Sementara itu investasi adalah proses menyisihkan uang dengan harapan, bahwa dalam jangka panjang, kita akan mendapatkan pertambahan aset yang harus lebih tinggi daripada tingkat inflasi. Maka untuk kebutuhan yang bisa diparafrasekan dengan “aku ingin liburan ke luar negeri” seperti yang disebutkan di atas, akan sangat bijaksana jika mulai dari sekarang uangnya lebih digunakan untuk melakukan kegiatan investasi, bukan menabung.
Kembali ke pokok inti artikel ini, investasi macam apa yang pas untuk para mahasiswa yang kebanyakan belum punya penghasilan sendiri dan mengandalkan kiriman dari orang tua semata? Jawaban yang bisa menjadi solusi adalah reksadana. Melalui reksadana, kita bisa berpartisipasi di pasar modal yang memiliki banyak jenis aset keuangan bahkan jika kita memulainya dengan modal Rp 100 ribu saja. Ya, dengan kata lain, kita bisa menyandang gelar investor yang masih dipandang mentereng di negeri kita ini hanya dengan modal ala mahasiswa.
Dan investasi yang optimal untuk para mahasiswa adalah dengan mengulang kembali pola menabung di celengan yang sudah diajarkan oleh para orang tua mereka pada zaman dahulu, yaitu dengan berinvestasi secara rutin minimal Rp 100 ribu juga setiap bulannya. Cara tersebut umum ditemui ketika kita berinvestasi di instrumen reksadana melalui jasa bank tempat kita mempunyai rekening tabungan. Kita bisa ‘memerintahkan’ supaya bank melakukan autodebet sebesar jumlah sekian pada tanggal yang kita kehendaki.
Apakah teman-teman mulai bisa memahami persamaan prinsip dasar di antara keduanya?
Perbedaannya dengan tabungan mulai kelihatan, jika kita membandingkan potensi tingkat imbal hasil yang diberikan antara produk-produk tabungan dengan produk-produk reksadana. Reksadana sendiri memiliki beberapa jenis yang memiliki potensi imbal hasil dan juga potensi risiko yang menyertainya. Pada umumnya terdapat 4 jenis reksadana: Reksadana Pasar Uang (RDPU), Reksadana Pendapatan Tetap (RDPT), Reksadana Campuran (RDC), dan Reksadana Saham (RDS)
Prinsip yang berlaku di dunia investasi, yaitu “High Risk-High Return” pun berlaku di produk reksadana. Artinya, jangan asal tergiur dengan potensi imbal hasil yang bisa diberikan lalu lupa kalau ada risiko yang kemungkinan bisa terjadi pada investasi tersebut dan harus kita tanggung.. Dalam kasus reksadana, RDPU memiliki potensi risiko dan imbal hasil yang paling rendah di antara semua jenis reksadana. Kemudian berturut-turut jenis reksadana yang memiliki potensi risiko dan imbal hasil yang semakin tinggi adalah RDPT, RDC, dan RDS.
Potensi risiko dan tingkat imbal hasil yang terkandung dalam keempat jenis reksadana tersebut berbeda-beda tergantung dari jenis aset keuangan yang menjadi ‘fondasi’ dari reksadana tersebut. Namun, tidak perlu khawatir terlalu dalam dan berlama-lama karena merasa diri anda awam. Karena biasanya sebelum kita yang awam ini mulai berinvestasi di reksadana, pihak bank yang diwakili oleh para pegawainya yang memang dikhususkan untuk mengurus hal ini akan membantu menjelaskan semuanya dan kita akan diajak berdiskusi untuk menentukan produk apa yang sesuai untuk kita dan kebutuhan kita sendiri.
Oleh karena itu, jangan sungkan untuk terus bertanya meskipun kelihatannya akan seperti orang bodoh. Tapi lebih baik jadi orang bodoh sebodoh-bodohnya cuma satu jam, daripada ujung-ujungnya merasa dibodohi ketika terjadi sesuatu yang merugikan kita karena tidak benar-benar mengerti apa yang menjadi pilihan kita.
*) Weaboo = sebutan untuk para otaku (istilah dalam Bahasa Jepang untuk menyebutkan seorang maniak dalam suatu hal) yang merupakan warga non-Jepang
Vinko Satrio Pekerti, CFP®
Note: Bagi para mahasiswa/i maupun para pemuda/i, khususnya berdomisili Semarang atau Yogyakarta, yang membutuhkan bantuan perencanaan keuangan dari saya terutama dalam hal mempersiapkan investasi untuk tujuan-tujuan keuangan anda di masa depan, silahkan menghubungi saya dengan meninggalkan komentar di sini atau mencari nama saya di media sosial pada umumnya.