya koalisi dan akibat calon non-partai yang dipilih SBY.Â
Pada era saat ini sebenarnya Jokowi sebagai Presiden ke-7 juga menerapkan pola yang sama bahkan belajar dari SBY dan mampu menerapkan pola koalisi yang lebih baik sehingga parlemen mutlak dikuasai oleh koalisi Jokowi walaupun harus melanggar janji kampanyenya yang ingin menerapkan budaya politik baru yaitu konsep koalisi tanpa politik transaksional dan tanpa bagi-bagi jabatan.Â
Koalisi gemuk ini memang sangat diuasai oleh rezim Jokowi karena memang dalam sistem presidensial yang menerapkan multi partai dengan presidential threshold sebagai upaya "penertib", tanpa adanya koalisi gemuk atau yang saat ini mungkin dapat dikatakan koalisi seluruh partai maka dikhawatirkan akan mampu membentuk opisi sebagai ancaman koalisi untuk memutuskan suatu kebijakan. Tragisnya presiden Jokowi bukanlah pengurus tinggi partai dan dianggap seolah hanya "pengurus partai" sehingga proses transaksional akan sangat berpeluang dan berpengaruh dalam hubungan pemerintah dengan salah satu partai.
partai memiliki peran besar untuk dapat menjadi perantara antara ideologi sosial, berbagai kekuatan, dan kepentingan masyarakat dengan pemerintahan (Neuman, 1956), salah satu upaya mewujudkan peran ini adalah melalui koalisi. Mengapa harus berkoalisi? Karena dalam upaya menjadi partai peserta pilpres melalui sistem presidential threshold diperlukan sedikitnya 20% kursi parlemen untuk dapat mengusung calon presiden dan wakil presiden, namun apakah itu mungkin dalam sistem multipartai saat ini?Â
Mungkin partai PDIP saat ini adalah opsi yang paling memungkinkan dengan memiliki 22,26% kursi di parlemen yang artinya mampu mencalonkan calon presiden dan wakilnya sendiri tanpa koalisi, namun saya tidak yakin PDIP akan seberani itu tanpa "membagi kekuasaan", bisa saja PDIP akan menang di Pilpres tapi akan mudah terkalahkan dalam pengambilan keputusan di parlemen tanpa adanya koalisi. Inilah keunikan sistem presidensial yang dipadukan dengan sistem multipartai dan president threshold, Saat ini koalisi menjadi tuntutan bagi proses konsolidasi nasional melalui partai-partai politik yang ada di Indonesia untuk suksesi kepemimpinan utamanya tingkat nasional, dan umumnya kebaikan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H