Mohon tunggu...
Vini Yudianti
Vini Yudianti Mohon Tunggu... -

Perempuan perantau di Jakarta. Pemuja gorengan dan mie ayam pinggir jalan. Desainer interior yang gandrung belajar financial planning.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pengeluaran Kecil, Namun Berarti

14 Maret 2012   07:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:04 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini ditujukan untuk sekedar berbagi. Ditulis berdasarkan pengalaman sehari-hari, mudah-mudahan dapat bermanfaat :).

Beberapa hari terakhir mencermati berita-berita di televisi, mayoritas membahas isu yang sama : Kenaikan harga BBM. Bahkan, sebelum isu kenaikan harga BBM ini diputuskan jadi-tidaknya, di beberapa tempat harga-harga sudah mulai merangkak naik. Bisa jadi, dalam kasus yang terjadi di Indonesia, kenaikan harga BBM terdengar lebih menakutkan ketimbang inflasi, utamanya bagi golongan ekonomi menengah ke bawah.

Sebagai bagian dari golongan menengah Indonesia, saya mengakui bahwa saya pun (awalnya) uring-uringan menanggapi isu kenaikan harga BBM. Namun kemudian, Ligwina Hananto (lagi-lagi) sukses 'menampar' kesadaran saya lewat 'kicauan'nya di Twitter dan juga lewat bukunya yang berjudul 'Untuk Indonesia yang Kuat : 100 Langkah Untuk Tidak Miskin'. Intinya, Ligwina menyatakan, bahwa inflasi dan kenaikan BBM itu nyata dan berada di luar kendali kita. Namun, kendali terhadap uang kita adalah kewajiban kita. Oleh karenanya, pengelolaan keuangan menjadi sangat penting dalam upaya bertahan hidup, melawan inflasi, sekaligus menjaga dan meningkatkan taraf hidup kita.

Sebagai karyawan yang (alhamdulillah) masih mendapatkan pemasukan rutin tiap bulannya, semakin pentinglah upaya untuk mengelola keuangan dengan baik agar tidak sampai morat-marit. Saya harus cari celahnya, mana pos pengeluaran yang dapat ditekan, sebab belum tentu kenaikan harga akibat BBM naik akan diikuti oleh kenaikan gaji. Di luar upaya mencari sumber penghasilan tambahan, ternyata ada beberapa hal sederhana yang dapat dilakukan untuk menghemat pengeluaran kita :

1) Kurangi makan siang di luar, bawa makan siang dari rumah.

Cara ini jelas dapat menghemat pos pengeluaran makan siang, utamanya untuk karyawan yang juga anak kos. Dan kalaupun membawa makan siang dengan menu lengkap terlalu berat untuk dilakukan, misalnya karena tidak sempat memasaknya, membawa nasi putih sendiri dari rumah pun sudah lumayan untuk memangkas biaya makan siang. Hitungan sederhananya begini, kalau kita makan di restoran/kedai/warteg, harga seporsi nasi putih paling murah Rp 3.000,-. Dikalikan 20 hari kerja saja, maka dalam sebulan kita bisa menghemat sedikitnya Rp 60.000,-.

2) Membawa air putih sendiri ketika makan di luar.

Ini juga bisa diterapkan ketika makan siang. Seringkali, suatu tempat makan tidak menyediakan minuman gratis (air putih/teh tawar), sehingga pembeli harus mengeluarkan uang lagi untuk minum. Nah, ini dapat diakali dengan membawa botol minuman sendiri dari rumah. Katakanlah harga sebotol air mineral 600ml di restoran adalah Rp 5.000,-. Dikalikan 20 hari kerja dalam sebulan, maka uang bisa dihemat akan mencapai Rp 100.000,-.

3) Mengurangi jadwal ngopi-ngopi di kafe.

Menurut saya, godaan terbesar hidup di Jakarta datang dari pencitraan akan gaya hidup. Dengan beragamnya pilihan yang tersaji di depan mata, kalau tidak kuat iman, akan sangat mudah terjerumus ke perilaku konsumtif berlebihan. Salah satunya ya masalah ngopi-ngopi ini. Di beberapa kalangan pekerja, kegiatan ngopi-ngopi ini wajib hukumnya. Alasannya macam-macam, untuk sosialiasi, berjejaring, sampai memanjakan diri setelah bekerja keras seharian. Kalau ada uangnya dan memang mampu sih, ya silakan. Yang bahaya adalah kalau sebenarnya tidak mampu, tapi memaksakan diri demi pencitraan dan pergaulan yang (terlihat) keren. Kok bisa? Ya coba dihitung saja.

Misalnya biaya sekali ngopi-ngopi+snack adalah Rp 50.000,-. Dalam sebulan, frekuensinya bisa 4-6 kali. Maka, pos pengeluaran untuk kegiatan ini bisa mencapai Rp 200.000,- s.d. Rp 300.000,- sebulannya. Kalau saja frekuensinya dikurangi menjadi 1 kali sebulan, maka setidaknya Anda sudah akan menghemat Rp 150.000,- sebulan.

4) Cermat memilih tempat membeli pulsa.

Coba dipikirkan, seberapa sering Anda berhenti untuk beli pulsa di konter, padahal beberapa meter di depannya ada ATM bank Anda? Ini hal sepele namun sering dilupakan banyak orang.

Ketika Anda beli pulsa di konter / agen, ada kelebihan biaya yang harus dibayar sebagai margin keuntungan si penjual. Memang jumlahnya relatif kecil. Untuk ukuran Jakarta, biasanya sekitar Rp 1.500,- s.d. Rp 3.000,- per transaksi. Umumnya harga voucher pulsa fisik sedikit lebih tinggi dibanding voucher pulsa elektrik.

Nah, bandingkan dengan kalau membeli pulsa via ATM. Umumnya tidak dikenakan biaya tambahan. Jadi, beli pulsa 50.000 ya harganya 50.000, bukan 51 atau 52 ribu. Kelemahannya, nominal pembelian pulsa via ATM ini umumnya minimun 25.000. Ketentuan ini bisa jadi tidak menarik bagi para pembeli pulsa 'eceran,' dalam artian mereka yang (misalnya) sebulan menghabiskan 50.000, tapi belinya dicicil, 10.000/transaksi, sebulan 5x beli.

Kalau saja Anda mau mengubah mindset, dari beli pulsa dicicil menjadi beli pulsa sesuai kebutuhan sebulan, baru dikontrol pemakaiannya, ini akan berdampak lumayan terhadap keuangan Anda. Lebih oke lagi, kalau Anda mau lebih cermat dalam memilih tempat membeli pulsa.

Mari dilihat ilustrasinya :

a) Beli di agen penjual pulsa, kebutuhan sebulan 100.000, dipecah menjadi 25.000 x 4 kali transaksi pembelian.

Harga pulsa 25ribu di konter = 27.000

Total pos pengeluaran dalam sebulan (untuk pulsa 100ribu) = 27.000 x 4 = 108.000

b) Beli di ATM, kebutuhan sebulan 100ribu,dipecah menjadi 25.000 x 4 kali transaksi pembelian.

Total pos pengeluaran dalam sebulan (untuk pulsa 100ribu-) = 25.000 x 4 = 100.000 (sebab tidak ada biaya tambahan)

Dari atas saja bisa kelihatan, ada selisih sebesar Rp 8.000,- sebulan yang bisa dihemat. Dalam setahun, jumlahnya mencapai Rp 96.000,-. Ini bukan jumlah yang kecil, sebab nominal ini bisa dialihkan untuk mencukupi pembayaran zakat Anda, menambah pos pembelian hewan Qurban, maupun masuk ke pos dana darurat. Ibarat pepatah, sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit.

5) Berani meminta kembalian ketika berbelanja.

Tips ini utamanya dapat diterapkan oleh Anda yang sering belanja ke supermarket / minimarket. Saat ini, makin marak diterapkan kebijakan 'mengganti kembalian dengan permen', biasanya dengan alasan kasir, "Tidak ada uang kecil/receh." Hati-hati, bagi Anda mungkin jumlahnya tak seberapa, tapi coba cermati lagi. Apalagi jika Anda tergolong rajin mampir ke supermarket/minimarket dan mendapati kembalian Anda diganti dengan permen. Jika Anda mengumpulkan permen-permen hasil kembalian tersebut, dalam beberapa bulan bisa jadi bernilai lumayan jika ditukar dengan uang. Oleh karenanya, marilah mulai sekarang kita mencoba lebih berani minta kembalian (daripada ditukar permen). Itu hak Anda, kok.

Mungkin Anda tidak percaya bahwa menerapkan hal-hal kecil di atas dapat berdampak besar pada kesehatan keuangan Anda. Silakan dicoba, dan rasakan sendiri perbedaannya. Jangan khawatir dianggap pelit, sebab Anda bukannya pelit, melainkan lebih cermat mengelola uang Anda. Jadi, BBM naik nggak perlu ditangisi. Kita tetap bisa kok hidup sejahtera dengan pengelolaan keuangan yang lebih baik lagi.

Selamat mencoba, semoga berhasil! :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun