Mohon tunggu...
Money Pilihan

Mari Belajar Berinvestasi!

21 Juni 2016   14:51 Diperbarui: 23 Juni 2016   12:43 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://1.bp.blogspot.com/-cwqQNSohSP4/VfyoPp3yMRI/AAAAAAAAAQc/yNKgS5kCho4/s1600/investasi.jpg

Banyak persepsi yang keliru mengenai definisi investasi. Banyak orang yang mengalami kerancuan dengan langsung menyamakan bahwa investasi itu sama dengan tabungan atau deposito. Sebagian besar masyarakat Indonesia pada umumnya berpikir bahwa ketika mereka menabung tiap bulan di bank, atau menempatkan dana berlebihnya ke dalam deposito, itu sudah sama dengan melakukan aktivitas investasi.

Pertanyaan yang selalu menjadi kontroversi antara kaum tua yang cenderung konservatif dan kaum muda yang cenderung agresif sekarang ini adalah: “Jadi kedua aktivitas tersebut itu investasi atau bukan?” Sebelum menjawab itu mari kita kembali fokus ke definisi investasi itu sendiri.

Legowo Kusumonegoro, direktur dari PT. Manulife Asset Management Indonesia, pernah berkata bahwa investasi bisa dikupas menjadi tiga kriteria. Yang pertama adalah, apakah produk yang kita beli dengan uang kita itu berupa barang atau jasa. Kedua, apakah kita bisa mengharapkan nilai dari barang atau jasa itu memiliki kemampuan untuk meningkat dengan sendirinya di kemudian hari. Dan yang ketiga, apakah kita membutuhkannya untuk memenuhi kebutuhan atau rencana keuangan kita di masa depan.

Sekarang mari kita kembali ke deposito. Kriteria pertama? Masuk, karena kita membeli sebuah jasa. Kriteria ketiga? Masuk, karena kita tentu akan membutuhkannya di masa depan entah untuk kehidupan sehari-hari, kebutuhan mendesak, atau kebutuhan menyekolahkan anak. Namun bagaimana dengan kriteria kedua? Sekilas memang masuk, karena deposito memberikan bunga yang tentunya membuat nilainya tumbuh. Tapi kita harus hati-hati dengan poin ini dengan adanya pertimbangan masalah-masalah di bawah ini.

Yang menjadi bias utama masyarakat bahwa nilai yang mereka lihat itu adalah jumlah rupiahnya dari satu sisi pemasukannya yang kelihatan saja. Katakanlah anda menanamkan uang anda di deposito sebesar Rp 10.000.000,- tahun ini. Sepuluh tahun kemudian nilai tersebut akan menjadi Rp 10.000.000,- plus bunga-bunganya. Jika kita memakai asumsi deposito di salah satu bank umum terbesar di Indonesia, maka bunganya adalah sebesar 5% per tahun, belum kena pajak.

Lho, kok pakai acara kena pajak? Ya. Jika jumlah saldo tabungan ataupun nilai deposito anda di atas Rp 7.500.000,- maka bunga yang anda dapatkan harus kena pajak 20% dari persentase aslinya. Sehingga bunga bersih yang anda dapatkan dari tabungan atau deposito anda, akan hanya tinggal 80%-nya. Maka dengan demikian, bunga sebesar 5% itu akan menjadi 4% (= 5% x 0.8) per tahun setelah kena pajak. Dan per bulannya anda akan menerima bunga sebesar 0.33% per bulan.

Jika diasumsikan lagi bahwa anda menggunakan metode bunga tidak di roll-over (baca: bunganya dimasukkan kembali ke induk depositonya yang tadi sebesar Rp 10.000.000,-) maka anda akan menerima Rp 33.000,- per bulan atau Rp 396.000,- per tahunnya. Dan deposito tidak ada yang namanya pengurangan akibat biaya administrasi bulanan. Menarik? Tunggu dulu, karena kita di sini hanya melihat nominal uang yang kita dapatkan, belum termasuk hitungan kekuatan daya beli atau pengaruh inflasi.

Artikel mengenai inflasi sudah bisa anda baca di sini. Namun saya akan ulangi lagi sedikit bahwa inflasi bisa digambarkan sebagai berikut. Sewaktu awal masuk sebagai mahasiswa kampus biru, misalnya, harga menu nasi telor di warung terdekat kos-kosan anda adalah Rp 4.500,- seporsinya. Tapi ketika anda sudah wisuda lima tahun kemudian, harganya berubah menjadi Rp 6.000,- seporsinya (ini pengalaman nyata saya sebagai alumni kampus biru itu). Kenaikan sebesar Rp 2.500 dalam waktu lima tahun tersebut dapat dikatakan sebagai inflasi sebesar 33% per setengah dekade atau 6,7% per tahunnya. Apakah artinya itu?

Artinya, bahwa uang anda semakin turun nilai riil atau daya belinya 6,7% per tahunnya untuk membeli seporsi nasi telor saja. Jika kita coba kalikan dana sepuluh juta tersebut dengan tingkat inflasi tersebut, maka hasilnya adalah Rp 666.667,- per tahun atau sama dengan Rp 55.556,- per bulannya. Ini bisa diartikan bahwa uang anda yang sepuluh juta tersebut, jika dibiarkan saja di rumah, maka nilai riilnya akan tergerus sebesar angka tersebut.

Secara nominal memang indukya masih sepuluh juta. Memang bunga akan terus anda dapatkan dan membuat pundi-pundi anda tampak makin besar dan tidak ada masalah. Tapi sepuluh juta plus bunga-bunganya itu, jika bisa dikatakan seperti ini, kelak hanya akan bisa dipakai untuk membeli barang yang sama dimana jumlah dalam porsi/unit yang bisa dibeli malah semakin sedikit.

Jika mau dinetralisir efek negatifnya dengan hasil dari contoh deposito diatas tersebut pun, maka masih ada penurunan daya beli sebesar Rp 22.556,- per bulannya alias masih ada defisit nilai riil. Kesimpulannya, jika anda melakukan deposito di bank tersebut yang hanya memberikan bunga deposito bersih sebesar 4%, maka anda tidak bisa dikatakan inflasi. Karena anda sudah terkena dampak negatif dari pajak bunga deposito dan masih tidak bisa lolos dari inflasi yang menggerus nilai riil uang anda.

Lalu bagaimana dengan properti, tanah, rumah, atau apartemen yang oleh para generasi pendahulu kita sebut sebagai investasi yang aman? Apakah itu investasi?

Ya, itu sudah pasti termasuk investasi. Karena, pada umumnya dan di seluruh belahan negeri ini, kenaikan harga tanah dalam persentase per tahunnya hampir selalu di atas tingkat persentase inflasi dalam asumsi kondisi ekonomi normal; tidak mengalami hyper-inflation ataupun deflasi. Perkara investasi semacam itu bagus atau tidak, itu sudah akan menjadi masalah personal dan subyektif. Sangat tergantung pada profil risiko dan tingkat pemahaman, praktik lapangan, serta local wisdom dari masing-masing orang untuk bisa memastikan bahwa risiko investasinya di bidang ini bisa dikurangi. Tapi yang pasti, ini adalah pasti bisa dikatakan sebagai investasi.

Masalahnya adalah, dalam hal generasi-generasi baru seperti kita-kita ini nih, banyak yang salah kaprah bahwa pokoknya kalau punya rumah atau tanah, maka itu adalah suatu bentuk investasi. Biasanya problem ‘rumah pertama’ yang sering mencuat kasusnya. Rumah pertama anda sebagai sebuah keluarga, janganlah dianggap sebagai investasi. Itu adalah bukti kemandirian anda dan keluarga inti anda. Itu adalah surga utama anda menjalani kehidupan di dunia ini. Jangan sampai rumah pertama anda dan keluarga anda dilibatkan dalam sebuah praktik bisnis atau keuangan, yang mana dapat membuat rumah tersebut memiliki risiko untuk lepas dari anda. Misalnya, dijadikan jaminan untuk dapat hutang dari bank.

Beda lagi kasusnya dengan rumah kedua, atau tanah kedua anda, atau apapun properti yang bukan merupakan rumah pertama anda. Silahkan anggap itu sebagai investasi, entah dengan hanya mengandalkan kenaikan nilai tanahnya saja, atau mau diusahakan sebagai ladang, dibangun gedung untuk potensi bisnis pribadi, atau untuk dibangun kos-kosan. Yang penting, hasil dari pertumbuhan nilai maupun hasil-hasil lain yang muncul dari ‘tergarap’nya properti tersebut memang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan rencana masa depan anda.

Kapan seharusnya kita mulai berinvestasi?

Jika kita berbicara tentang properti, rumah, dan tanah seperti contoh di atas yang membutuhkan banyak sekali modal untuk memulainya, sepertinya susah ya? Banyak persepsi orang awam pun terbentuk dengan berpikiran seperti itu, bahwa investasi itu harus mengumpulkan uang dulu yang lamaaa~~ setelah terkumpul baru berinvestasi. Apa boleh buat, karena praktik investasi tanah dan bangunan adalah salah satu praktik investasi paling tradisional yang terjadi sudah lama di Indonesia.

Padahal dengan menyimpan uang dalam waktu yang lama, biasanya dalam bentuk tabungan yang tidak perlu main ‘kunci-kuncian’ kontrak, anda akan menghadapi risiko pajak bunga tabungan, inflasi yang makin terasa kuat menggerus tabungan anda yang bunganya jauh lebih kecil daripada deposito, dan biaya administrasi yang besar jika anda sejak awal sudah salah pilih jenis tabungan anda. Nilainya belum tentu bertambah dengan sendirinya; besar kemungkinan bisa dibilang pasti tidak akan bertambah.

Sejatinya anak-anak kecil pun jika di tingkat SD sudah harus diajari cara menabung dan deposito, maka pada masa SMA nya sudah harus bisa mengetahui praktik investasi. Dan investasi itu banyak caranya dan banyak bentuknya yang tidak membutuhkan modal besar. Maka jawabannya adalah, sekarang pun bisa berinvestasi. Bahkan kalau bisa sedini mungkin sudah diajari.

Zaman semakin modern, cara-cara investasi yang legal, aman, dan terjamin oleh lembaga OJK pun semakin banyak. Aset-aset finansial bisa menjadi pilihan alternatif untuk memulai praktik investasi anda dan generasi penerus anda sedini mungkin, tanpa harus meneruskan praktik latah mengumpulkan uang dari gaji terus menerus setelah itu baru berinvestasi ke aset-aset fisik. Reksadana, contohnya, bisa menjadi alternatif investasi anda yang relatif paling ramah untuk semua orang.

Vinko Satrio Pekerti, CFP®

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun