Mohon tunggu...
Ananda Yuvino Putra Permadi
Ananda Yuvino Putra Permadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - is looking for and playing that role as magnificent as possible

.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Konsolidasi Politik: Fenomena Konsolidasi Dalam Sistem Presidensial Dan Multipartai di Indonesia

12 Desember 2022   12:46 Diperbarui: 12 Desember 2022   13:33 3653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konsolidasi era orde baru begitu jelas meniadakan koalisi proporsional dengan sistem pemerintahan yang sentralistik mulai dari pemilihan kepala daerah melalui persyaratan khusus sampai pergerakan daerah yang saat itu tentu sangat menitikberatkan pada peran Soeharto. 

Situasi politik kala itu memang stabil akan tetapi proses konsolidasi berjalan jauh dari harapanya. Kestabilan politik tersebut akhirnya berakhir di ujung masa kepemimpinan Soeharto karena berbagai alasan seperti kepemimpinan yang dinilai korup, melanggar hukum, monopolistik, dan permasalahan ekonomi menjadi isu utama di akhir masa kepemimpinanya, Soeharto kemudian lengser pada tahun 1998 setelah 32 tahun berkuasa.

Masa awal reformasi yang muncul setelah tumbangnya orde baru inilah menjadi babak baru konsolidasi nasional, ketika akhir masa orde baru terbentuk koalisi partai PAN dan PPP yang diinisiasi oleh Amin Rais membantu perjuangan para mahasiswa dan umumnya masyarakat Indonesia melalui internal pemerintah untuk melengserkan rezim Soeharto, akhirnya Soeharto berhasil dilengserkan dan kemudian koalisi ini melahirkan Abdurahman Wahid sebagai Presiden ke-4 Indonesia menggantikan Habibie yang menjadi kunci pembuka era reformasi sebagai Presiden ke-3, walaupun hanya menjabat kurang lebih 512 hari dimasa transisi setelah Soeharto lengser, Habibie berhasil memberikan dampak besar terhadap konsolidasi nasional yang sentralistik menjadi mulai terdistribusi di awal reformasi, salah satunya yaitu dengan disahkanya UU.No 22 Tahun 1999 yang membuka keran perkembangan partai politik, pemilu sebelumnya yang hanya diikuti oleh 3 parpol pada tahun 1977 berubah derastis jumlahnya menjadi 48 Parpol pada pemilu tahun 1999. Setelah Gus Dur menjabat sampai tahun 2001 lahirlah Presiden ke-5 yaitu Megawati, pada era kepemimpinan Megawati mengesahkan UU.No 23 Tahun 2003 mengenai Presidential Threeshold yang memberikan batas minimal 15% kursi partai di DPR bagi partai politik untuk dapat mencalonkan presiden dan wakilnya.

Sekalipun Megawati dalam keteranganya pada 16 September 2022 (Detik, 2022) di Seoul mengatakan bahwa Indonesia tidak memakai sistem koalisi namun kenyataanya partai dituntut agar dapat berkoalisi karena adanya sistem presidential threshold dan multipartai, terlebih di dalam sistem presidensial terlalu beresiko karena akan rentan menimbulkan masalah ketika presiden terpilih memiliki terlalu banyak oposisi penentang untuk mengambil keputusan di parlemen sesuai dengan yang dikatakan oleh Scoot Mainwaring dan David Altman. 

Di zaman SBY juga demikian, SBY menerapkan sistem "koalisi gemuk" dengan merangkul hampir semua partai hingga menjadi jalan keluar yang mudah dalam pemerintahanya, walaupun pada periode ke-2 SBY tidak "semulus" periode pertama karena terbaginya koalisi dan akibat calon non-partai yang dipilih SBY. 

Pada era saat ini sebenarnya Jokowi sebagai Presiden ke-7 juga menerapkan pola yang sama bahkan belajar dari SBY dan mampu menerapkan pola koalisi yang lebih baik sehingga parlemen mutlak dikuasai oleh koalisi Jokowi walaupun harus melanggar janji kampanyenya yang ingin menerapkan budaya politik baru yaitu konsep koalisi tanpa politik transaksional dan tanpa bagi-bagi jabatan. 

Koalisi gemuk ini memang sangat diuasai oleh rezim Jokowi karena memang dalam sistem presidensial yang menerapkan multi partai dengan presidential threshold sebagai upaya "penertib", tanpa adanya koalisi gemuk atau yang saat ini mungkin dapat dikatakan koalisi seluruh partai maka dikhawatirkan akan mampu membentuk opisi sebagai ancaman koalisi untuk memutuskan suatu kebijakan. Tragisnya presiden Jokowi bukanlah pengurus tinggi partai dan dianggap seolah hanya "pengurus partai" sehingga proses transaksional akan sangat berpeluang dan berpengaruh dalam hubungan pemerintah dengan salah satu partai.

partai memiliki peran besar untuk dapat menjadi perantara antara ideologi sosial, berbagai kekuatan, dan kepentingan masyarakat dengan pemerintahan (Neuman, 1956), salah satu upaya mewujudkan peran ini adalah melalui koalisi. Mengapa harus berkoalisi? Karena dalam upaya menjadi partai peserta pilpres melalui sistem presidential threshold diperlukan sedikitnya 20% kursi parlemen untuk dapat mengusung calon presiden dan wakil presiden, namun apakah itu mungkin dalam sistem multipartai saat ini? 

Mungkin partai PDIP saat ini adalah opsi yang paling memungkinkan dengan memiliki 22,26% kursi di parlemen yang artinya mampu mencalonkan calon presiden dan wakilnya sendiri tanpa koalisi, namun saya tidak yakin PDIP akan seberani itu tanpa "membagi kekuasaan", bisa saja PDIP akan menang di Pilpres tapi akan mudah terkalahkan dalam pengambilan keputusan di parlemen tanpa adanya koalisi. Inilah keunikan sistem presidensial yang dipadukan dengan sistem multipartai dan president threshold, Saat ini koalisi menjadi tuntutan bagi proses konsolidasi nasional melalui partai-partai politik yang ada di Indonesia untuk suksesi kepemimpinan utamanya tingkat nasional, dan umumnya kebaikan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun