Bully membully dalam dunia pendidikan Indonesia memang tak pernah ada habisnya. Antar murid saling membully, guru pun banyak yang tidak punya empati. Lalu apa sih yang jadi penyebab semua kekacauan ini?
1. Kurangnya Pemahaman Soal Psikologi Anak
Guru gembul dalam channelnya dan juga seminar-seminar yang beliau bawakan sering sekali menyentil hal ini. Guru kita hanya diberi 2 kemampuan dalam proses pendidikannya menjadi seorang guru. Kemampuan menyampaikan materi sesuai kurikulum, dan kemampuan membuat berkas-berkas administratif dalam sekolah.
Memahami psikologi peserta didik? Itu urusan belakangan.Â
Hal inipun pernah saya alami dalam proses pembelajaran saya di SMA. Saya memang secara terang-terangan tidak mempercayai Tuhan dalam kehidupan saya. Namun, saya juga memiliki hak itu dan memiliki hak untuk memilih agama yang cocok dengan kepercayaan saya ini.Â
Tetapi, respon dari pihak sekolah adalah sangat berbeda. Terutama dari guru-guru yang terkenal relijius. Padahal, saya hendak pindah agama ke agama manapun, itu dijamin oleh UU yang ada. Namun, saya seringkali disalahkan atas pilihan spiritual saya. Padahal di saat yang sama, saya lebih memiliki masalah psikologi seperti depresi dibandingkan saya kehilangan arah.Â
Lantas, kalau mau dunia pendidikan kita lebih baik, pisahkan urusan administratif pengajar dengan tenaga pendidik. Biarkan ada staff khusus untuk mengurus hal itu. Pendidik diberikan kemampuan hanya untuk mengajar dan memahami siswa lewat psikologi anak.Â
2. Victim Blaming Masih Kental dalam Dunia Pendidikan
Pernah ikut lomba lalu kalah? Lalu apakah guru anda menyemangati atau malah berkata "ya salah sendiri itu kurang giat belajarnya"?
Sepertinya yang menyalahkan kita sebagai peserta didik jauh lebih banyak dibandingkan yang menyemangati. Begitu pula dengan pacaran dan prestasi siswa. Padahal, dalam banyak kesempatan, pacaran yang sehat tidak akan memengaruhi prestasi akademik siswa. Tetapi, para guru seringkali malah menyalahkan penurunan akademik siswa dengan pacaran.Â
Kalau memang model-model Victim Blaming seperti ini masih populer, menurut para pembaca, apakah siswa akan mau terbuka dengan gurunya? Tidak bukan. Dan ketika tidak ada kontak dengan guru, maka apakah guru bisa memperbaiki kemampuan siswa secara akademik? Saya rasa mustahil.Â
Nah, sayangnya mental Victim Blaming ini masih sangat kental di dalam masyarakat kita. Tak terkecuali, dunia pendidikan. Sehingga, menjadi sebuah hal yang wajar saja kalau semisal guru melakukan pembullyan terhadap siswa. Hal itu toh diamini oleh masyarakat kita kebanyakan.Â
3. Feodalisme Masih Kental
Bisa dibilang, ini adalah salah satu kelanjutan dari poin nomor 2. Kultur Victim Blaming yang sangat kental melanggengkan pula feodalisme dalam ranah pendidikan.Â
Ketika terjadi ketidakberaturan dalam tatanan yang ada, maka kaum-kaum yang "lebih senior" akan terusik. Maka apa yang akan dilakukan? Menindas kaum-kaum yang lebih "junior". Bisa guru yang di bawahnya atau yang paling buruk ya para peserta didik.Â
Kultur feodal seperti ini pun membuat guru-guru merasa "insecure" dengan murid-murid yang tidak biasa. Keteraturan ala mereka, seakan-akan terusik. Maka apa ujung-ujungnya? Ya guru-guru akan berusaha untuk membunuh karakter muridnya dengan membully. Mungkin tidak secara verbal atau fisik, tetapi dari secara perlakuan pun terkadang ada pembedaan.Â
Epilog
Dan sepertinya kultur seperti ini akan sulit untuk diubah sampai setidaknya gaji guru cukup tinggi. Sehingga menarik minat mereka yang memiliki pemikiran yang lurus untuk masuk dalam dunia kependidikan.Â
Karena salah satu yang menyebabkan adanya penyebab-penyebab di atas juga bisa kita tarik ke dalam faktor ekonomi. Kesenjangan antara guru dan murid akan membangun terjadinya kecemburuan sosial dan perasaan tak dihargai. Hal ini bisa tercermin dari semisal SPP yang tinggi tetapi gaji guru yang rendah.Â
Kalau kesejahteraan guru tidak terjamin, bagaimana mungkin mereka akan "passionate" mengajar? Bagaimana mungkin pula mereka berusaha untuk belajar dan membangun pendidikan para peserta didiknya dengan sepenuh hati?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H