Suatu kali saya pernah mendapat pertanyaan dari teman saya sesama komunitas ketika kami sedang nongkrong di sebuah minimarket di kota gudeg, Yogyakarta. Kebetulan teman saya ini tidak memiliki background ilmu pengetahuan di bidang ekonomi maupun keuangan.
“Bang, aku ini kan mahasiswa. Kira-kira aku cocoknya invest di mana ya?”
“Lah, kamu sendiri ngapain mau invest? Tumben-tumbennya tanya gitu ke aku, salah makan ya tadi?”
“Yah~ Gara-gara bang Vinko cerita-cerita pengalaman pas kuliah dan jalan-jalan ke Jepang, aku jadi kepengen ke Jepang juga. Sekalian mau main KanColle Arcade gitu deh kalau bisa.”
Hm… Kira-kira investasi seperti apa yang cocok untuk teman saya yang seorang mahasiswa ini? Dia belum memiliki penghasilan rutin layaknya orang yang sudah bekerja. Tapi setidaknya dia sudah punya tujuan keuangan yang jelas, walaupun ketika ditanya tentang kapan mau ke ‘tanah suci’ para weaboo* itu dia masih garuk-garuk kepala sendir, tidak tahu baiknya kapan.
Pertanyaannya adalah apakah itu bisa terwujud untuk mahasiswa rantau sepertinya?
Tentu saja, jika tidak dimulai maka tidak akan ada yang tercapai. Memulai apa? Sesuai tajuk artikel ini, berinvestasi merupakan salah satu jalan tercepat untuk mencapai tujuan keuangan semacam itu. Investasi bukan hanya untuk mereka yang sudah bekerja atau punya duit saja. Justru karena posisinya yang masih dijamin oleh orang tuanya itulah (baca: biaya kehidupan sehari-harinya), menjadi seorang pelajar atau mahasiswa justru merupakan saat yang tepat untuk mulai terjun ke dunia investasi. Memahaminya dengan cepat, untuk kemudian dapat mempraktikkannya dengan benar.
Warren Buffet, salah satu investor tersohor dan kenamaan dari Amerika Serikat, mulai belajar untuk berinvestasi di pasar saham pada saat usianya baru menginjak umur 11 tahun. Bahkan beliau pun pernah mengatakan bahwa 11 tahun pun sebenarnya sudah terlambat. Hiperbolis memang, namun Inti dari maksud perkataan beliau adalah sebaiknya para anak muda sudah diajarkan untuk berinvestasi agar uang yang kita investasikan bisa bekerja lebih keras agar tujuan keuangan kita bisa tercapai lebih cepat.
Masih ingatkah kita? Dulu pada saat kita masih kecil, kita yang masih bocah ingusan itu diajarkan orang tua untuk menyisihkan uang kita dan ditabung di celengan binatang seperti celengan ayam atau gajah. Tahukah anda, bahwa sebenarnya kita bisa menerapkan prinsip tersebut sebagai salah satu style investasi yang cocok untuk mahasiswa yang katanya selalu kena gejala ‘kanker’ dan harus selalu makan nasi kecap bergaram atau bahkan puasa promag setiap akhir bulannya.
Lho, kalau demikian halnya cara berinvestasi, bukankah tabungan dan investasi itu bisa dikatakan sama saja?
Berbeda. Menabung bisa dikatakan sebagai sebuah proses atau aktivitas untuk menyisihkan uang dimana uang tersebut dimaksudkan sebagai alat pemenuhan kebutuhan yang sifatnya jangka pendek. Tabungan bukanlah alat yang dimaksudkan untuk melipatgandakan aset/uang yang kita miliki, melainkan hanya sebagai wadah untuk kita bisa menyimpan kelebihan uang yang kita miliki untuk selanjutnya bisa kita gunakan dalam hal yang sifatnya sehari-hari atau dadakan. Secara jangka panjang, pada umumnya jumlah imbal hasil yang diberikan oleh tabungan adalah lebih kecil daripada tingkat inflasi.
Sementara itu investasi adalah proses menyisihkan uang dengan harapan, bahwa dalam jangka panjang, kita akan mendapatkan pertambahan aset yang harus lebih tinggi daripada tingkat inflasi. Maka untuk kebutuhan yang bisa diparafrasekan dengan “aku ingin liburan ke luar negeri” seperti yang disebutkan di atas, akan sangat bijaksana jika mulai dari sekarang uangnya lebih digunakan untuk melakukan kegiatan investasi, bukan menabung.
Kembali ke pokok inti artikel ini, investasi macam apa yang pas untuk para mahasiswa yang kebanyakan belum punya penghasilan sendiri dan mengandalkan kiriman dari orang tua semata? Jawaban yang bisa menjadi solusi adalah reksadana. Melalui reksadana, kita bisa berpartisipasi di pasar modal yang memiliki banyak jenis aset keuangan bahkan jika kita memulainya dengan modal Rp 100 ribu saja. Ya, dengan kata lain, kita bisa menyandang gelar investor yang masih dipandang mentereng di negeri kita ini hanya dengan modal ala mahasiswa.
Dan investasi yang optimal untuk para mahasiswa adalah dengan mengulang kembali pola menabung di celengan yang sudah diajarkan oleh para orang tua mereka pada zaman dahulu, yaitu dengan berinvestasi secara rutin minimal Rp 100 ribu juga setiap bulannya. Cara tersebut umum ditemui ketika kita berinvestasi di instrumen reksadana melalui jasa bank tempat kita mempunyai rekening tabungan. Kita bisa ‘memerintahkan’ supaya bank melakukan autodebet sebesar jumlah sekian pada tanggal yang kita kehendaki.
Apakah teman-teman mulai bisa memahami persamaan prinsip dasar di antara keduanya?
Perbedaannya dengan tabungan mulai kelihatan, jika kita membandingkan potensi tingkat imbal hasil yang diberikan antara produk-produk tabungan dengan produk-produk reksadana. Reksadana sendiri memiliki beberapa jenis yang memiliki potensi imbal hasil dan juga potensi risiko yang menyertainya. Pada umumnya terdapat 4 jenis reksadana: Reksadana Pasar Uang (RDPU), Reksadana Pendapatan Tetap (RDPT), Reksadana Campuran (RDC), dan Reksadana Saham (RDS)
Prinsip yang berlaku di dunia investasi, yaitu “High Risk-High Return” pun berlaku di produk reksadana. Artinya, jangan asal tergiur dengan potensi imbal hasil yang bisa diberikan lalu lupa kalau ada risiko yang kemungkinan bisa terjadi pada investasi tersebut dan harus kita tanggung.. Dalam kasus reksadana, RDPU memiliki potensi risiko dan imbal hasil yang paling rendah di antara semua jenis reksadana. Kemudian berturut-turut jenis reksadana yang memiliki potensi risiko dan imbal hasil yang semakin tinggi adalah RDPT, RDC, dan RDS.
Potensi risiko dan tingkat imbal hasil yang terkandung dalam keempat jenis reksadana tersebut berbeda-beda tergantung dari jenis aset keuangan yang menjadi ‘fondasi’ dari reksadana tersebut. Namun, tidak perlu khawatir terlalu dalam dan berlama-lama karena merasa diri anda awam. Karena biasanya sebelum kita yang awam ini mulai berinvestasi di reksadana, pihak bank yang diwakili oleh para pegawainya yang memang dikhususkan untuk mengurus hal ini akan membantu menjelaskan semuanya dan kita akan diajak berdiskusi untuk menentukan produk apa yang sesuai untuk kita dan kebutuhan kita sendiri.
Oleh karena itu, jangan sungkan untuk terus bertanya meskipun kelihatannya akan seperti orang bodoh. Tapi lebih baik jadi orang bodoh sebodoh-bodohnya cuma satu jam, daripada ujung-ujungnya merasa dibodohi ketika terjadi sesuatu yang merugikan kita karena tidak benar-benar mengerti apa yang menjadi pilihan kita.
*) Weaboo = sebutan untuk para otaku (istilah dalam Bahasa Jepang untuk menyebutkan seorang maniak dalam suatu hal) yang merupakan warga non-Jepang
Vinko Satrio Pekerti, CFP®
Note: Bagi para mahasiswa/i maupun para pemuda/i, khususnya berdomisili Semarang atau Yogyakarta, yang membutuhkan bantuan perencanaan keuangan dari saya terutama dalam hal mempersiapkan investasi untuk tujuan-tujuan keuangan anda di masa depan, silahkan menghubungi saya dengan meninggalkan komentar di sini atau mencari nama saya di media sosial pada umumnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI